Ciuman Pertama Aruna

III-236. Telur Dipecah



III-236. Telur Dipecah

0Aku mendapati dokter dengan dua perawat memasuki ruang kamar kami. Mahendra terlihat baik-baik saja, ketika dia berusaha untuk duduk dari pembaringannya.      

Saat ku lihat seorang suster hendak mengganti pakaian suamiku, aku maju dan menggantikan tangannya untuk membuka buah-buah kancing di tubuhnya.      

Aku tersenyum di dalam hati kecilku tatkala aku sadar, kini aku telah tertular cinta egois versi Mahendra.     

Aku menyadari tindakanku saat ini, ketika suster yang bertugas pun tak ku ijinkan menyentuh baju suamiku.      

Bagaimana aku tidak egois, ketika di sudut lehernya tanda perempuan lain masih menyapaku, sangat samar dan kecil.     

Aku tetaplah perempuan biasa, yang sama seperti perempuan-perempuan lainnya. Mata kami sangat jeli, dan mampu menemukan hal-hal kecil untuk dihayati.     

Cakaran di tangan dan beberapa tanda di lehernya demikian menggangguku.. Ahh' hebat sekali aku hanya merasa terganggu. Perasaan ini sesungguhnya lebih dari itu. Benar-benar terasa menyakitkan daripada luka fisik atau berdarah.      

Obatku hanya sekedar tatapan dalam dari netra biru itu dan tiupan bibirnya di telingaku, berharap aku terbangun dari lamunan yang menyesakkan ini.     

Aku memegang bajunya dan memandangi dadanya cukup lama, sampai-sampai dokter Martin tidak mendapatkan ruang untuk memeriksa suamiku.     

Aku memerah karena malu, dan Hendra seperti tak merasakan canggung atau apapun, tatkala ia mengelus perutku sebelum aku mundur.     

Dia masih menyajikan wajah jenaka, sebelum akhirnya mencoba memutar tubuhnya -membelakangi dokter Martin. Dan betapa tersentaknya aku, tatkala ku lihat warna yang tersaji di punggungnya.     

Si bilur keunguan, lebar dan terlihat menyakitkan bagiku. Semua terlihat jelas sepanjang punggung tegap itu. Aku pikir ini tidak masuk akal, ketika Mahendra tetap menawarkan ekspresi baik-baik saja padaku, dan pada semua orang di dalam ruangan.      

Aku mendekat, dan ku lebarkan manik coklatku saat menatapnya.     

Jujur, aku merasa emosi pada detik ini, sebab dia tak mengeluh sedikitpun. Ku palingkan wajahku sebagai bentuk kekecewaanku, tatkala ia mamandang kearahku.     

"Hai.." aku tak menjawabnya.     

"Hai.. aku baik-baik saja.." ia bahkan masih bisa berkata demikian.     

"Kau gila!" pekikku padanya. Lantas aku memilih pergi, ketika dokter Martin mulai mengeluarkan peralatan medisnya.     

Aku masih mendengar celoteh jenakanya. "Istriku sangat cantik kalau sedang marah.. lihatlah dok!"     

Ku banting pintu kamar inap tapi suaranya tak seberapa keras, karena aku tak memiliki tenaga yang cukup pada saat ini.     

Ku luruhkan diriku pada kursi besi lorong rumah sakit, yang sedikit jauh dari kamar inap suamiku. Tentu saja aku ditemani oleh Alvin.     

Si konservatif ini terlalu menyebalkan. Dia terus bertanya padaku, apa yang aku butuhkan? dan apa yang bisa dia bantu?!.     

Hingga aku mulai jengah dan ku sampaikan kepadanya, bahwa dia cukup diam mengunci mulutnya.     

Hanya bertahan sekitar lima menit suara resah Alvin terhadap kepergianku, dari dalam kamar inap hilang dari pendengaranku. Tiba-tiba secara berani dia mengguncang tubuhku.     

Ahh' ini lebih berani dari semua caranya, yang selama ini tampak segan menyentuh tubuhku.     

Detik dimana aku menoleh dengan ekspresi ketus, sontak aku terperanjat. Bagaimana aku tak tersentak, tatkala bukan hanya Alvin yang menangkap ekspresiku, ada Opa wiryo sedang mengamatiku.     

Beliau menarik bibirnya sedingin cara Hendra jika sedang menatap sesuatu, yang tidak ia sukai. "Boleh aku bicara berdua dengan putri Lesmana?".     

Opa Wiryo selalu memanggilku dengan istilah putri Lesmana, sedikit unik, tapi aku suka. Aku selalu senang mendengar nama ayahku disebut oleh orang lain.     

Beliau mengijinkanku mendorong kursi rodanya, -yang sesungguhnya bisa berjalan secara otomatis dengan tombol-tombol di ujung jemarinya.     

Kami memasuki lift, hening bersama Andos dan Alvin.      

Selepas sampai di taman rumah sakit, Andos dan Alvin tidak diijinkan mengikuti langkah kami. Detak jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku bergerak ke depan, lalu duduk pada kursi taman yang beliau tatap.     

"Aruna.." mataku melebar mencari sumber suara ini. Ternyata aku lebih merasa bahagia ketika dipanggil dengan namaku. Perasaan ku terkait sebutan 'putri Lesmana' yang tadi beliau ucapkan sirna semuanya.     

Aku sempat tertegun, dan lagi-lagi opa menyebut namaku, "Aruna.."      

"Iya.. Opa," ku usahakan agar suaraku tidak bergetar, menutupi rasa di dalam hatiku.     

"Boleh aku tahu, apa yang kamu pahami atas kejadian hari ini?" jujur seketika, aku merasa sulit harus menjawab apa.     

Tiba-tiba saja memori perihal percakapanku dengan Mahendra di kursi kayu memanjang pada rooftop surat ajaib menyusup di kepalaku, dan memberiku ide.     

"Hendra mengatakan padaku, bahwa dia akan menciptakan kacamata kuda untukku. Aku pun berjanji, akan dengan suka rela mengenakannya"      

Andai orang tahu seberapa berbinarnya manik opa Wiryo menatapku -beliau nampak tertegun-. Aku sendiri tidak tahu apa yang luar biasa dengan ucapanku.     

Kalimat berikutnya dari opa Wiryo terdengar meletup-letup. Beliau terasa lebih berhasrat dan menerbitkan senyum kecil, namun ia coba untuk menutup-nutupi.     

"Kamu dan istriku, maksudnya oma Sukma, -mirip.." beliau membuat anggukan, "Ya! mirip." sebenarnya aku merasa kosong pada detik ini. Aku tidak tahu sama sekali, apa makna ucapan opa.      

Opa menggerakkan anak matanya untuk mengamatiku dengan hangat, mendorongku untuk melukis senyuman di wajahku.      

"Ini perempuan Djoyodiningrat yang aku cari," ku kerjapkan mataku, saat telingaku mendengar pernyataan di luar dugaanku. Hatiku merasa sedang berbunga-bunga, hanya dengan kalimat sederhana dari opa Wiryo.     

Kemudian tatapannya jatuh ke bawah, ada duka sesaat yang tersirat, "Hendra sedikit berbeda, terutama dalam hal emosi.."     

"Aku adalah istrinya opa, aku yang melayaninya siang dan malam, jadi aku tahu hal itu. Jangan khawatir," aku berucap dengan lantang, mencoba meyakinkan beliau.     

Beliau mengangguk penuh, dan kian berbinar menatapku.     

"Aku menyesali banyak hal, tapi tidak dengan mengambil putri Lesmana. Dia mirip ayahnya," suaranya tegas tapi terdengar meneduhkan, tatkala beliau menyamakan diriku dengan ayah.     

Aku yakin jika saat ini, wajahku pasti sudah memerah sampai telinga. Aku suka, sangat suka disamakan mirip dengan ayahku. Aku merasa sangat bahagia tiap kali orang lupa, bahwa aku bukan anak kandung ayah.      

"Jadi.. tolong.. tolong halangi Hendra, supaya dia tidak melukai seseorang.." aku segera menganggukkan kepalaku, berulang "Berdirilah, aku ingin melihatmu" aku tidak tahu apa maksudnya, atau apa yang beliau inginkan. Tapi aku menuruti perintahnya.     

Ketika aku berdiri, opa sempat memintaku menghadap kebeberapa arah.     

"Melebar ke samping dan condong ke atas" beliau terkekeh tatkala memperhatikanku dengan seksama -untuk kesekian kalinya-. Terlihat jahil seperti Mahendra.     

Kepalanya mengisyaratkan ku untuk duduk.     

Saat aku kembali duduk di bangku taman dekat kursi roda hitam opa, beliau berbisik lirih. "Aku akan tanya Oma mu, dia pandai tebak-tebakan".     

Otakku hampa, kosong, tak bisa mencerna apa maksut kalimat tersebut. "Opa em.. anda sebenarnya membahas apa?"      

Tetua Wiryo malah tertawa terbahak-bahak.     

Aku tak tahu harus ikut tertawa, atau menangis pada detik ini. Aku merasa kosong dan tidak mengerti harus bersikap seperti apa, menghadapi opa saat ini.     

Kemudian beliau berkata lagi. "Apa nama benda yang lebih bermanfaat ketika sudah pecah?" tampaknya ini sebuah guyonan akan tetapi, tidak terasa lucu bagiku.     

Beliau berbicara sambil terkekeh, mungkin menurutnya ini sesuatu yang menarik, tapi tidak bagiku.     

"Jangan cemberut.." Ahh' dia sadar aku jengkel, dan aku malu saat ini. "Aku beri tahu.. pasang telingamu baik-baik" dia seperti menahan tawa. Tampaknya aku benar-benar tersabda oleh kalimatnya, menurut begitu saja.     

"Telur!, Maksudnya dipecah hehe.. hehehe.." beliau menikmati tawanya dan aku terhantam dalam kebodohan. Ini sangat tidak lucu dan tidak menarik sama sekali.     

Di mana kelucuannya? Dan apa hubungannya dengan 'melebar ke samping dan condong ke atas,' yang akan beliau tanyakan pada oma?.     

Anehnya tetua Wiryo tertawa sampai berair.     

Sungguh aku selalu berharap beliau tertawa, mengendorkan urat-urat kaku di wajahnya. Akan tetapi bukan seperti ini, dan bukan karena menertawakan guyonan tidak lucu -menurutku- yang membuatku berlipat-lipat terlihat bodoh.      

Selepas beliau berhenti tertawa, ia menatapku dengan ekspresi berbangga. "Aku menebak telur yang kamu bawa, penerus kami.. benar-benar membuatku penasaran," ku rundukkan wajahku mengamati perutku sendiri. Tanpa sadar, tanganku bergerak mengelus janin hebat yang ada di dalamnya.     

Aku mendapatkan mandat terakhir dari tetua keluarga Djoyodiningrat, "Tolong.. jaga Hendra dari emosinya yang kadang di luar kendali, aku mengandalkanmu,".     

"Opa.. Wiryo.." ku panggil namanya kala beliau sudah memutar kursi roda, berniat meninggalkan ku.     

Opa Wiryo berbalik memanfaatkan kemampuan kursi roda otomatisnya.     

Ku keluarkan buku catatan yang akhir-akhir ini menemaniku. "Saya menuliskan sepuluh prinsip hidup saya di buku ini," dia menerimanya. Sejenak kemudian memandangi buku kecil yang aku tempel berbagai aksesoris, dan stiker kesayanganku.      

"Kita perlu berdiskusi lagi untuk membahas ini," beliau angkat buku kecilku kemudian menggoyang-goyangkannya sesaat, lantas melempar senyum perpisahan.      

"Aku titip Mahendra," ku tatap punggung pria tua di atas kursi roda hingga menghilang dari taman.      

_Baby semoga nanti aku bisa melihatmu tumbuh besar, meneruskan nama besar eyang mu_     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.