Ciuman Pertama Aruna

III-237. Pesakitan



III-237. Pesakitan

0Darah, detak jantung dan desiran.     

Dia memejamkan mata menikmati hening yang tersuguh, saat dirinya dibawa sang dokter menuju ruang rontgen.      

Kabut itu datang lagi dan lagi, menyelimuti hati & pikiran yang sedang gundah. Seolah ia berhak bangkit, lalu bergerak memberi perintah untuk memburu mangsanya.     

Tanpa perlu dicari tahu, jelas bahan buruannya ada di rumah sakit yang sama. Cukup dengan mengamati ajudan yang berjaga di luar pintu kamar. Ini sangat mudah.     

Walaupun Wisnu lebih sulit ditebak dengan segala ekspresi tengilnya. Tapi tidak dengan Herry, si pendiam yang tidak memiliki kemampuan mengkamuflasekan raut wajah.     

Herry adalah ajudan yang mudah dibaca, namun ia sangat erat dengan tuannya. Pemuda ini juga pandai membaca guratan-guratan tersirat, yang sering dimainkan oleh Mahendra.     

.     

.     

Aruna baru saja sampai di kamar suaminya. Ia membuka pintu tersebut, bersama dengan desah nafas resah yang terbit dari mulutnya. "Di mana Hendra?"      

"Tuan menjalani rontgen" jawab Wisnu singkat.     

"Ada masalah dengan tubuh suamiku?" nampak jelas nada khawatir keluar dari bibir perempuan mungil.     

"Saya kurang tahu nona"      

"Kenapa kamu malah berada di sini?" Aruna memandang Wisnu keheranan.     

"Tuan memintaku tinggal"      

"Hais! Wisnu! kau.." Aruna tak bertenaga untuk memarahi sang ajudan.     

Wisnu memandangi nonanya dengan ekspresi bingung.     

Sejalan kepergian perempuan hamil, Alvin yang setia membuntuti nonanya sempat tertangkap memukul si tengil Wisnu yang terlihat santai, dalam suasana yang seharusnya dipahami sebagai ketegangan.     

Hendra tidak diijinkan keluar dari kamar inapnya sembarangan. Demikianlah makna yang tersirat, dari kedatangan tetua Wiryo menemui mantu cucu -Aruna-. Dan seharusnya Wisnu mengawasi Mahendra, kemanapun ia ingin keluar ruangan.     

Perempuan hamil berjalan tergesa menuju ruang rontgen, bersyukur ia mendapati Herry sedang menempel di dinding dekat dengan pintu. Ajudan tersebut mendapat senyum nonanya, lantas ia menunduk hormat sebagai bentuk balasan.     

Tak butuh waktu lama akhirnya pria yang ditunggu-tunggu hasil diagnosanya dari ruang rontgen, membuka pintu dan mengumbar senyuman.     

Senyum tersebut kontras dengan dokter yang mengekor di belakang langkah kakinya. Nampaknya ada perdebatan sengit sebelum Hendra berjalan sendirian keluar dari ruangan tersebut -jalan kaki sendiri, tidak naik kursi roda-.      

Dokter Martin menatap Aruna, dia memasang wajah masam. "Saya minta tolong.. pastikan suami anda meminum obatnya.." dan sederet petuah sang dokter yang mengatakan bahwa pasiennya yang satu ini sangat menyusahkan, sebab selalu merasa dirinya baik-baik saja.      

Tulang punggung dan luka dibagian kepala Mahendra tidak menampakan tanda-tanda luka bagian dalam yang meresahkan.  Untuk itu dia berjalan percaya diri dan santai -menganggap dirinya cukup baik-, tak perlu bantuan dengan kursi roda atau ranjang besi.      

.     

.     

Sedangkan di sudut lain, di lorong panjang yang bermuara pada ruang ICU terdengar desah nafas yang berat.      

Wiryo menarik bibirnya membuat senyum simpul, menenangkan rasa bersalah Raka. "Aku kurang cepat memprediksi kecerdasan kalian, hingga dia harus berakhir di dalam sana"     

Raka membuka matanya lebar-lebar mendengar monolog yang baru diujarkan tetua Wiryo. Sayang sekali, pimpinan divisi ini bukan Pradita atau Vian yang suka sekali berhipotesa atas tiap kalimat yang diujarkan orang lain.     

Selepas menepuk bahu Raka yang sempat menunduk, lelaki paruh baya tersebut pergi.     

"Tetua.. Juan juga di rawat di tempat ini.." Raka sempat memburu kursi bergerak tersebut, sebelum akhirnya dia mendengar jawaban yang membuatnya -Raka- menyajikan anggukan.     

"Aku sudah tahu"     

***     

"Jadi kamu tidak tahu kemana perginya D103?" Vian memasang wajah jengkel.     

Dia mulai uring-uringan dengan Leona. Sebab gadis tersebut terus mengucapkan kalimat yang terdiri dari empat kata 'Sungguh aku tidak tahu,' tatkala dia diberondong berbagai macam pertanyaan oleh pimpinan divisi penyidik tersebut.     

"Bruakk" tanpa sadar, tangan Vian menggebrak meja.      

"Kau tahu.. ketika aku marah, aku bisa memaki siapa pun!" Suaranya terdengar melengking.      

"Aku tidak tahu Vian.. sungguh aku tidak tahu.." Leo mempertahankan jawabannya.     

"Percuma kamu berbohong.. semua kejahatan kakakmu ada di tanganku. Jika aku diizinkan, aku sudah bawa kalian ke pihak berwajib!! Arrgh!" suaranya memekik. Akhir dari kalimatnya menunjukkan rasa frustasi.     

Nampak raut wajah cemas tersaji oleh pimpinan divisi ini. Dia diliputi rasa gundah oleh dua pilihan, antara harus membuka tabir pengetahuan Leo, atau malah dia sendiri yang akan dihilangkan akal sehatnya oleh gadis tersebut.     

"Lebih baik di penjara umum, daripada terus menerus di dalam ruang putih!" ucap Leo, seolah tahu kemana dia akan berakhir.     

Semua orang yang tahu tentang ruang putih jelas sadar, bahwa ruangan di bawah tanah hotel bintang lima tersebut sangat menyiksa. Bahkan untuk melihat langit pun, adalah impian yang mustahil.      

Demi introgasi yang diharapkan bisa menjawab tiap-tiap hipotesa di meja kerja Vian, Pradita sempat mengalami kecelakaan hingga beberapa bagian tubuhnya masih terlihat memar. Hal tersebut pula yang memaksanya untuk meminta bantuan salah satu anak buahnya, demi terus melanjutkan introgasi.     

Jika kalimat-kalimat leo menggiring kesadaran Vian, Pradita yang berada di ruang pengamatan bisa membuat Tindakan.      

"Gunakan Thomas.." bisik Pradita pada alat di telinga Vian.     

Tanpa pikir panjang Vian sungguh mendatangkan Thomas ke dalam ruang introgasi.     

Bekas memar di sudut bibir Thomas masih tampak jelas ketika diamati, hasil baku hantam dengan Vian semalam.     

Sesuai dugaan Pradita. Leo tertegun, dan tanpa sadar berdiri menamati kedatangan Thomas.     

Ekspresi yang berbeda disuguhkan oleh Thomas. Pria itu konsisten tenang dengan segala kepasrahan terlukis di wajahnya.     

"Hai.." Leo sempat menyapa pada detik-detik dimana perempuan tersebut tidak sanggup lagi mengabaikan kedatangan Thomas.     

Thomas hanya menatapnya ringan.     

Dua orang yang dulu memiliki ikatan kuat dan hampir menikah, sekarang berakhir seburuk ini. Hati si lelaki maupun perempuan yang duduk di kursi pesakitan, berdetak sama menyakitkannya.     

***     

Aruna memburu langkah suaminya, selepas ia terbebas dari petuah panjang dokter Martin.      

Perempuan hamil tersebut menggenapkan langkah kakinya untuk menjemput tangan kanan sang suami. Aruna mendekapnya, dan sempat membisikkan permintaan pada ajudannya -supaya berkenan mengambil Coat di kamar mereka.      

Langkah kaki Mahendra berlawanan dengan keberadaan kamar inapnya, dan kini ia berakhir tepat di depan ruang kamar lain.     

Hendra berniat mencari kamar pria bernama Pradita. Nama yang asing bagi Aruna. Akan tetapi kamar inap tersebut sudah kosong.     

Tak lama kemudian, Hendra membuat panggilan pada seseorang.     

Selepas mendapat informasi yang ia cari. Lelaki bermata biru memberitahu istrinya, bahwa pasien yang hendak ia jenguk memutuskan pulang dari rumah sakit lebih awal.     

Aruna yang kini hendak menelangkupi Coat -baru diambilkan Alvin- untuk Mahendra, terlihat gesit dan cekatan     

Perempuan mungil yang sedang hamil tersebut, membantu suaminya yang tidak mampu mengusung banyak gerakkan terutama di bagian punggung.      

"Nanti aku akan mengajakmu menemui seseorang" Hendra berkata sejalan genggaman pada telapak tangan istrinya.      

"Apa dia, yang di rawat di rumah sakit ini?" Hendra mengangguk memberikan jawaban.     

"Menurut istriku bagaimana?" Aruna menggeleng, jujur dia tidak tahu.      

Keduanya berhenti di depan pintu sebuah kamar VIP. Aruna bisa mengintip dari kaca transparan yang tak begitu lebar, di pintu kamar inap tersebut.      

Sepertinya di dalam sana ada yang berbaring di atas pembaringan.     

Mahendra membuka pintu selepas mengetuk, dan kata masuk memberi kode bahwa keduanya boleh memasuki kamar inap misterius versi kepala Aruna.      

Betapa terkejutnya Aruna, yang terbaring di atas ranjang pasien adalah Juan.     

Tatkala Mahendra dan Aruna datang, pemuda yang sedang membaringkan tubuhnya dengan ekspresi malas, tiba-tiba saja berubah serius dan bergerak ingin duduk.     

Jav mendekat, lalu membantu Juan untuk duduk bersandar pada ranjang pembaringan.     

"Apa yang terjadi?" tanya Aruna heran.     

Juan adalah pemuda sehat, tangkas dan selalu mengumbar gummy smile-nya. Dan kini yang terlihat sebaliknya -di mata Aruna-.      

"Biasa.. kebanyakan bertingkah," Hendra membuat Juan yang akhirnya memilih kembali berbaring, dan memasang gummy smile khasnya.      

"Ada yang merawatmu? Em.. selain.." Aruna menoleh pada lelaki yang duduk di sofa tak jauh dari ranjang rawat -Jav- yang terlihat memainkan handphone, sibuk sendiri.      

Juan kembali menarik bibirnya.     

"Ah.. kekasihmu. Aku lupa, kalau dia datang beri tahu aku.." ucapan Aruna menghapus senyuman di bibir Juan.      

"Dia sudah putus" Hendra berbicara seolah tahu semuanya. Atau mungkin saja dia memang sudah tahu fakta sebenarnya, selepas ia mengamati dansa dua orang di tengah-tengah ballroom pesta Tarantula. Dansa yang memperkenalkan tunangan Gibran.      

"Karena dia akan menjalani kehidupan baru, jadi adikku.. mungkin.. kecuali dia tidak mau.." si lelaki bermata biru dengan santai melempar argumentasinya terhadap keadaan Juan.      

Sekilas, sebelum Juan sempat membuat persetujuan atau mungkin penolakan. Pintu terbuka, hingga empat pasang anak mata menoleh mengamati siapa yang datang…      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.