Ciuman Pertama Aruna

III-253. Tanah Kelahiran



III-253. Tanah Kelahiran

0"Sudah aku bilang, ini Honeymoon ala Aruna,"      

"Yang benar saja! Jangan bodoh dan gila?! Kau sedang hamil!" suaranya meledak-ledak. Sungguh, ini keputusan yang konyol menurut Mahendra.      

"Karena sedang hamil, aku tidak bisa naik pesawat,"      

"Tanpa pesawat, bukan berarti kereta ekonomi!" Perdebatan mereka mulai meresahkan.      

"Itu sensasi yang akan aku tawarkan. Kau belum pernah bepergian dengan kendaraan umum seumur hidupmu.. -bukan??" dan si perempuan mungil tak mau kalah dengan ide gila yang ia ajukan.      

"Ya.. ya.. ya.. kau benar. Tapi kamu hamil Aruna?!"      

"Aku hanya hamil.. bukan pengidap penyakit kronis! Aku tidak mau mundur!" Aruna mulai menunjukkan sikap kerasnya.      

"No!"      

"Huh! Ini adalah perjalanan impianku.. aku sedang ngidam. Aku ngidam!" Sungguh, kasihan sekali baby di dalam perutnya yang selalu dijadikan tameng oleh Aruna.      

"Mana ada ngidam seperti itu??" Logika Mahendra menolak alasan tersebut.      

"Ada!"     

"Mana buktinya??"      

Dan Aruna mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke arah wajahnya.      

"Huuuh.. sayang dengarkan aku.. kesehatan.."     

Tahu Mahendra mulai merayunya, Aruna duduk kesal di atas ranjang sambil menutup telinganya, "Andai suamiku Damar, 'naik kereta? Gampang! ayo!'," Aruna mengikuti logat bicara Damar.     

"Tidak mungkin dia mengabaikan permintaanku. Aku ngidam pergi naik gunung, atau menyelam di laut sekalipun. Pasti bakal terpenuhi.." ada yang menyalakan api, supaya hati pria dihadapannya berkobar-kobar.      

"Baik.. baik! Oke! pukul berapa kita berangkat?" Tanya Mahendra, menyedekapkan tangannya.      

"Jam 5,"     

"Jam 5 sore?"      

"Besok pagi,"      

"APAAA..?? OH.. Tuhan.."     

.     

.     

Malam telah datang, waktu menunjukkan saatnya makan malam. Aruna tampak bersemangat mengenai jalan-jalan versinya, pulang ke kampung halaman. Padahal, dia hanya sekali mengunjungi tempat yang akan menjadi destinasi perjalanan spesialnya bersama suaminya kali ini.      

Kala itu di bulan Desember -yang sama dengan sekarang- pada liburan akhir tahun, berdua bersama ayahnya. Ketika Aruna berhasil lulus SMP dengan nilai diatas prediksi ayah Lesmana, maupun bunda Indah.      

Padahal, angka yang tertera dalam surat kelulusan, adalah nilai standar bagi siswa di usianya. Dan hal tersebut dikategorikan sebagai nilai biasa saja, jika dibandingkan dengan kedua kakaknya.      

Walaupun begitu, ayah Lesmana tetap memenuhi janjinya. Beliau mengosongkan agenda kerja dan mengisi liburan akhir tahun berdua saja, bersama Aruna.     

Asal diketahui, pada saat Ayah Lesmana membawanya mengunjungi kampung halaman, Aruna bahkan tidak diberitahu apa pun, gadis belia tersebut belum menyadari bahwa tempat yang ia datangi adalah tanah kelahiran yang sesungguhnya.      

Alasan ayah Lesmana ketika memberinya penawaran menempuh perjalanan panjang berdua saja, sekedar mengutarakan bahwa beliau berharap ditemani mengunjungi makam sahabat dekatnya, sahabat paling berarti. Aruna belia di bawa mengelilingi desa di lereng pegunungan yang dingin nan indah.      

Ayah membawa selembar foto dan kertas, bertanya kesana kemari hingga sampai ke sebuah rumah runtuh, kusam dan sudah ditumbuhi semak belukar.      

Rumah rusak dan tak berpenghuni akibat erupsi gunung Bromo pada 26 Desember tahun 2000 hingga awal tahun 2001. Tatkala balita mungil dengan mata coklat hangat baru menginjak usia 2 tahun.      

Aruna tak pernah menduga, dua buah makam beriringan pada desa yang tertimpa serbuan abu vulkanik gunung Bromo tersebut adalah makam orang tuanya.      

Masih ingat jelas di memory Aruna, ayah memintanya berdoa di atas pesarean sahabatnya. Aruna pun mengikuti permintaan ayahnya tanpa banyak bertanya.      

Bukan karena kunjungan ke desa Ledokombo kecamatan Sumber yang membuat Aruna tahu rahasia ayah dan bunda tentang dirinya.      

Remaja Aruna aktif di dunia kerelawanan, sering ikut serta dalam bakti sosial donor darah. Ia mulai curiga selepas golongan darahnya ditemukan berbeda antara dirinya dengan orang tuanya termasuk kakak-kakaknya.      

Kecurigaan tersebut mendorong pada kecurigaan lain. Sempat mengikuti ayah Lesmana sebab dikira ayah punya istri lain dan mungkin dia ialah anak dari istri lain. Atau bunda yang ditanya perihal hubungan asmara, serta sederet pertanyaan aneh.      

Lama kelamaan Aruna menyadari dirinya agak berbeda, baik struktur wajah, minat, maupun kecerdasan. Dan insting tentang perbedaan tersebut mendorongnya kian jeli mencari tahu. Sampai kepada Aruna menemukan berkas adopsinya.      

.     

.     

Aruna memilih menaiki kereta api yang sama, dengan kereta yang dulu pernah ia gunakan ketika pergi bersama ayahnya. Bahkan, dia juga berencana untuk menaiki bus yang sama pula. Ketika nanti mereka sudah sampai di terminal tempat transit, di kota tempat ayah dan dirinya singgah sejenak.      

Mahendra berulang kali mengalihkan pembicaraan. Dia bahkan memasukan makanan dengan sengaja ke mulut Aruna. Hal tersebut dikarenakan, istrinya terus memberi penjelasan kepada Oma Sukma serta Mommy Gayatri. Kedua wanita tersebut ikut antusias mendengarkan rencana perjalanan pasangan suami istri ini.      

Kecuali satu hal yang belum terungkap. Mereka akan pergi menggunakan kereta umum, dan moda transportasi umum lainnya.      

Oma Sukma bisa syok, bahkan ikut sakit kepala. Andai Mahendra tidak segera mengalihkan pembicaraan, dan mencengkram tangan Aruna kuat-kuat.     

Sambil berbisik dalam tawa konyol. Mahendra memberitahu Aruna untuk membatasi cerita, tentang rencana perjalanan mereka.     

Terlebih, transportasi yang akan mereka gunakan pada oma Sukma. Jika sampai perempuan paruh baya tersebut tahu akan hal ini, sama artinya menggagalkan semuanya.      

Oma Sukma akan jadi penentang utama. Mengingat dia paling heboh dan over protektif terkait bayi yang dikandung Aruna, dari pada ibu hamil itu sendiri.      

"Tenang Oma.. kereta sleeper, kita gunakan kereta yang nyaman" Hendra menutup penjelasan Aruna dengan kebohongan. Sebelum nanti ketika di dalam kamar, lelaki dengan mata biru menyala-nyala (menahan marah) ini, siap memprotes kembali ngidam istrinya yang jelas-jelas tidak masuk akal.      

Disisi lain, si perempuan hamil yang mendengar kalimat kebohongan dari suaminya, sedang asik menikmati sesuap sup dingin dengan kuah santan.     

Kuah yang disiram di atas pisang berselimutkan adonan dari tepung beras dan tepung terigu berwarna hijau tua, dimana adonan tersebut menyelimuti seluruh lapisan pisang hingga tanpa bersisa.      

Potongan-potongan pisang berselimut yang dikukus tersebut, berpadu dengan beberapa buah Cherry serta bubur sumsum. Sebelum akhirnya disiram dengan sirup pandan warna merah menyala.     

Semenjak hamil, Aruna paling suka sajian satu ini. Perempuan tersebut bisa memintanya setiap hari. Tidak peduli, apakah hidangan satu ini cocok untuk malam hari atau tidak.      

Bagi Mahendra, sup dingin tersebut lambang ngidam Aruna, tapi tidak dengan perjalanan bodoh esok hari.     

Bahkan ketika malam menerpa, Mahendra masih merasa ada yang salah dengan pilihan istrinya.      

***     

Disaat hari kian mendingin, di tengah bulan Desember yang penuh hujan. Alam, nampak ikut serta merutuki sebuah penyesalan.     

Di luar masih gerimis, ketika pria paruh baya bangkit dari kursi rodanya.     

Beliau meminta asisten utamanya -Andos-, menyerahkan sebuah alat bantu jalan berupa tongkat. Benda yang pada pangkal atasnya memiliki dua buah ruas, yang berfungsi mencengkeram lengan.      

Dan, ketika tangan lainnya telah usai memasang alat bantu jalan pada sisi lengan satunya. Pria paruh baya yang dengan sengaja lebih sering menampakkan diri duduk di atas kursi rodanya -setelah dapat berdiri-, berjalan menggunakan kakinya sendiri. Walaupun salah satu diantaranya terlihat pincang.      

Wiryo menepikan dirinya. Beliau duduk pada sebuah sofa, yang membelakangi jendela membentang. Bulir-bulir air yang merambat di jendela, menjadi background seorang lelaki yang nampak enggan dengan wadah-wadah berisikan makanan kiriman istrinya.      

"Sukma tahu, apa yang terjadi saat ini??" Suaranya terdengar berat, seperti beban yang kini tengah beliau rasakan.      

Andos berdiri di hadapannya, akan tetapi dia membungkam mulutnya rapat-rapat. Cara diam tersebut, merupakan kategori sebagai jawaban 'iya' di mata Wiryo.      

Tak lama kemudian, tangan kakek Djoyodiningrat tersebut bergerak. Beliau meraih sebuah wadah berisikan seporsi kecil beras merah yang bersisian dengan salad sayuran setengah matang, tanpa gula. Ada rasa asin dari sedikit garam khusus yang digunakan, dan disebut garam Himalaya.     

Sepanjang mata memandang tak akan ditemui makanan selain dengan proses direbus, kecuali sepotong daging salmon.      

Ada dehem kecil di sertai tawa samar ditujukan untuk Andos, yang konsisten menampilkan keterbungkaman.     

Diamnya Andos sedikit menggelitik Wiryo. Hal tersebut dikarenakan, lelaki yang menjadi tangan kanan dari tetua Djoyodiningrat tersebut, jelas-jelas tidak pandai membodohi tuannya.      

"Kau yang memberitahunya? " pertanyaan kedua dari mulut Wiryo.      

"Bukan. Kali ini bukan saya" Jawab Andos tegas.      

Dan terdengar kekehan dari lelaki paruh baya. Untuk apa Andos tadi pura-pura diam seperti patung?, Jika sudah jelas, dia tidak akan bisa menghindar dari Wiryo.      

"Menurutmu siapa yang memberi tahu? Dan sejauh mana dia tahu?"      

"Em.." Andos akhirnya duduk di sofa sisi berbeda, dari tuannya. "Para ajudan perempuan, tidak sesederhana bayangan anda"      

"Susi dan junior-juniornya?" suara Wiryo memperjelas maksud kalimat Andos.      

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak. So, tambahkan ke daftar pustaka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.