Ciuman Pertama Aruna

III-256. Petrichor



III-256. Petrichor

0Dingin dan keras, tak banyak bicara, serta selalu misterius. Mengakibatkan Sukma sekedar mengikuti perintahnya, dengan tak lagi masuk kuliah. Sampai kepada bayi cantik lahir, dan menjadi kado terindah pernikahan mereka.      

Wiryo lebih banyak tersenyum, bahkan ia bisa tertawa. Pria tersebut menghabiskan banyak kebahagiaan bersama putri kecilnya. Dan Sukma memilih mengubur dalam-dalam rasa penasarannya terhadap suaminya.      

Sampai waktu terus bergulir, detik berganti, jarum jam berpindah, bumi berputar menghabiskan banyak siang menuju malam, ataupun sebaliknya. Sukma tidak pernah menyatakan protesnya, dan sekalipun tidak pernah mendengar Wiryo membahas darimana ia berasal.      

.     

.     

"Andos, beritahu Sukma, Graziella akan datang selepas Aruna dan Mahendra berangkat meninggalkan rumah induk,"      

"Ya. tuan,"      

Wiryo tertangkap merapikan bekal makanannya sendiri. Sebelum Andos sempat menyelesaikan percakapan melalui smartphonenya dengan susi, guna memberitahu mandat dari tuannya.      

Pria paruh baya tersebut sudah berdiri, berjalan perlahan, kemudian duduk di atas kursi rodanya. "Malam ini aku akan pulang. Minta salah satu ajudan untuk mengantarkanku,"      

Andos segera menyelesaikan percakapannya, kemudian mematikan handphone. Sesaat berikutnya tertangkap menyelipkan smartphone tersebut ke dalam saku celana. Sebelum ia menganggukkan kepalanya, tanda menuruti perintah.      

"Sebaiknya, kau memastikan Anna aman," Kalimat dari Wiryo selepas duduk di atas kursi roda.      

Besok sore perempuan bernama Anna yang kini tengah terbaring di ruang perawatan klinik Dr Diana, rencananya akan dibawa terbang menggunakan pesawat pribadi keluarga Djoyodiningrat menuju Milan.      

Andos tertangkap melepas tongkat yang ujungnya masih mencengkeram lengan tetua Wiryo. Tatkala ajudan tersebut mendapatkan sebuah pertanyaan, "Graziella, menurutmu, bagaimana supaya Sukma bisa lebih percaya diri menghadapinya?"      

Andos berdiri, kemudian melipat alat bantu jalan tersebut, "Andai istriku masih hidup, saya tidak akan segan-segan menyatakan cinta kepadanya, setiap menit setiap jam dan sepanjang hari,"      

Wiryo terbungkam, sepanjang cara Andos mendorongnya, hingga salah satu diantara mereka menghilang masuk ke dalam mobil kemudian pulang menuju rumah induk.      

***     

Lampu di dalam kamar sudah berubah menjadi temaram. Ransel yang berisikan masing-masing 2 potong baju, baik itu outfit laki-laki maupun perempuan, tertata rapi dan menyandar di sebuah sofa.     

Ransel tersebut bersanding dengan tas selempang yang menyajikan tempelan aksesoris warna-warni khas perempuan yang kini tertidur lelap, dalam damai.      

Berbeda dengan pria yang masih membuka mata birunya secara lebar-lebar. Hal tersebut disebabkan oleh dia merasa tidak menemukan sedikitpun rasa kantuknya.      

"Sayang…" mungkin ini bisikan ke-5.      

Padahal pada bisikan terakhir, dia mendapatkan lemparan bantal tepat di mukanya, sebab terlalu berisik.      

"Sayang!" Tangan dengan jari-jari yang panjang, mengelus rambut seseorang kemudian menampaki bahu untuk digoyang beberapa kali.     

"Aruna.." pria yang berbisik lembut mencoba kembali membangunkan istrinya. Masih bersikukuh mempertahankan persepsinya bahwa pilihan Aruna bukan yang terbaik untuk perempuan hamil dan janin di kandungan.     

Pria tersebut berhenti melakukan kenakalan selepas mata perempuan terbuka lebar, "aku tahu kamu khawatir.." Aruna terduduk dari pembaringan, "pahamilah Hendra, bisa jadi pengalaman yang berbeda akan memberimu kekayaan  tak ternilai harganya," mata coklat menatap sorot mata biru di antara temaram lampu.      

"Maka dari itu, sekali saja.. cobalah letakkan pengetahuan di kepalamu dan lihatlah dunia secara antusias.." Hendra mengerutkan keningnya, sulit menangkap makna dari pernyataan yang diucapkan istrinya, "berupaya menghentikan putaran di dalam kepalamu," dia yang diajak Aruna bicara kian bingung, dan Aruna paham ekspresi pria tersebut.      

Sebelum Aruna berbaring, ia kembali mengujarkan sebuah pesan, "jangan terlalu banyak berpikir," pesan penutup yang unik.      

Mendorong lawan bicaranya bertanya, "kenapa?"      

"Kenapa apanya?"      

"Kenapa kamu menyarankanku untuk tidak perlu banyak berpikir??," pernyataan ini menghentikan gerakan perempuan yang ingin memunggungi lelakinya.     

"Berpikir itu, fitrah manusia yang membedakan kita dengan makhluk lain," suara ini masih dari pria yang memancarkan warna biru pada matanya.      

"Sayangnya pikiran kita hobi memprediksi, dia suka menyajikan data, sehingga kita tergiring setiap saat untuk menciptakan dugaan atas apa-apa yang sedang atau segar terjadi, bukan begitu?" Aruna melirik suaminya, pria tersebut membuat gerakan ringan 'mengiyakan pernyataan perempuannya'      

"Padahal dugaan yang diciptakan kepala kita belum tentu benar Hen.." si perempuan yang kini memutar tubuhnya telah berhasil mendekap dada suaminyanya.      

"Apa kamu pernah mengalami ini? misal, ujian sekolah yang kau pikir sangat sulit, kenyataannya tidak semenyeramkan dugaanmu?"      

"Aku tidak pernah kesulitan di pelajaran sekolah, jangan gunakan contoh itu, carikan contoh lain,"      

"Em.. oh' aku ingat, aku yakin dulu sebelum kita menikah, kamu pasti berpikir akan sangat sulit menjalani kehidupan pernikahan bersamaku, walaupun kenyataannya sulit, tapi tidak semengerikan yang ada di kepalamu, benar tidak?" Lelaki yang diajak bicara aruna tersenyum sempurna hingga lesung pipinya hadir.      

"Sekarang tidurlah.." Aruna bergerak perlahan mendekati pipi lelakinya kemudian mengecup sejenak, "besok pagi kita coba hal terbaru, percayalah.. tidak akan semengerikan dugaanmu," yang diajak bicara layaknya kucing penurut, mendapat elusan ringan sehingga matanya mulai menutup lalu menghilang, terbawa rasa kantuk. dia tidur sesuai perintah istrinya.      

.     

.     

Saat fajar perlahan-lahan hadir menyingkirkan malam, beriringan dengan bunyi alarm yang menggema di sudut kamar sepasang suami istri.     

Keduanya bangun, bergantian membersihkan diri secepat yang mereka bisa. Pria itu berulang kali memastikan barang bawaannya lengkap, dia pada akhirnya telah siap.      

Kini, giliran memastikan baju yang dikenakan istrinya cukup nyaman, sebuah jaket yang menyajikan sleting. Berhati-hati mata biru kaitkan, kemudian ditarik perlahan naik ke atas menutupi seluruh tubuh istrinya.      

Mahendra tersenyum hangat, mengikuti cara perempuan di hadapannya yang kini tersenyum hangat menyapa paginya. Aruna senang Hendra percaya dengan apa yang ia ucapkan semalam.      

Tidak ada yang mengerikan dengan mencoba hal-hal baru.     

 Pria tersebut memanggul ranselnya, dan si perempuan membawa tas selempang samping yang terasa lebih ringan.      

Aruna mengenakan celana kain panjang dengan bahan lembut. Dimana, pada bagian pinggangnya mengusung model potongan longgar khusus ibu hamil. Celana kain tersebut berwarna abu-abu cerah, kemudian atasannya adalah kaos memanjang sampai di bawah pinggang, berwarna putih yang dibungkus jaket oleh Mahendra.      

Mereka keluar pagi-pagi buta, di iringi seorang perempuan paruh baya menyodorkan satu tas jinjing khusus traveling, -penuh makanan-     

"Oma kita bisa beli di kereta," keluh Aruna.      

"Please.. Jangan makan sembarangan!" perempuan di hadapan Aruna menarik pergelangan tangan Aruna, kemudian meletakkan ujung tas jinjing tersebut tepat di telapak tangan perempuan hamil tersebut.      

Mahendra, segera menyerobotnya, berinisiatif untuk membawanya.      

"Ayo! berangkat sekarang! daripada telat," panggilan tersebut mengawali pelukan Aruna teruntuk Oma Sukma dan mommy Gayatri, sebagai salam perpisahan sejenak di antara mereka.      

Dan keduanya melangkah keluar dari pintu utama rumah induk, kala langit pagi menyajikan rintik air hujan menyentuh tanah.      

Hingga dingin pagi ini terasa lengkap. Dibumbui aroma segar alami hasil rinai air yang datang layaknya milyaran sarang laba-laba panjang, tipis, menghubungkan angkasa dan bumi.      

Aroma petrichor[1] menguar menyentuh hidung-hidung umat manusia yang mendapatkan karunia hujan pagi ini. Karunia Tuhan nampaknya ikut serta mengiringi jalannya mobil Mobil hitam yang berisikan sepasang suami istri.      

Lelaki yang tadinya diliputi rasa khawatir, perlahan kehilangan kerutan di wajah. Dia menyambut senyum manis sang istri yang sejak semula membuka jendela mobil mereka.      

"Ini akan menjadi perjalanan tutup tahun yang indah," dia yang berbicara menyalakan mata coklatnya. Ada antusia dia sana. Meletup-letup di hatinya dan tercermin halus pada rona wajahnya.      

Mahendra tersenyum, lalu tangannya bergerak menyentuh perut sang istri. "Dan awal yang sempurna untuk kita bertiga," Betapa bahagianya Aruna, kala Mahendra menyebutkan 'kita bertiga'.      

Dua kata sederhana tersebut, menjelma layaknya dekapan hangat. Seperti cara Hendra mendekap dirinya. "Aku rasa bukan tiga, tapi kita berenam,"      

"Enam?"     

"Ya.. enam, bersama opa Wiryo, Oma Sukma dan mommy Gayatri, rumah induk bakal kita isi dengan suasana berbeda tahun depan." Hendra menarik bibirnya. Senyum lurus yang terkesan datar.      

"Sebab kamu adalah pemimpin keluarga selepas bayi kita lahir, dan aku menuntutmu untuk menjadikannya berbeda," dia yang tadinya tersenyum datar, berujung pada desah kecil tanda gemas terhadap pesan-pesan menyentil khas istrinya.      

"Tidak ada yang akan berubah, kecuali ....      

.     

.     

[1] petrichor ialah aroma segar dan wangi setelah hujan turun mengenai tanah. Petrichor berasal dari Yunani, petros yang artinya batu dan ichor dengan arti cairan yang mengalir di pembuluh darah para dewa.      

istilah petrichor pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Isabel Joy Bear dan Roderick G. Thomas lewat artikel berjudul Nature of gillaceous Odour pada 1964.  Petrichor dari molekul geosmin yang diproduksi oleh bakteri  treptomyces yang hidupnya di tanah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.