Ciuman Pertama Aruna

III-240. Doktrin Konyol



III-240. Doktrin Konyol

0Dua orang yang dulu memiliki ikatan kuat dan hampir menikah, sekarang berakhir seburuk ini. Hati si lelaki maupun perempuan yang duduk di kursi pesakitan, berdetak sama menyakitkannya.     

.     

.     

Ruang interogasi berukuran 8 kali 8 meter yang mungkin kini lebih tepat disebut sebagai tempat penghakiman, terhadap rasa yang dulu membumbungkan keduanya, berujung dongeng.      

Negeri dongeng impian mereka kini sebatas imajinasi, pernikahan impian yang indah dan harapan panjang untuk masa depan, sirna sudah.      

Leona menyibakkan rambutnya ke belakang. Lalu sebuah pukulan meluncur ringan dari jari tangan mengepal, membentur kursi di hadapannya. Geramannya yang berat, memenuhi kehampaan ruang interogasi tersebut.      

Thomas duduk membatu, dan terlihat lebih siap dengan mengangkat pandangannya menatap ke arah Vian. Rasa kepercayaannya kepada kepala divisi yang sekaligus seorang saudara, telah cukup dan lengkap.     

"Aku adalah seseorang yang pesimis sekaligus optimis" sepertinya, kalimat ini adalah pembuka dari narasi yang panjang.      

"Ya, aku pesimis jika aku terbebas dari hukuman. Diriku tidak 100% benar, dan aku belum siap menanggung akibat dari kesalahanku" dua orang lain memasang telinganya lebar-lebar.      

"Namun aku optimis, bahwa kasus ini akan terbuka lebar. Bukan karena aku bagian dari korban. Akan tetapi, sudah cukup sampai disini saja orang-orang yang tidak bersalah mendapatkan penderitaan" kalimat sederhana yang sengaja disajikan untuk menyentil hati seseorang.      

Cuplikan-cuplikan dari tiap adegan yang dituturkan Thomas menghampiri Vian dan Leona, laksana rentetan film yang diputar cepat. Lelaki dengan rambut panjang melebihi bahu yang juga bagian dari korban, turut menjelaskan peran Darko dalam adegan di membuangnya dirinya ke dasar sungai.      

Kejadian dimana Darko menarik tubuhnya yang sedang hilang kesadaran, tiba-tiba sudah berada di dalam mobil. Lalu diseret menuju atas jembatan.      

Leo menggerakkan tangannya untuk menutup mulut dan mata -menelungkup wajah-. Dia tidak menduga, ada percobaan pembunuhan yang tersusun sangat rapi.      

Sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Thomas, membuat kedua lawan bicaranya tercenung agak lama. "Bisakah orang yang berada di dalam pengaruh cuci otak memanfaatkan keahliannya yang dulu? di masa dia masih pesuruh Tarantula?, seseorang yang ingin menghabisi salah satu keluarga Djoyodiningrat?".     

Rasa tertegun belum berakhir, laki-laki bernama Thomas kembali melontarkan kecamuk yang ada di dalam pikiran dan hatinya. "Semoga tidak ada yang lupa, bahwa Darko tinggal sendiri cukup lama di dalam cluster Leo dan Anna.." dia mengucapkan kata itu tanpa menoleh "Sendirian dalam waktu yang cukup lama" kalimat ini diulang sekali lagi.      

"Jauh Dari seseorang yang bisa mengendalikan pikirannya " Vian melengkapi, detik berikutnya dia melihat mata Leo.     

Perempuan yang sejak tadi lebih banyak memasang telinganya daripada berucap, akhirnya mengakui sesuatu.      

Bahwa seseorang yang sudah mendapatkan treatment Brainwash sekalipun, bisa menemukan kesadarannya kembali kapan saja.      

"Sekarang masalahnya, kakakku yang ia manfaatkan atau dia dimanfaatkan oleh kakakku?" Pertanyaan Leo, mengutarakan sudut pandang dari sisi dirinya.     

"Hehe.." Vian terkekeh "Kakakmu punya motif" ucap kepala divisi penyidik.     

"Kakakku sakit Vian!". Sanggah sang adik yang kasihan terhadap kondisi Anna.     

"Sakit bukan berarti harus dikasihani Leo. Jangan lupa, ada dua orang yang hampir mati karena ambisi di otaknya" Vian mencoba membuka pikiran Leo secara logis.     

"Tapi dia.."     

"Aku kembali dulu ke ruanganku" Thomas memotong kalimat Leo. Pria itu berdiri, meminta Vian menghantarkan dirinya kembali ke ruang putih.     

Diantara dua punggung yang menghilang di balik pintu. Ada suara isakan yang menggema memenuhi ruangan.      

Dan seorang pria yang mengamatinya di layar monitor ikut berdesir.      

Pria berkacamata tersebut, merekam banyak penjelasan Thomas maupun sudut pandang Leona. Ia memback up rekaman tersebut ke dalam sebuah hard disk berkapasitas besar.      

Luka Pradita nampak masih memar di beberapa bagian, sepertinya hal itu bukan sebuah masalah besar. Sang putra yang setia, memasukkan rekaman itu ke dalam saku celana. Diam-diam ia tak mengijinkan mata siapapun untuk melihatnya, termasuk anak buahnya yang sempat membantunya di ruangan yang sama.      

"Kamu bisa istirahat" Pradita meraih kacamatanya, lalu bangkit dari duduknya dan menepuk anak buahnya sebelum menghilang keluar dari ruangan. Akan tetapi tidak menuju ke meja kerjanya, melainkan benar-benar keluar dari lantai D.     

***     

"Ibu hamil sudah waktunya makan" Mahendra menyapa dua perempuan yang duduk dalam keheningan.      

Aruna berdiri menyambut keberadaan suaminya. Ia sempat menoleh sejenak untuk berpamitan pada Syakila.      

Lelaki dengan tubuh tinggi besar tersebut merengkuh pundak mungil istrinya, lalu berjalan mengiringi langkah kakinya.     

Ia sempat menoleh sesaat sebelum benar-benar jauh melangkah "Hai.." ini cara Hendra memanggil Syakila, perempuan yang masih tertegun menatap punggung sepasang suami istri. Dan secara tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh padanya.     

"Buat pilihan, sebelum kamu atau keduanya menyesal" kalimat sarkas Mahendra yang diluar dugaan Syakila.     

Syakila sontak mengrejap berulang. Dia tampak tertegun mendapatkan kalimat sarkas yang sedikit unik dari lelaki bermata biru.      

Akan tetapi, gadis tersebut tak perlu membuat keputusan. Sebab Hatinya sudah jelas terisi oleh siapa.     

"Sudah saya lakukan sejak awal, hanya perlu melepaskan diri" jawaban Syakila mantap, sesuai isi hatinya.     

"Oh, okey" lalu lelaki itu kembali menggiring langkah istrinya.      

Telinga Syakila masih mendengarkan celoteh kedua pasang suami istri tersebut.      

"Kamu tadi bicara apa?" dia mendengar suara Aruna, istri dari lelaki bermata biru kebingungan.      

***     

"Sudah baikan, anak nakal?!"      

Gibran mematung seketika, lelaki tersebut perlu mengumpulkan keberanian untuk sekedar membalik tubuhnya.      

Bertolak belakang dengan Juan, yang menyambutnya dengan wajah santai bahkan cenderung bersemangat, "Ya, tetua.."     

Wiryo menggerakkan kursi otomatis untuk mendekati ranjang Juan. Gibran masih tetap membeku di tempatnya, sangat sulit baginya untuk bertemu mata laki-laki yang sangat dibenci oleh ayahnya -Rio-.      

Wiryo yang menakutkan. itu lah keyakinan yang ditanamkan Rio pada Gibran. Pimpinan Djoyo Makmur Group, ahli strategi. Kekuatannya tak bisa diprediksi, bahkan ketukan tangannya adalah tanda dia ingin menghabisi orang lain.      

Nama Wiryo seringkali diganti dengan sebutan 'Dia' pada rapat para dewan Tarantula. Sebab tak ingin mendengarkan kata Wiryo di telinga mereka.      

"Aku hanya membawa sedikit oleh-oleh" Andos berjalan menuju nakas di samping ranjang Juan, lalu meletakkan bubur kacang hijau hangat. Sehangat cara Wiryo yang hadir menjenguk Juan.     

Begitu berbangganya Juan menatap tetua, lelaki paruh baya yang duduk di atas kursi roda. Masih sempat merelakan waktunya untuk datang menemui dirinya.       

Bukan Wiryo yang penasaran pada lelaki yang masih berdiri memunggungi tuannya. Anak mata Andoso lah yang nakal. "Tolong anda menyingkir sejenak, tetua Wiryo butuh tempat yang lebih luas, mohon dimaklumi "     

"Ya, iya.." Gibran bergeser dengan posisi yang masih sama. Dia mencoba menutupi wajahnya, konsisten memunggungi Wiryo.      

Ia berjalan memutari ranjang Juan. Menggeser tubuhnya ke sisi lain pembaringan, dan kembali duduk. Tetapi, arahnya tak menghadap pada Juan.      

Gibran menghadap tembok, mengamankan wajahnya.      

"Tetua.. perkenalkan, ini kakak saya.." Juan menggerakkan kakinya, menyenggol punggung Gibran yang duduk di ujung ranjang.     

"Juan Kau!" mata hitam pekat itu membuka lebar. Menatap tajam Juan.      

Jika Gibran ialah sang penerus Diningrat. Artinya, dia pun harus melanjutkan tradisi keluarga.     

Tradisi Para dewan tarantula dengan tujuan utama yang selalu sama. Menghentikan lahirnya generasi penerus Djoyodiningrat hingga warisan tersebut kembali ke keluarga Diningrat yang sesungguhnya pencetus awal lahirnya Djoyo Makmur Group, kalau perlu melebur Djoyo Makmur Group. Sebab perusahaan tersebut, dahulu kala adalah bagian dari mereka.      

Doktrin yang sangat konyol. Akan tetapi benar adanya. Hingga membuat Gibran enggan berbalik, kehabisan kata-kata untuk menghadap tetua Wiryo.     

***     

Aruna menarik tubuh suaminya "Hen.."      

Mahendra menatap sebuah ruangan dengan pintu yang terjaga.      

Aruna tidak mengenali Raka, tapi ia tahu bahwa pria yang duduk di lorong dengan tubuh atletisnya, jelas salah satu dari orang-orang di bawah kendali Hendra.     

Dengan menggali-menggali memori, Aruna mengingat beberapa kejadian yang ada kaitanya dengan pria bertubuh kekar tersebut. Salah satunya adalah honeymoon di Bali, atau kedatangan Mahendra di Surabaya ketika dia tampil pada podium TEDx Surabaya.      

Jadi mengapa Hendra terus saja menatap pintu yang dijaga Raka?      

"Hen.. ayo.. baby lapar.."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.