Ciuman Pertama Aruna

III-262. Hempong Jadul



III-262. Hempong Jadul

Mahendra dan Herry berjalan kembali ke gerbong 2 ketika lagi-lagi orang yang bersembunyi dari mereka mengubur diri di bawah selimut biru.      

Sesampainya pada gerbong dua, tuan muda ini meminta Herry berhenti sejenak. Dia membisikkan sebuah permintaan lucu sebelum ajudannya kembali duduk di tempatnya.     

Mahendra meminta Herry untuk tidak menampakkan diri di depan istrinya. Mungkin ini adalah sebuah cara agar tuan muda Djoyodiningrat tersebut tak dilanda malu, sebab ketahuan membawa ajudan.     

Walaupun pada kenyataannya, Herry sendiri -lah yang nekat membuntuti mereka. Akan tetapi gengsi Mahendra lebih tinggi daripada mengakui kejujuran.      

Hendra melanjutkan jalannya, memimpin langkah selepas melihat ajudannya mengangguk ringan -memberi persetujuan.      

Ketika sampai pada tempat duduknya, dia melihat perempuan yang mengarahkan tubuhnya ke arah jendela di sisi kiri, ternyata sudah tidur pulas. Bantalnya jatuh di dekat kaki, akan tetapi tak mengganggu tidurnya yang nyenyak. Damai sekali.      

"Tadi dia mencarimu, malah ketiduran," ibu di samping tempat duduk keduanya menyapa Mahendra.      

Hendra mengangguk ringan, merundukkan tubuhnya kemudian meraih bantal yang terjatuh. Diletakkannya benda empuk tersebut pada kursinya. Sesaat kemudian tangannya bergerak dengan sangat hati-hati mengatur sudut punggung kursi, berharap supaya Aruna tidak terbangun.      

Tatkala sudut pembaringan istrinya dirasa cukup nyaman, lelaki tersebut meletakkan bantal di bawah kepala Aruna, sangat halus dan lebih lambat dari gerakan yang dia buat sebelumnya.     

Ibu-ibu di samping tempat duduk keduanya tampak terkagum-kagum dengan perilaku manis pria tinggi besar tersebut.     

Lebih tertegun lagi ketika lelaki bermata biru dengan postur tinggi tersebut kembali merundukkan tubuhnya. Meletakkan kaki istrinya pada penyangga kaki yang tersaji dengan mengeluarkan sandaran tersebut dari bawah kursi tepat di depan mereka.      

Kaki perempuan yang lunglai terbawa kantuk sempat bergerak, sebelum akhirnya benar-benar di tempat yang tepat.     

Dia yang berhasil menjaga tidur istrinya, tersenyum bahagia.      

Tangannya bergerak mengelus-elus rambut yang menutupi wajah.     

Detik berikutnya menarik ringan pita rambut agar surai yang mulai memanjang tersebut tergerai bebas, tatkala sang empunya terlelap.     

Masih tanpa suara, Hendra bangkit dari duduknya. Dia tampak sibuk mencari sesuatu di dalam tas yang berada pada bagasi di atas kepala Aruna.      

Sesaat kemudian, sebotol minyak terapi telah sampai di tangan. Mahendra tidak sadar ketika minyak tersebut dia tuang di atas telapak tangannya, ada seorang ibu-ibu yang fokus memperhatikan polah tingkah lelaki yang sedang sibuk tersebut, tengah mengumbar senyuman.      

Mungkin perempuan itu baru tahu ada pria yang demikian unik. Seorang suami yang tanpa diduga membuat gerakan hebat, membasuh kan telapak tangan penuh minyak terapi hangat dengan aroma menenangkan di betis istrinya. Menggosok secara perlahan-lahan, tidak memperdulikan orang lain yang sampai ternganga dengan tindakannya.      

Mahendra membalurkan kehangatan minyak terapi pada seluruh permukaan kaki perempuan hamil dengan sangat hati -hati. Dia tertangkap menghentikan nafasnya, tatkala ada gerakan samar yang disajikan perempuan tidur. Dan, melanjutkan kegiatan membalur minyak terapi ketika tubuh tersebut tenang kembali.      

Lelaki bermata biru masih sibuk menyentuh jemari, lengan, sudut leher dan perut yang di singkap sedikit -untuk mendapatkan kenyamanan dari aroma terapi yang dia tuang berkali-kali dari botol-, kala seorang perempuan yang sibuk mengamatinya tidak tahan untuk tak berkomentar, "Tenang -lah, tidak ada nyamuk yang akan menggigit istrimu," Hendra menoleh sejenak, menundukkan kepalanya demi menghormati komentar perempuan tersebut.      

Seolah tak peduli dengan hal lain -selain tubuh perempuan tertidur-, Hendra ikut menyelaraskan sudut punggung kursinya. Dia membaringkan punggungnya, sembari mengamati kembang kempis nafas yang tersaji dari perempuan dengan mata tertutup.      

"Kalian pengantin baru?" lagi, ibu-ibu dengan gadis kecilnya yang juga telah tertidur bertanya pada Mahendra.      

"Bukan, kami sudah menikah lebih dari setahun," jawab lelaki bermata biru.      

"Kehamilan pertama istrimu?" lagi-lagi ibu itu bertanya.      

"Iya, benar," ada dagu yang bergerak.      

"Kamu membuatku mengingat almarhum suamiku. Kamu sangat menggemaskan," dia, yang duduk di samping Mahendra, berhasil memberi rona merah di wajah jawa england tersebut.      

"Suami anda sudah meninggal?" sepertinya, kali ini Mahendra tertarik menanggapi ucapan dari perempuan tersebut.      

"Iya, empat tahun yang lalu," jawab ibu singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari Mahendra.      

"Pasti si kecil sangat merindukannya," Hendra menatap nanar gadis kecil di samping lawan bicaranya.      

"Dia cucuku, bukan putriku," kata perempuan yang kini ikut mengarahkan pandangannya ke arah gadis kecil di sampingnya.      

"Oh' saya pikir putri anda,"      

"Apa aku tampak muda?"      

"Sepertinya," kini yang tersipu malah lawan bicara Mahendra.      

"Kalian, mau kemana?" Lanjut perempuan tersebut.      

"Istriku ingin memperkenalkan tempat kelahirannya,"      

"Oh' kamu di ajak pulang kampung?" Mereka mulai larut dalam obrolan ringan.      

"Semacam itu," balas Mahendra semampunya.      

"Di mana tempatnya?"      

"Kampungnya? Jujur, saya belum paham," Sahut lelaki yang mendapat kejutan dari perempuan yang kini terlelap dalam tidurnya.      

"Turun di stasiun mana?" dia yang bicara memberikan pilihan.      

"Surabaya," jelas Hendra.      

"Wah sama.."      

"Benarkah?" ada alis yang terangkat sedikit.      

"Ya, aku dan cucuku turun di Surabaya juga. Sebenarnya, aku sedang mengantar pulang cucuku," perempuan itu terlihat mengelus rambut gadis mungil yang mulai mengerjapkan mata.     

"Katakan saja kemana tujuanmu, biar putraku mengantar kalian sampai tujuan," perempuan tersebut menambahkan, memberi tawaran kepada Mahendra.      

"Saya hanya transit di Surabaya, kemungkinan beristirahat semalam," lawan bicara Mahendra mengangguk tanda memahami.      

"Iya, harus sering istirahat. Kasian hamil muda, tidak boleh terlalu lelah," ibu tersebut terlihat mengamati perempuan hamil, "Sebaiknya, kamu membeli penyangga perut jika perjalanan kalian cukup jauh,"      

"Penyangga perut??" sahut Mahendra penasaran.      

Detik berikutnya ibu tersebut mengeluarkan handphonenya. Selang beberapa saat, dia menunjukkan sejenis korset yang dirancang khusus untuk menopang bagian bawah punggung dan perut saat hamil. Korset kehamilan yang terbuat dari bahan yang lembut dan mudah menyerap keringat.      

"Bagaimana kalau saya meminta bantuan pada anda, untuk mengantar ke tempat membeli benda seperti itu?" Mahendra tampak langsung berminat dan mulai memikirkan saran ibu tersebut dengan sangat hati-hati.      

"Boleh saja," Jawab ringan perempuan tersebut.      

"Terima kasih banyak, Bu.. em.." Hendra lupa tidak menanyakan namanya.      

"Sari, panggilanku Sari," Bu sari melengkapi kalimat Mahendra.      

"Saya Mahendra, dan istri saya, Aruna," jawab Hendra.      

"Sejak tadi aku merasa tidak asing denganmu, makanya aku perhatikan terus. Kamu Mahendra yang ini kah?" Bu Sari kembali menunjukkan layar handphonenya. Akun official Mahendra Djoyodiningrat tersaji di layar.      

"Oh' orang-orang selalu mengira kami mirip. Orang di akun itu tidak mungkin menaiki kereta api seperti hari ini, dia pasti langsung memanfaatkan jet pribadinya untuk bepergian," kilah Mahendra.      

"Hais' benar juga ya?," dia terlihat panik, "Padahal aku sudah mengirimkan foto kalian ke Mimin hempong jadul,"      

"Apa??" ini suara terkejut Mahendra.      

'Hempong jadul' adalah istilah untuk akun gosip panas di media sosial Instagram yang sering mendapatkan berita melalui kiriman para followersnya.     

"Anda harus segera memberi konfirmasi, daripada jatuhnya fitnah dan anda dicurigai sebagai pengirim berita hoax," Dia yang sedikit jengkel, sekalian menakut-nakuti perempuan tersebut.      

"Kau benar," dua kata ini berhasil membuat Mahendra jenuh seketika, melirik ibu tersebut kemudian menghela nafas panjang, buru-buru menutup matanya. Seluruh wajah ia benamkan ke dalam buff atau penutup muka yang dikeluarkan dari saku celananya.      

"Huuuh.. sial.. sial," gerutu Mahendra     

.      

***     

Diana memasuki ruang terapi. Ketika baru saja dia buka, 2 orang perempuan sudah berada di dalam ruangan tersebut. Mereka mengenakan baju serupa.     

"Cepatlah bersembunyi, sebentar lagi.." belum usai Diana mengujarkan kalimatnya. Pintu terbuka perlahan, dan 2 orang perempuan berbaju senada segera menyusup.      

Satu diantara keduanya, bersembunyi di balik pintu yang terbuka. Yang lainnya merunduk di bawah meja.      

Tubuh Anna yang dibawa Tio dengan cara didorong di atas kursi roda, dengan kedua tangan terikat pada pegangan kursi  -agar tidak melarikan diri- menatap tajam keberadaan Diana.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.