Ciuman Pertama Aruna

III-239. Anak Nakal



III-239. Anak Nakal

0"Dia Gesang, dan tak memiliki panggilan lain" Gibran melepas genggaman tangan Hendra dari lengannya.      

"Tapi aku lebih suka dipanggil Juan," kalimat ini mendorong Gibran untuk memalingkan wajahnya, menatap lekat Gesang yang detik ini tengah berbaring lemah dan masih berusaha menarik tangannya dari Syakila.      

"Bicara apa kau ini?! Syakila.. bantu aku mengemas barang-barangnya" Ucap Gibran memberi panduan kepada gadis di dekat Gesang, sejalan caranya bergerak lebih dekat untuk meraih tombol panggilan kepada suster.      

"Sorry.." lagi-lagi Mahendra menghalangi keinginan Kakak Juan. "Apa bedanya kamu dengan Rio? Oh' aku lupa, kalian anak dan ayah hehe.. mana mungkin kalian berbeda!" nada pengucapannya terdengar santai, tapi sarat akan makna sindiran.     

"Aku tidak datang untuk menyulut api. Aku hanya ingin membawa adikku" Gibran berusaha untuk tetap tenang.     

"Masalahnya dia tidak mau. Saat ini kita bukan membicarakan anak kecil, harusnya telingamu bisa mendengarkan pendapatnya!, Pendapat seorang lelaki dewasa. Dia tahu, apa yang dia mau dan yang terbaik bagi kehidupannya" Mahendra tergelitik untuk bicara lebih banyak.     

"Yang terbaik tetap kembali kepada keluarga" ucap Gibran menyorot tajam Mahendra.     

"Masalahnya, keluarganya tidak sebaik orang lain, Aah'.. " desahan 'ah' yang diujarkan Mahendra begitu menggelitik -berirama- "Aku lupa, kita saudara bukan?. Kalau begitu, dia masih ikut saudaranya jika bersamaku"     

"Aku tidak mau ada salah paham sedikitpun hari ini. Bukankah, saling menjaga lebih baik?! So, Terima kasih sudah menyelamatkan adikku, selebihnya hakku untuk menjaganya" Sekali lagi Gibran mencoba untuk tetap bersikap sopan dengan mengucapkan terima kasih.     

"Aku lebih bahagia hidup sebagai diriku sendiri. Walaupun hanya seorang ajudan, itu rasanya lebih baik untukku," Juan memecah perdebatan yang mulai memercikkan hawa panas.      

Hawa panas mulai tersaji pada detik ini. Dan di saat bersamaan, dengan bijaknya salah satu perempuan diantara dua orang perempuan yang tercenung -karena tidak memahami apa yang terjadi- memilih untuk menarik tangan yang lain, supaya keluar dari perdebatan para lelaki.      

Aruna menarik mundur Syakila, menggiringnya keluar dari pintu kamar rawat inap Juan. Perempuan tersebut membawanya menuju lorong yang lebih sunyi untuk dinikmati.      

"Mengapa anda membawa saya keluar?" suara Syakila menyapa Aruna, yang pada saat ini memilih untuk mengamati hamparan langit di balik kaca membentang rumah sakit.      

"Kadangkala, kita harus memberi ruang kepada para lelaki menyelesaikan masalah mereka" suaranya terdengar lembut dan hangat, membuat Syakila menarik bibirnya. Dia tersenyum di antara air mata yang mengering.     

Kemudian hening menyelimuti dua orang perempuan tersebut.     

.     

.     

Sedangkan, di dalam kamar rawat inap Juan.     

"Gesang! Tarik ucapanmu!" Gibran mulai kehabisan kesabaran atau mungkin dia merasa terhina, adiknya mengusung tanda-tanda bahwa dia tak ingin kembali pulang ke rumah.      

"Buat apa kak? itu Kenyataan!" ucapan yang dilontarkan Gesang memperjelas keputusannya.     

"Kenyataannya kita semakin dekat, jangan lupakan bagian itu?!"      

"Dan itu yang ditakutkan oleh Ayah!" keduanya saling menatap tajam, menghujam satu sama lain. Bahkan Gesang yang kesulitan bangun, sudah berupaya menarik tubuhnya untuk duduk di ranjang     

"Mari kita berpikir dengan waras" Hendra membuat ulasan sendiri, semakin bersemangat menyulut bara api. bagi Gibran hal tersebut membuatnya sangat tidak nyaman. Dia sedang berbicara dengan adiknya, tak layak untuk Mahendra ikut campur.      

Mau bagaimana lagi. faktanya, Mahendra pada dasarnya tak begitu punya sopan santun. Kecuali ada maunya, pada komunikasi tertentu.      

"Bisakah kamu keluar sejenak! Aku ingin bicara dengan adikku".     

"Aku juga sedang bicara dengan sepupuku. Ada masalah??" beginilah Mahendra. menyebalkan.     

Spontan Gibran memalingkan tubuhnya. Matanya menyorot tajam Hendra dan tangannya mengepal dengan kuat.     

"Tenanglah.. kalaupun aku tidak pulang.." andaikan suara Juan tidak menyapa, mungkin salah satu dari mereka sudah saling menarik kerah baju "..Aku akan pergi jauh!. Kalau perlu ke luar negeri".     

Kalimat sederhana Juan yang berupaya mencari jalan hidupnya sendiri, nampak melegakan keduanya -Hendra dan Gibran-. Walaupun masih saja perasaan sebagai kakak, tak dapat ditepis bahwa ada rasa bersalah di dada Gibran.      

"Aku akan persiapkan semuanya, sesuai rencanamu dan Syakila" Gibran berucap, mengingatkan kembali kesepakatan yang terjadi di antara mereka.     

Sesaat kemudian Hendra menyingkir, dia tahu sudah saatnya untuk memberi mereka privasi. Sebab Juan sudah membuat pilihan.      

Dibalik punggung Mahendra yang tertelan pintu. Gibran mendapatkan permintaan berikutnya dari sang adik.     

"Aku akan pergi sendiri. Masalah bisa kian besar dan pelik, jika aku bersikeras membawa Syakila" monolog Gesang terdengar lebih yakin dari pada hari-hari sebelumnya. Hal ini selalu membuatnya dilema. Dan di detik ini, dia akhirnya menemukan jawaban tersebut.      

"Percayalah padaku. Aku bisa mempersiapkan segalanya dengan rapi" Gibran bergerak, memilih duduk di sisi ranjang.      

"Tak perlu memberiku harapan yang mustahil, kita semua tahu itu. Aku bukan anak kecil" Gesang tengah berpikir secara realistis.     

"Huhh.. ayolah.." desah nafas kecewa dari Gibran menanggapi monolog adiknya.     

"Ayolah.. apa Kak?. Percaya pada orang yang bahkan mustahil melawan ayah kita? Mari kita saling terbuka kali ini!" mata yang mengembara, kini berpusat menatap netra hitam milik kakaknya. "Apakah seorang CEO mampu melawan pimpinan dewan? Itu masih mungkin. Tapi tidak dengan kejadian di belakang layar"      

Tidak ada yang tahu seperti apa rasa gundah yang ada di dalam diri Gibran, pria itu melempar arah pandangannya. Dia merasa tidak sanggup menatap keseriusan Gesang.      

"Baskoro tidak mungkin membiarkan Syakila dibawa pergi orang lain. Sudah berapa kali dia melarikan diri, dan selalu berakhir tertangkap lagi. Bisa dibayangkan, kami harus berpindah-pindah sampai berapa puluh tempat, jika kami ingin selamat?" Gesang yang selama ini enggan menjabarkan gundah hati di antara keduanya, saat ini memberanikan diri untuk membuka lebar kenyataan.      

"Ini masih tentang Baskoro, bagaimana dengan ayah kita?" Gesang benar-benar membungkam suara Gibran.      

Hanya hembusan nafas berat yang disuguhkan Gibran.      

Seberat masa kecil yang dilalui keduanya, seorang kakak yang merupakan anak emas ayah, tidak pernah sedikitpun berharap harus memusuhi adiknya sendiri.      

Akan tetapi Gesang selalu diidentikan dengan kesialan ayahnya. Gesang berasal dari kubangan lumpur. Dia tetap seorang adik, akan tetapi bukan untuk didekati, apalagi dijadikan saudara. Keduanya berbeda strata.     

Gesang lahir dari asisten rumah tangga keluarga Diningrat. Hasil aib Rio. Andai Rio tega membunuh darah dagingnya, pasti sudah dilakukan sejak dahulu.      

Rio sempat mengusir jauh-jauh asisten tersebut dari rumah Diningrat, kala ia ketahuan Hamil.     

Bersama pekatnya malam 23 tahun yang lalu, perempuan yang baru memeluk anaknya satu minggu. Membuat keputusan yang sangat berat, dia meletakkan bayi tersebut di dalam rumah Diningrat. Secara diam-diam dan penuh kehati-hatian, lalu kabur dan tak pernah terlihat lagi.      

Dan bayi laki-laki kecil yang dipenuhi senyum indah tersebut tumbuh bersama kakak-kakaknya. Tanpa menyadari mengapa dia selalu dibedakan. Hingga lambat laun dia mulai mencari tahu kebenaran yang disembunyikan.     

Mengapa dirinya tak pernah diizinkan terlihat di muka umum, sangat berbeda dengan kakak pertamanya yang selalu dibanggakan. Atau kakak perempuannya, yang dipenuhi kemewahan khas putri keluarga konglomerat.      

"Aku titip Syakila. Inilah yang terbaik. Ku harap kakak bisa menghentikannya, jika dia kembali ingin melukai dirinya"      

"Ayah.." tanpa bertanya, ekspresi Gibran sudah menunjukkan dia sedang berpikir mendalam. Ia masih berusaha mencari cara lain yang paling tepat, terkait kepergian Gesang bersama Syakila.      

"Bagaimana dengan.."     

"Cukup! Aku dan kamu sudah memikirkan banyak cara.. biarkan aku hidup dengan pilihan ku, kali ini saja" mereka sama-sama melempar pandangan ke arah lain.      

"Oh.. satu lagi.. biarkan aku di sini"     

"Apa?? Kau memilih dipulihkan oleh keluarga Djoyodiningrat??" ekspresi Gibran seolah menyuguhkan ungkapan 'Jangan gila kamu!'     

"Mereka lebih manusia daripada yang kakak bayangan" Gesang terlihat meneguhkan pendiriannya. "Toh' aku merasa lebih aman disini, dari pada kakak  harus kesusahan dengan diam-diam merawatku"      

"Siapa yang susah?? Aku juga tak harus menyembunyikanmu.. jangan bicara sembarangan" Gibran berdiri, mengujarkan kata demi kata secara berapi-api.      

Secara mengejutkan dari balik punggung Gibran ada yang tengah berdehem. Lalu suara berat menyapa keduanya, "Sudah baikan, anak nakal?!" itu panggilan sayang pemberi nama Juan kepada Gesang. Lelaki paruh baya yang juga kakek keduanya.      

Gibran mematung seketika. Lelaki tersebut perlu mengumpulkan keberanian untuk sekedar membalik tubuhnya.      

Bertolak belakang dengan Juan, yang menyambut dengan ekspresi senang bahkan cenderung bersemangat, "Ya, tetua.."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.