Ciuman Pertama Aruna

III-252. Menyingkirkan Bayang-bayang Hitam



III-252. Menyingkirkan Bayang-bayang Hitam

0Aruna, kalau pun Nana harus diserahkan kepada pihak berwajib, apakah kamu tahu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 44? Seseorang 'Tiada dapat dipidana barang siapa suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan olehnya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal,'      

"Maka dari itu, dari pada Nana terus menghantui perempuan yang saat ini berjuang melahirkan generasi penerusku, atas nama kehormatan ayahmu, Lesmana. Kakek tua ini meminta izin, menjauhlah dari kota ini sejenak" Terdengar helaan nafas panjang dari Wiryo.      

"Hendra, bawa dia ikut bersamamu. Aku tidak akan bisa menyiapkan Anna, apalagi mengatur persiapan dokumen-dokumen kepergiannya. Andai bayang-bayang Mahendra terus mengawasi. Madam Graziella, ibu angkat Anna akan tiba untuk menjemput putrinya"     

"Akan tetapi, rencana ini bisa rancu bahkan menemui kegagalan. Kau tahu, suamimu seseorang yang keras kepala. Jika Mahendra menginginkan sesuatu, dia lebih gigih dari semua kegigihan orang lain yang pernah kamu lihat"     

"Dia pernah meminta Ayah kepada seluruh penghuni rumah induk selama sebulan penuh tanpa jeda. Hingga akhirnya Gayatri mengalami depresi, karena tidak dapat lagi membuat alasan"      

"Dan kau Aruna, putri Lesmana tidak boleh lupa.. bagaimana cucuku mati-matian mengejar dan memaksamu bertahan sebagai isterinya. Kita sedang membicarakan seorang pemburu ulung yang tidak akan menurunkan senapannya, sampai buruannya tertembak"     

"Bukan perkara mudah, tapi kamu harus melakukannya. Bawa dia menjauh sejauh-jauhnya sementara waktu. Pecah pikirannya dan buat Hendra sibuk karena menurutimu"      

"Bepergian naik pesawat dengan perutmu yang belum memasuki fase aman untuk izin terbang, turut menyulitkan kakek. Hal ini cukup berat, untuk membiarkanmu melalui penerbangan bersama pesawat kami"       

"Maka dari itu, aku tidak menjatuhkan perintah kepadamu dan membuat keputusan sepihak. Sungguh, tidak bijak untuk ku saat ini. Oleh sebab itu pula, aku meminta Raka segera membawamu ke klinik Diana dengan harapan kau bisa menemukan idemu sendiri" Monolog terpanjang yang pernah dihaturkan opa Wiryo kepada Aruna.      

Sesaat kemudian, secara spontan Aruna mengemukakan ide yang sudah lama berada dalam benaknya.      

"Opa, bolehkan aku mengunjungi sebuah tempat yang aku inginkan?. Bisakah, aku dan Hendra pergi tanpa pengawal?. Menurutku.. Dengan pengawalan di sekitarnya akan membuatnya tak memiliki kesibukan yang berarti. Dia akan curiga kecuali perjalanan ini adalah 'ide tidak masuk akal ku', sehingga dia terlalu sibuk dan tidak sempat memikirkan hal lain".     

"Aku angkat tangan. Semua terserah padamu. Yang kita inginkan saat ini sama, yaitu.. berusaha menyingkirkan Mahendra dari bayang-bayang hitam. Sebuah keinginan yang menggebu-gebu, demi memastikan Anna lenyap menggunakan tangannya sendiri. Hendra, hanya akan memalingkan wajahnya ke arah lain ketika Putri Lesmana yang memintanya" Ujar opa Wiryo.     

Sesaat kemudian beliau tampak menghela nafas panjang. Sebelum kembali berujar "Sampai disini, aku serahkan Hendra kepada putri Lesmana seutuhnya".     

Aruna mengangguk penuh tekad, sebelum mobil membawanya melaju kencang. Menyisir langit yang perlahan menggelap.      

"Apakah Anda yakin, Anna mustahil kembali lagi ke negara ini?" pertanyaan terakhir Aruna. Guna memastikan keselamatan dirinya dan baby-nya, serta jaminan bahwa seseorang yang berbuat salah layak mendapatkan hukumannya.      

"Madam Graziella, bersumpah akan membekuk paspor Anna selepas sampai di Milan. Andai putri Lesmana masih diliputi kekhawatiran. Detik ini juga angkat kepalamu, dan perhatikan singa tua yang duduk di kursi roda" Ujar opa Wiryo, meyakinkan perempuan hamil yang menjadi korban tragedi naas yang menimpanya.      

Aruna mengikuti perintah Wiryo.      

"Tanya pada lubuk hatimu. Siapa yang lebih menginginkan lahirnya penerus keluarga Djoyodiningrat, selain suamimu?! "     

Aruna menelan Salivanya.     

Sama halnya dengan apa yang dia lakukan detik ini. Ketika Mahendra bersungut-sungut menuruni tangga, dengan pandangan mata mengembara sampai tenggorokannya kering menelan saliva.      

"Kemana kau pergi?!" nada suaranya terdengar tak bersahabat. Jelas sekali dia sedang marah. Intonasi yang meledak-ledak dengan tangan mengepal.     

Lebih dari satu bulan, hidupnya dipenuhi pelukan Mahendra. Dan kepergian Aruna kali ini, adalah hal pertama diluar kebiasaan yang telah terjalin diantara mereka.      

Mungkin laki-laki di hadapan Aruna, lebih dari mengalami sindrom yang sama dengan dirinya. Ada yang terasa hilang dan kosong ketika berjauhan barang sejenak.      

Aruna memutar matanya, begitu juga isi di dalam kepalanya _alasan! Alasan! Aku harus membuat alasan apa?!_      

"Alvin!" perempuan hamil tiba-tiba melengkingkan seruan, "Tiket! Tiket yang aku minta, mana?!"      

Alvin mengeluarkan handphonenya. Sekilas ia berlari tergesah menyerahkan tiket elektronik pada layar smartphone, kepada nona muda keluarga Djoyodiningrat.      

"SURPRISE…" menggoyang-goyangkan handphone yang tergenggam tangan.      

"Honeymoon ala Aruna" wajah cerah dengan gigi rapi tersaji sempurna, matanya dibuat berbinar.     

Bagi Alvin hal ini terlihat kepura-puraan, tapi tidak untuk sudut pandang Mahendra. Pria di hadapan Aruna sudah terlanjur bahagia, mendengar kata 'honeymoon' dan dia lupa istrinya paling pandai mengatur ekspresi wajah.     

"Aku mempersiapkan ini. Maka dari itu, aku pergi sebentar"      

"Kau cukup Lama! dan tidak membalas pesanku!" Walaupun wajahnya memerah, Mahendra menyajikan ekspresi jengkel yang sedikit mengkhawatirkan.      

"Kamu jengkel? atau sebaliknya?" Perempuan yang kini menangkap lengan kanan Mahendra, menariknya menaiki tangga, menuju kamar mereka. Mencoba merayu lelaki bermata biru supaya perlahan-lahan menurunkan emosinya.     

.     

.     

"Apa yang terjadi?"      

"Apa kau gila?"      

"Kenapa sangat mendadak?"      

"Aku tidak setuju"      

"Kita batalkan saja tiketnya, nanti bisa beli lagi"      

Deretan kalimat protes tidak mau lepas dari mulut Mahendra. Tatkala melihat istrinya secara mengejutkan menurunkan tas punggung dari kaca display outfit keseharian mereka.      

Aruna tidak menjawab apapun. Perempuan ini selalu menarik bibirnya, kemudian menyuguhkan senyuman.      

Dia tertangkap mendorong pintu kaca, selepas tas kedua yang berupa tas selempang samping turut serta ia turunkan, dari lemari yang menyajikan susunan tas berjajar rapi.      

"Daripada terus menggerutu, lebih baik membantuku"      

Aruna berburu waktu, pesawat madam Graziella kabarnya sudah lepas landas dari Bandara Internasional Malpensa, terletak di provinsi Varese, dekat Milan, Italia.      

"Sayang! Kamu tidak akan mengubah keputusanmu sedikitpun??" Aruna terlihat mengeluarkan beberapa gantung baju, dibuntuti Mahendra yang detik ini mendekap 2 tas sekaligus.     

Sejalan berikutnya, dekapan tangan Mahendra lebih penuh lagi. Dia harus memeluk gantungan-gantungan baju yang dikeluarkan istrinya dari almari pakaian.      

"Apa kamu tidak sadar! Kali ini keputusanmu, bukan sekedar unik, tapi amat! sangat! tidak masuk akal!" Beberapa kata dia tekan sambil berjalan perlahan-lahan, supaya baju dalam dekapannya tidak runtuh ke lantai.     

Ketika Aruna pada akhirnya mendekati sulur bunga lily, ranjang tidur putih yang ditimpa oleh runtuhan benda-benda dalam dekapan suaminya. Perempuan itu akhirnya membalik tubuhnya dan berkenan merespon kalimat-kalimat tanya suaminya     

"Aku tahu ini sangat mendadak, tapi.. aku pikir tidak ada yang lebih baik daripada hari ini. Aku sudah membulatkan tekad. Aku ingin suamiku, mengenal tempat kelahiranku"     

"Tempat kelahiran??" Mahendra memasang wajah keheranan. Dia membuat langkah perlahan, mendekati istrinya yang berdiri menatap dirinya lekat-lekat.      

"Ya.."      

"Tempatmu lahir??" Lelaki bermata biru memastikan kembali kalimat Aruna.      

"He'em.." dia berdehem sambil mengangguk ringan, "Dan mengunjungi makam seseorang, untuk berkenalan pada mereka".     

"Makam..??" wajah tertegun Mahendra seiring dengan kepalanya yang merunduk, menangkap ekspresi istrinya yang jauh lebih mahal daripada tinggi tubuhnya.      

"Makam orang tua asliku di semayamkan" Terdengar lirih, tapi cukup jelas ditangkap indera pendengaran Mahendra.      

"Ohh.." dia yang mendesah, terhantam rasa haru bercampur bingung. Mahendra mengurai pelukan hangat. "Bagaimana caraku menolaknya" mata biru bergumam, gumaman yang tertangkap jelas di telinga Aruna.       

Lalu sebuah kecupan mendarat kuat-kuat di pipi perempuan dengan mata coklatnya yang berbinar hangat.      

"Okey.. hentikan!" Aruna membuat dorongan ringan pada tubuh Mahendra, "Sekarang, bantu aku berkemas-kemas"      

"Siap.." ceria Mahendra.      

"Kau mau kemana Hen?!" ujar Aruna yang melihat suaminya bukannya melipat baju, untuk diselipkan ke dalam ransel, malah membalik tubuhnya menjauh.      

"Ambil koper" Jawabnya ringan.      

"Siapa yang butuh koper?"     

"Kita??"      

"Tidak ada koper yang akan kita bawa. Cukup satu tas ransel, dan tas selempang ku" komando Aruna, sejalan dengan tangannya yang menunjuk dua benda yang berada di atas ranjang tidur.     

"Tunggu? Naik kereta, bukan berarti kita tidak bisa bawa koper -kan?" kulit di antara dua alis mata biru tertangkap mengerut perlahan.      

"Masalahnya tiket kita ekonomi. Lebih nyaman jika membawa tas ransel" si mungil bermata coklat memberi pemahaman kepada Mahendra.      

"Apa?? Kenapa begitu?"      

"Sudah aku bilang, ini Honeymoon ala Aruna"      

"Yang benar saja! Jangan bodoh dan gila?! Kau sedang hamil!" suaranya meledak-ledak. Sungguh, ini keputusan konyol menurut Mahendra     

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak. So, tambahkan ke daftar pustaka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.