Ciuman Pertama Aruna

III-244. Lambang Kesetiaan Dan Keharmonisan



III-244. Lambang Kesetiaan Dan Keharmonisan

0"Aku dan baby akan meninggalkanmu, jika kamu sampai kalah, apalagi menyerah melawan dirimu sendiri. Seperti malam ini"      

Detik ini, dunia disekitar Mahendra runtuh seketika. Bumi seolah berhenti mengitari rotasinya.     

Istrinya yang baru saja menapakkan jari-jari mungilnya di kedua belah sisi pipinya, menurunkan belaian lembut dan halus itu.      

Aruna jatuh lunglai dalam pelukan. Hendra merengkuhnya dan memeluknya dalam-dalam. Lelaki bermata biru menyadari, belum ada satu jam ia merasakan kenikmatan dari tubuh istrinya. Dan sekarang, si rajut merah harus berlari tergopoh-gopoh membawa bayi di dalam perutnya untuk mengejar dirinya.      

Ajudan Herry yang mengiringi langkah istrinya membuka pintu lebih lebar. Ia menatap tuanya, menawarkan diri agar bisa membantunya mengangkat sang nona.      

Hendra menggelengkan kepala sebagai jawaban. Ia memeluk erat tubuh mungil itu, kemudian bangkit membawanya dalam dekapan hangat.      

Si lunglai menatapnya dengan sorot mata sayu, laksana daun maple yang jatuh satu persatu diterpa oleh angin pada musim gugur.      

Sorot mata yang hangat walaupun berbalut kegundahan. Akan tetapi, netra kuning kemerahan atau menuju coklat cerah masih dia tunjukkan dengan sempurna.      

Mirip daun maple yang melambangkan keharmonisan dan kesetiaan. [1]     

Mahendra enggan melepas tatapannya. Sorot mata yang beradu melukiskan kegundahan masing-masing. Seolah netra tersebut saling bercerita, dan mencari kenyamanan lewat tautan mata satu sama lain.     

Hingga akhirnya Mahendra meletakkan tubuh mungil itu di atas ranjang. Pembaringan yang seharusnya menjadi tempatnya dirawat inap. Andaikan orang lain tahu, sesungguhnya membopong Aruna dalam rengkuhan saat ini bukanlah pilihan yang masuk akal.      

Terlihat dari bulir keringat yang ada di kening Mahendra. Memberi tanda, bahwa ia sedang menahan rasa nyeri pada punggungnya yang membiru keunguan. Dan hal tersebut sudah cukup jelas, bahwa ia tak memiliki kemampuan menggendong perempuan selama itu.      

"Jangan tinggalkan aku. Kau boleh menghukumku, tapi tidak dengan meninggalkanku" sepertinya kalimat ini bukan kalimat asing yang baru pertama kali diucapkan Mahendra.      

Aruna memiringkan tubuhnya, nampak yang terlihat sakit bukanlah si pasien. Akan tetapi perempuan berajut merah yang terlihat sangat kelelahan secara batin dan fisik.      

Si rajut merah meminta Mahendra mendekat.     

Dia yang duduk di tepi ranjang sambil mengelus rambut istrinya, mendekati perempuan yang seolah ingin membisikkan sesuatu di telinganya.      

"Kita pulang.." dan Mahendra mengangguk ringan sebagai jawaban.     

"Biarkan dokter yang datang ke rumah induk untuk memeriksa punggungmu," lagi-lagi Mahendra hanya menggerakkan dagunya naik-turun.      

Sambil menunggu selesainya administrasi, serta mobil yang disiapkan para ajudannya. Rajut merah terlelap dalam tidur.      

Mahendra hanya ingin melepas tangan yang istrinya pegang, untuk menandatangani surat rawat jalan. Sesaat perempuan yang sedang tertidur, tersentak bangun dan sedikit histeris.     

"Hendra…" nafasnya naik-turun, terengah. Selepas mengumbar pengamatan beberapa detik, dan ternyata suaminya hanya sekedar berdiri mengobrol bersama dokter Martin. Ia nampak mulai tenang dan kembali membaringkan tubuhnya.     

Mahendra diwajibkan mendapatkan perawatan akhir. Hal tersebut membutuhkan waktu untuk menunggu sekitar satu hingga dua jam lamanya.     

Selama itu pula ia memperhatikan istrinya berkali-kali terbangun hanya karena gerakannya. Bahkan Aruna mulai menolak beberapa makanan untuk masuk ke dalam perutnya.      

"Aku akan makan kalau kita sudah sampai rumah induk" kalimat itu digunakan untuk menolak makanan yang ditawarkan padanya.     

Sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah, hati perempuan tersebut sedang remuk redam, dan isi di dalam kepalanya berkecamuk hebat. Ia masih belum bisa memulihkan rasa syok yang menghantam.      

"Sudah cukup bagiku" suara Aruna yang terbangun untuk kesekian kalinya. Ia tak jenak melihat Mahendra yang membuka pintu untuk Herry.      

Mahendra dan Herry menoleh, menatap perempuan yang kini duduk di atas ranjang "Hen.. aku menghapus permintaanku. Aku memaafkan Anna. Seperih apapun penderitaan yang aku terima, aku sudah merelakan dengan lapang dada." suaranya terdengar sangat dalam. Begitu luas hati yang dimiliki perempuan hamil korban tindak penganiayaan.     

Mahendra mendekati istrinya, "Tenanglah.. Aku tidak akan melakukan hal buruk lagi"     

"Aku bicara sungguh-sungguh" suara Aruna berat dan bervolume lebih tinggi daripada biasanya.      

"Ya, aku tahu. Karena kamu lebih takut, aku akan melakukan hal.."     

"Bukan begitu.." Aruna mematahkan kalimat Mahendra, ".. Aku ingin melanjutkan hidupku dengan damai. Dengan optimisme dan sebuah rasa bahwa aku tidak pernah berbuat buruk kepada orang lain. Walaupun orang itu berbuat jahat kepadaku"     

"Jadi kalaupun dia harus mendapatkan hukuman atas perbuatannya, biarkan itu murni karena perilakunya yang buruk. Bukan karena permintaanku, sehingga suamiku harus menghukumnya" Aruna turun dari ranjang, lalu berdiri tegap di hadapan Mahendra yang terbujur kaku. "Aku menarik permintaanku, tentang suamiku yang harus menemukan pelaku lalu menuntut balas padanya".     

Seperti tersabda menjadi batu yang mematung, Mahendra tak mampu membalas ucapan istrinya.     

"Ayo kita pulang!"      

"Iya.." sebuah kata persetujuan, entah atas permintaan pertama atau ajakan untuk pulang.     

"Aku punya permintaan lain" perempuan yang berdiri menyajikan perut buncitnya, bergerak lebih dekat meraih jari-jari tangan Mahendra.      

"Aku sudah muak dengan ini semua. Ayo kita pergi honeymoon. Bulan madu yang sesungguhnya, bukan seperti yang dulu. Ini hukuman untukmu sebelum beraktivitas di kantor" sebuah monolog panjang dari si rajut merah, seperti membawa angin kehidupan bagi Mahendra.     

Dan wajah cerah lelaki bermata biru hadir seketika. Dia menampakan deretan gigi rapi dan lesung yang menggores kedua pipinya.     

"Kau mau??" si rajut merah memastikan jawaban dari mulut Mahendra.     

"Ya.. aku mau.. sangat mau.." mengangguk berulang layaknya Manekin Neko. Patung kucing kecil berwarna emas yang dikenal di budaya Jepang dan Cina sebagai kucing pembawa keberuntungan. Kucing yang suka mengangguk-ngangguk.     

Dan si rajut merah tersenyum memeluknya.      

Perilaku-perilaku Aruna bukan sebuah kebetulan, sejak semalam ketika ia menghadirkan kenikmatan untuk suaminya, lalu berlari memburu lelaki tersebut walaupun rasa lelah masih menyelimuti dirinya. Hingga gempuran kekecewaan, kemarahan, maupun rasa sedih yang mendalam tak membuatnya menyulutkan kemarahan.       

Perempuan ini tak pernah sedikitpun melupakan prosedur yang pernah diserahkan Opa Wiryo kepadanya. Bagaimana menghadapi Mahendra secara psychologist. Bagaimana menjadi sosioterapi yang baik.      

Walaupun sudah lebih dari satu tahun, lembaran demi lembaran yang ia dapatkan setelah ia sadar, Mahendra berbeda. Masih begitu kuat dalam memorinya, dan semakin menguat. Membuatnya siap menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa saja disuguhkan oleh pewaris tunggal Djoyodiningrat.      

Selepas Aruna bertemu tetua Wiryo, dan menyatakan bahwa Putri Lesmana harus mengendalikan cucunya, si rajut merah kembali menyusuri ingatannya dan memprediksi segala hal yang akan terjadi.      

Mengingat kembali lembaran-lembaran berisi jurnal-jurnal penting yang ia baca dengan seksama, dan sebuah kutipan tentang pentingnya niat untuk melupakan, menindih memory buruk dengan hal-hal indah yang menyenangkan. Sangat perlu diusahakan oleh siapapun yang ingin bangkit.      

Aruna lupa detailnya, detail dari kutipan Science Alert  oleh psikolog Tracy Wang, University of Texas di Austin. "Yang penting adalah niat untuk melupakan, yang bisa meningkatkan aktivasi memori" Temuan Wang yang telah dilaporkan dalam jurnal ilmiah JNeurosci.     

Berusaha untuk secara aktif melupakan ingatan yang tidak diinginkan, tidak hanya membantu mencegah otak kita dari kelebihan beban. Hal ini juga memungkinkan kita untuk bangkit (move on) dari pengalaman dan emosi yang menyakitkan.     

Aruna ingin mengusahakannya. Demi keluarga kecilnya yang kini menjadi tujuan hidup paling utama, dan paling berharga di atas segala-galanya.      

***     

"Kakak.." perempuan berperawakan kurus, dengan bulu mata lentik, serta bibir yang tersenyum samar lekas berdiri menyambut kedatangan seorang lelaki yang mendekatinya, akan tetapi enggan menatapnya.      

"Ada apa? Bagaimana Gesang?" ia bertanya sambil melangkah, mendekati lelaki yang kini berdiri di hadapan kaca membentang lorong rumah sakit yang menyajikan panorama atap-atap rumah serta hiruk-pikuk kota.      

Gibran memandangi keramaian di bawah sana sebelum akhirnya menolehkan wajahnya pada gadis kurus kering yang berdiri di dekat tubuhnya.      

"Dia akan ikut keluarga lain" hanya kalimat itu yang terdengar di telinga Syakila. Sebab, saat gadis tersebut menolehkan wajahnya mencoba menangkap raut muka Gibran, pria itu sudah melemparkan tatapannya ke punggung kota.      

Dan Hening.     

.     

.     

[1] lambang keharmonisan dan kesetiaan daun maple; Keharmonisan ditandai dengan transformasi warna daun maple itu sendiri seiring dengan perubahan musim, dari musim semi sampai musim gugur, warna daun maple berubah dari hijau sampai merah atau kuning.     

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak penasaran. So, tambahkan ke daftar pustaka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.