Ciuman Pertama Aruna

III-246. Melapangkan Dada



III-246. Melapangkan Dada

0"Apa ayah pernah kecewa pada Bunda?"      

"Pasti. Bundamu bukan malaikat, suamimu juga bukan malaikat.." Lesmana cukup paham, kemana arah ucapan Aruna "Keluarga itu ibarat tubuh.. kadang perut kita yang sakit karena ceroboh memasukkan makanan. Kadang pula kepala yang menjadi pusing, bisa juga kaki atau tangan yang merasakan sakit. Keluarga juga sama. Bisa kepala keluarga yang menjadi sumber masalah atau mungkin dari sang istri, bahkan bisa dari anak-anak yang sejujurnya sangat kita cintai" Lesmana melirik putrinya.     

"Tidak ada yang sempurna.." Aruna menatap bengkel mini ayah yang berisi perkakas, kumpulan ukiran kayu yang tampaknya akan diwujudkan sebagai kursi ukir.      

"Tidak ada kebahagiaan yang stabil di dunia ini. Yang ada ialah.. bekerja sama untuk terus menciptakan kebahagiaan tersebut, tanpa putus dan lelah. Seiring kita berproses.. dan sejalan dengan proses tersebut, tanpa sadar kita merasakan apa itu makna bahagia" monolog ayah Lesmana terdengar begitu bijak.     

Aruna tersenyum. Senyuman yang mengandung rahasia. Sebuah hal yang ia pendam dan sedikit menggelitik batinnya. Sang ayah mengajarinya tentang makna menghargai proses, sangat berkebalikan dengan suaminya sendiri yang cenderung fokus pada hasil mutlak.     

"Coba beri aku satu contoh. Satu saja orang yang menurutmu hidupnya sangat bahagia" sang ayah mencoba mengulik sudut pandang anaknya.     

"Em.. siapa ya??" dia lama berpikir, hingga akhirnya sebuah gelengan kepala yang hanya ia sajikan.     

Lesmana tersenyum tipis sebelum menjawab "Bayi. Kau tahu kenapa?" Kembali gelengan kepala yang hadir dari lawan bicaranya "Karena mereka belum punya nalar" jawaban sederhana dari seorang ayah.     

"Bayi dan balita..haha.. ah' ayah pintar juga" dan si perempuan calon seorang ibu menghadirkan tawa.     

"Hehe.. masih sempat mengatai ayah pintar.. dasar kamu itu!" Lesmana mengelus kepala putrinya.      

"Ayah.. apa ayah tahu.. em masa kecil Hendra seperti apa?" ternyata ada rasa penasaran yang mengusik Aruna.     

"Kenapa?"      

"Tidak apa-apa.. aku hanya penasaran, Apa ayah tahu atau tidak?" sejujurnya ada rasa penasaran tingkat dewa yang sedang dipendam Aruna.     

"Bicaralah yang jujur.. atau ayah tidak bisa memberi masukan dengan benar" Lesmana coba meyakinkan putrinya.     

"Ayah kenal Anna?" Aruna menatap penuh wajah ayahnya.      

"Anna?" Lesmana coba memastikan.     

"Mungkin Nana?" Aruna memberikan opsi lain     

"Dia teman kecil tuan muda" jawab Lesmana singkat, "Oh' maksudnya putri angkat opa Wiryo.."     

"em, juga.." kata 'juga' terucap lirih oleh Aruna.     

"Iya. Waktu ayah menengok Aruna ketika sakit, kita pernah makan bersama. Dia akhirnya pulang ke indonesia"     

"Jadi ayah tahu.." Lesmana mengangguk.      

"Kenapa putriku bertanya?"      

"Emm.. apa dulu ada sesuatu yang terjadi.. maksudku"      

"Huusss.." dengan nada rendah lesmana meminta putrinya diam, dan Aruna membeku menuruti permintaan ayahnya "Sebesar apapun kamu menggali masa lalu, tidak ada gunanya. Bukankah daripada memikirkan hal yang sudah berlalu, lebih baik merencanakan masa depan yang ada di dalam perut Aruna" si putri yang akan menjadi seorang ibu menarik bibirnya -tersenyum-, mendengar kalimat sang ayah.     

"Nak, seburuk apapun yang kamu hadapi, percayalah.. segala hal yang rumit itu hanya ada di sini.." mengarahkan telunjuknya ke keningnya sendiri "Jika kamu bisa mengurai yang ada di kepala, maka yang di sini.." Lesmana menyentuh dadanya dengan ujung-ujung jari "Tidak akan merasakan sakit" lalu matanya menatap lekat si bungsu.     

Lesmana tahu, andai yang diajak berbicara bukan Aruna atau mungkin kakak perempuannya -Aliana- pasti hasilnya berbeda.     

Aliana secara lugas dan percaya diri pasti akan langsung menceritakan gundah di hatinya, tidak ada yang disembunyikan sedikitpun.     

Dan Aruna sangat berbeda, maka cara berkomunikasi terbaik dengannya adalah menyakinkan ragunya.     

"Selama masih bisa melapangkan dada.. berusahalah yang terbaik, sebaik yang Aruna bisa" kalimat yang terlontar dari bibir Lesmana sejujurnya tanpa tahu detail masalah putrinya, akan tetapi orang tua ini merasa tak perlu semakin dalam menyelami hal tersebut ketika putrinya tak nyaman membuka percakapan.     

"Ketika kelapangan dada tak mampu diraih lagi, maka hak setiap individu untuk bebas dari penderitaan yang dialami" tubuh sang ayah kian erat mengamati si bungsu. "Sekarang putri ayah di titik mana?"     

Aruna mengambil nafas dalam-dalam "Semoga kemudahan menyertai putrimu ayah.. aku siap melapangkan dada"      

"Syukurlah.." sang ayah mendekap bahu putrinya berbangga "Jangan setengah-setengah kalau sudah berkenan melapangkan dada" petuah dari seorang ayah bagai obat yang sangat mujarab bagi putrinya.     

"Iya ayah.." Aruna mengangguk ringan dan menarik bibir simpul.     

"Ayah bangga dengan Aruna"      

_Aku yang lebih bangga punya orang tua seperti ayah_ perempuan hamil terlihat memeluk Ayahnya.      

^^^     

SEKARANG     

Bau rempah-rempah terbang dari sajian yang tertata rapi di meja makan. Sebuah soup berwarna kuning penuh dengan rempah beraroma memikat, mendorong nafsu makan perempuan Hamil.     

Aruna menyeruput kuah kuning dengan isian sayur berpadu dengan ayam yang disuir tipis-tipis. Kian nikmat ketika di tambah dengan taburan bawang goreng serta bubuk, yang berasal dari kerupuk udang dan bawang putih yang dihancurkan.      

Mangkuk putih itu masih menyisakan setengah, ketika seseorang yang pernah Aruna temui di rumah sederhana seorang gadis dengan rambut panjang hitam sebahu, datang menghadap mereka.     

Kedatangan pria yang diingat Aruna bernama Vian, mengingatkannya pada janji yang ia ucapkan kepada gadis bernama Kihrani.      

Yang menggelitik rasa penasaran Aruna adalah, lelaki berambut panjang melebih bahu.     

Rambut tersebut diikat sebagian pada sisi atas, dan dibiarkan tergerai disebagian bawahnya. Matanya yang menatap Aruna secara hati-hati -selepas mengangguk memberikan hormat- adalah penyulut rasa penasaran yang utama.      

Hendra lekas berdiri, tangannya menawarkan tempat duduk untuk keduanya. Vian dan pria ber-hem putih dengan bawahan krem tersebut, menggeser kursi meja makan rumah induk.      

"Makan dulu.. silahkan," tawar mahendra.     

"Kami sudah makan Presdir," suara Vian menjawab, dan Aruna lekas menyadari suaminya hanya mengangguk dingin, tak lagi merespon.     

Pantas orang lain termasuk Vian mengatakan, Hendra hanya hangat kepada istrinya alias Aruna itu sendiri.      

"Atau mau camilan? snack, semacamnya? biar dibuatkan?" Aruna mencoba ramah kepada dua tamu tersebut.     

"Tidak" mereka yang ditanya Aruna tertangkap lucu, sebab membuat penolakan secara serempak.      

Hendra yang usai makan lebih awal sempat mengacuhkan tamunya sampai isterinya selesai makan.      

Ketika mangkuk putih tak lagi digenangi kuah kuning beraroma sedap, Hendra baru berkenan memperkenalkan tamunya "Yang sebelah kiri namanya Vian, dan.."      

"Aku tahu" sela Aruna.      

Mahendra terbungkam sesaat, kemudian melanjutkan penjelasannya "Yang kanan, itulah yang bernama Thomas"      

Pupil mata Aruna sontak melebar, dia mendapati lelaki dengan gaya rambut manbun tengah tersenyum. Senyum ringan yang tersuguhkan. Tidak hanya Aruna, Thomas pun terlihat begitu antusias bisa berjumpa perempuan yang sering ia dengar penderitaannya.      

Perempuan bermata coklat tidak mengucapkan kalimat terima kasih untuk suaminya. Akan tetapi di balik meja memanjang tersebut, ada jari-jari mungil yang meraih telapak tangan Mahendra kemudian menggenggamnya. Hal ini lebih dari cukup, dari ucapan terima kasih di dalam hati lelaki bermata biru.     

"Kamu bisa menggunakan ruang kerjaku di lantai pertama, andai kamu punya keinginan berbicara dengan Thomas, secara pribadi" Mahendra memberi penawaran yang sangat menarik bagi Aruna.     

"Benarkah?" Mahendra mengiyakan istrinya. Membiarkan perempuan itu berjalan bersama Ratna yang membuntutinya, tak ketinggalan diikuti oleh Thomas.      

Pada langkah perginya Aruna, ada yang saling melempar pertanyaan satu sama lain. Kemudian larut dalam diskusi hangat.      

"Apa kau tahu kemana Anna Vian?!" pertanyaan pembuka Mahendra yang ditujukan kepada Vian.      

"Seharusnya di rumah sakit. Anda akan lebih tahu, ketika anda menelepon Raka" jawab Vian yang memang tak tahu apapun, selain tugasnya menyiapkan laporan untuk tuanya. Dan tentu saja adalah kepada Mahendra.     

"Aku sudah memeriksanya. Aku tidak menemukan Raka, apalagi Nana" Mahendra memberikan penjelasan lain.      

"Jujur, saya kurang tahu. Hal tersebut bagian tugas Raka" ujar Vian meyakinkan Mahendra.     

Kemudian kedua pria yang telah berdiskusi di atas meja makan tersebut, terlihat saling memandang mencari berbagai kemungkinan.      

"Kakekku, tetua tidak ada di rumah. Aku juga belum melihat Andos" nalar lelaki bermata biru mulai bekerja.     

"Bisa jadi.. kakek anda terjun langsung dan ikut andil menangani kasus ini" kepala divisi penyidik membubuhkan argumentasinya.     

"Kamu bawa apa hari ini?" tak butuh waktu lama, di hadapan Mahendra disajikan notebook yang menawarkan berbagai pernyataan penting dari orang-orang yang Vian introgasi, entah sengaja maupun tidak disengaja.     

Lembar demi lembar tergeser, hingga mata itu tertuju pada sebuah pernyataan ...     

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak penasaran. So, tambahkan ke daftar pustaka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.