Ciuman Pertama Aruna

III-259. Pembawaan Alami



III-259. Pembawaan Alami

0"Sebab dengan cara itu, aku akan mendidik anak-anakku untuk tidak meremehkan nikmat Tuhan. Selagi ada kesempatan, aku sedang berusaha mengenalkan cara didikku terlebih dahulu pada Daddy-nya," suaranya penuh penekanan, bermaksud lawan bicaranya dapat memahami apa yang ia sampaikan.     

Ada tubuh seseorang yang berputar 180 derajat demi mengamati tubuh perempuan mungil dengan perut yang lambat laun mulai membesar.     

"Kamu, sudah memikirkannya sampai sejauh itu?" seperti seseorang yang tengah mencari pemahaman atas ketidak pekaan, Mahendra memendam rasa malu di dalam dadanya.      

Aruna tersenyum lembut "Walaupun usiaku masih sangat muda, baby memberi dorongan berupa naluri seorang ibu,"      

"Lalu, kenapa baby belum memberiku naluri sebagai seorang ayah sejati?" pertanyaan yang konyol, mendorong sebuah tangan mungil mendarat di bahu lelaki bermata biru.      

"Mungkin saat ini, nalurinya masih pada tahap suami yang harus menyayangi ibu dan bayinya" Nadanya terdengar ringan, akan tetapi penuh makna tersirat.     

Sejujurnya, secara harfiah tiap-tiap manusia memiliki pembawaan alami yang tidak perlu dipelajari. Baik itu seorang laki-laki ataupun perempuan, tanpa harus menunggu sebuah anugrah berupa keturunan. Karena memang hal tersebut sudah menjadi fitrah atau kodrat atas diri mereka.      

Dan itulah yang sedang dibicarakan dua anak manusia tersebut. Sebuah dorongan hati yang dibawa sejak lahir di dunia, sedang mereka bahas detik ini.      

"Sepertinya, apa yang kamu katakan benar, sayang" Mahendra berdiri, meraih sesuatu yang ada di bagasi.      

Tas bekal dari Oma Sukma dibuka dan mulai dikeluarkan satu, persatu. Dan betapa terkejutnya Mahendra termasuk Aruna, ketika melihat isi tas tersebut lebih dari cukup untuk perjalanan mereka satu hari penuh.      

Sebuah tas yang berisikan, buah-buahan, salad, termos berisikan susu hangat, camilan sehat, sandwich sampai makanan berat yang bisa mereka makan dua sampai tiga kali.      

"Apa oma tahu, kita akan menempuh perjalanan jauh?" pertanyaan Mahendra, setelah melihat isi tas bekal mereka.      

"Pastinya. Semalam, ketika kita makan malam bersama, aku bercerita pada oma panjang lebar, -bukan?" Jelas Aruna.     

"Tidak. Aku rasa, oma lebih tahu daripada yang kamu ceritakan semalam," Mahendra masih belum puas dengan jawaban Aruna.      

"Ayolah, tidak perlu banyak berpikir. Makanan, ya tinggal dimakan saja," Aruna membuka sebuah wadah yang berisikan 6 buah sandwich. Tangannya bergerak meraih salah satu diantaranya dan segera menggigitnya. Tak butuh waktu lama ia telah menghabiskan empat, dari enam bagian yang tersedia.      

"Aku.." suara Mahendra menginterupsi Aruna yang sedang melahap sandwich dengan nikmat.      

"Ayolah makan saja," dan perempuan di sampingnya menyumpalkan sepotong sandwich tersebut, ke dalam mulutnya.      

Perjalanan Ini, bukan perjalanan biasa. Sebuah agenda yang diminta khusus oleh tetua Wiryo. Dan hal tersebut membuat Neuron di kepala Mahendra sulit untuk dikendalikan.      

***     

Udara masih cukup dingin, dan tetesan-tetesan air dari langit nampaknya enggan untuk pergi. Walaupun hujan pagi ini tidak begitu lebat bahkan terlihat akan berhenti, sebab matahari mulai mendesak awan di langit.      

Akan tetapi, awan tak mau kalah dengan matahari. Sehingga rinai hujan pagi ini masih membasahi bumi, dimana tempat sebuah mobil hitam bersemangat menerobos lalu-lalang jalanan kota yang masih sedikit lenggang. Kendaraan beroda empat tersebut kemudian menepi, memasuki perkampungan di tepian sungai.      

Volume air sungai mulai meninggi. Si pengemudi sempat melirik jalanan yang beriringan dengan sungai besar di samping kanan tempatnya melintas.      

Ada degup jantung yang berdetak, seiring sebuah alat kemudi berbentuk lingkaran diputar sekian derajat berulang kali hingga masuk ke dalam permukiman yang ternyata ia rindukan.      

Ketika mobil hitam tersebut dihentikan lajunya, si pengemudi tampak tengah mengatur nafas. Pria tersebut beberapa kali tertangkap menggigit bibirnya sendiri. Hingga akhirnya sebuah spion dipaksa untuk menangkap wajahnya demi merapikan rambut yang jelas-jelas sudah rapi. Atau sekedar merapikan baju, yang sejujurnya sudah melekat dengan sempurna pada tubuh lelaki tersebut.      

Thomas keluar dari pintu mobil dan menamati rumah sederhana di hadapannya. Dengan ringan ia mengumbar ekspresi berbinar. Tak lama kemudian ia memacu langkahnya lebih cepat, masuk ke pelataran rumah tersebut lalu menapakkan kaki di teras. Detik berikutnya mengetuk pintu yang ternyata sekali sentuh sudah terbuka.      

"La, Apa ada tamu?" Suara yang tidak asing terbang, menerjang pembatas beberapa ruang dari dapur hingga menuju pintu utama rumah tersebut. Suaranya mampu menghasilkan senyuman di wajah pria yang detik ini sedang sangat bahagia.      

"Iya.." suara anak kecil dari kamar samping terdengar nyaring menyambut lengkingan suara kakaknya.      

Lala baru keluar dari kamar, ketika Kakak laki-lakinya -Ricky- berteriak kegirangan, "Thom?? Kak Thomas?? Kaaakk.. kak Kiki.. lala.. kak Thomas pulang!" pemuda tersebut melompat lalu merangkul tubuh kurus Thomas, memukul mukul punggung dalam dekapan berulang kali. Sampai-sampai Thom berupaya untuk melepas pelukan tersebut.      

"Aaaa.." ternyata bukan hanya Ricky yang heboh. Lala serentak berlari. Gadis kecil tersebut tertangkap terlalu bahagia.     

Dengan sigap Thomas merengkuh tubuh gadis kecil tersebut ke dalam pelukan, selepas mampu membebaskan diri dari dekapan Ricky. Pria dengan rambut diikat ke belakang tersebut, secara spontan menggendong Lala yang saat ini mengenakan baju putih merah khas seragam sekolah tingkat dasar.      

Berbeda dengan adik-adiknya. Kihrani terlihat berdiri mematung, selepas ia keluar dari dapur.      

"Kenapa lama tidak pulang?" Thomas masih menggendong lala ketika ia memasuki rumah keluarga sederhana tersebut.      

Dia hanya tersenyum, ketika ditanya gadis kecil dalam gendongannya.     

"Yang penting sekarang sudah pulang," Hanya itu yang dikatakan Thomas ketika ia duduk di kursi yang berada di tengah-tengah ruangan.      

Kursi dengan meja kotak di hadapannya. Susunan meja dan kursi tersebut masih memiliki fungsi yang sama seperti sebelumnya, yakni ruang tamu dan juga berfungsi sebagai meja makan.      

"Kenapa kau diam?" Thomas menggugah perempuan yang masih membeku, mengamati setiap gerak-geriknya, "Mana sarapan kita?" Sentil lelaki yang tertangkap tengah berbahagia.      

Dan Kiki mengerjap seketika, seolah dibangunkan dari tidur panjang. Gadis tersebut mengangguk-angguk sendiri, lalu mengikuti perintah pria yang tengah menatapnya.      

Seolah belum benar-benar menemukan kesadaran, di dalam dapur ia menggosok dadanya berulang kali _Thomas? Apa aku sedang bermimpi?_     

Gadis berambut hitam panjang tersebut kembali menyalakan kompor gas di hadapannya. Ia meraih teko lalu mengisinya dengan air. Dengan masih menduga-duga, tangannya cekatan menyiapkan beberapa gelas bening yang disusun di atas nampan. Lalu butiran-butiran gula pasir berpindah dari wadahnya, perlahan-lahan ke dalam gelas tersebut.      

"Kak Thomas, kenapa datang pas kita mau berangkat sekolah, sih!" suara protes Lala, seolah tidak rela menghabiskan waktu sebentar dengan Thom.      

"Bolos sehari, tidak masalah sepertinya" ide tidak masuk akal dari Ricky.      

"Bicara apa kalian, lihat jamnya!" Thomas terdengar sedang memarahi pemuda yang duduk dibangku SMA tersebut, "Gunakan bajumu dengan benar! Masukan!" Dari dapur, Kiki tak melihat adegan Thom menarik baju Ricky yang dikenakan sembarangan, khas remaja -merasa lebih keren, ketika terlihat kurang rapi-.     

"Nanti kalau Kak Thom aku tinggal berangkat sekolah, hilang lagi. Terus, tidak pulang lagi!" Lala enggan mengenakan sepatunya. Gadis kecil tersebut masih protes, tidak mau berangkat sekolah.      

"Yang seperti itu tidak akan terjadi lagi," jawab Thom.     

"Jadi Kak Thom, akan tinggal di rumah kita lagi?" Suara bersemangat Lala mengiringi kedatangan Kiki dengan nampan berisi teh hangat. Tak lama kemudian gadis tersebut meletakkannya di hadapan masing-masing kursi, dan buru-buru kembali ke dapur.      

"Hehe," Thom hanya terkekeh.     

Dia berjalan meraih sepatu Lala, kemudian memaksanya untuk mengenakan benda tersebut.      

"Kak Thomas punya rumah. Kalau kalian mau, kalian main ke rumah kakak juga," percakapan Thomas dengan Lala yang sibuk mengenakan kaos kakinya. Seiring cara gadis berambut hitam meletakkan sarapan pagi keluarganya.      

Gadis tersebut terlihat sangat diam dan lebih terkonsentrasi pada caranya mempersiapkan hidangan pagi versi keluarga sederhana tersebut.      

Rice cooker lengkap dengan tempatnya diletakkan diatas meja makan. Beriringan dengan tahu, telur dadar dan sayur soup serta kerupuk di toples transparan.      

Thom sekedar mengamati gerak-gerik gadis yang tertangkap buru-buru tersebut. Ketika semua hampir selesai, Kiki terlihat melepas ikatan rambutnya kemudian membuat gulungan dengan rambut panjangnya sehingga terbentuklah sanggul alami yang diperkuat dengan ikat rambut.      

"Huuuhh.." ia yang belum mengeluarkan suaranya, kini memperdengarkan hembusan nafas -tanda lega sudah menyiapkan sarapan pagi secepat ia bisa-, "Silahkan sarapan, huuh.." bahkan pada salam sapanya masih ada nafas tanda lelah yang ia kabarkan kepada sang pengamat, tanpa sengaja.      

"Kau sama sekali tak berubah Kiki," ada senyum menyeringai lalu tatapan mata lekat ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.