Ciuman Pertama Aruna

III-234. Wajah Berkabut



III-234. Wajah Berkabut

020 menit berikutnya terdengar suara berisik dari luar gedung kosong.     

Segerombolan lelaki yang memakai sepatu pantofel dengan kemeja yang rapi datang menyapanya.     

Ekspresi mereka nampak gusar, sejenak kemudian ada yang menelungkupi wajahnya menggunakan Coat yang tidak asing.     

Jelas Coat ini miliknya, barang yang seharusnya tidak boleh di kenakan di sekolah biasa. Di mana dia harus menyembunyikan identitasnya secara rapat.     

Lalu tubuhnya di tarik. Tak lama suara cemooh hadir menelusup gendang telinganya, padahal mata dan seluruh wajahnya tertutup oleh Coat, langkah kakinya saja di bimbing oleh sepatu pantofel.     

Dia sangat benci dengan adegan ini, akan tetapi para pengguna pantofel memeganginya kuat-kuat dan memintanya berjalan cepat. Kemudian tubuhnya masuk ke dalam mobil yang aromanya tidak asing.     

Setelah memasuki mobil hitam tersebut, Coat yang menyelimuti kepalanya di tarik oleh pemilik sepatu pantofel.     

Ternyata mobil itu adalah mobil kakeknya, dan para pengguna sepatu pantofel merupakan pengikut setianya.     

Kakeknya duduk di sampingnya. Lelaki tua tersebut tak menoleh kepadanya, dan tidak berkata satu patah-pun, sampai kendaraan itu memasuki gerbang yang selalu terbuka  otomatis, kalau mobil yang ia tumpangi melintas.     

"Besok, sekolahmu pindah," pemuda  bermata biru ingin protes, tapi tidak berani.     

"Pindah di tempat yang seharusnya," sekedar 2 kalimat tersebut yang di ucapkan kakeknya.     

Sialnya, ketika ia baru turun dari mobil, ia  sudah di sambut oleh sekelompok orang berbaju putih yang menjulur hingga lutut. Mereka menampilkan ekspresi duka luar biasa.     

Terdapati diantaranya seorang perempuan menangis terisak-isak, dia nampak berpelukan dengan sesama perempuan lainnya.     

Ketika kakeknya berjalan menuju lorong, dia yang kini sudah mengenakan Coat, mengikuti langkah kaki lelaki tua tersebut, walaupun tertinggal cukup jauh.     

Ia bisa mendengar percekcokan orang-orang yang mengenakan baju putih menjulur sampai lutut.     

Perdebatan tersebut kian menjadi, setelah kakeknya mengetuk tongkat dan terlihat angkuh. Sayang sekali, yang di ucapkan lelaki tua tetsebut tidak sampai kepada telinganya.     

Kesimpulan sederhana yang ia tangkap, kakeknya bersitegang dengan sekelompok orang berbaju putih     

Sempat terlihat mereka melempar berkas di tangan, hingga kertas-kertas itu berhamburan di lantai. Tak lama kemudian, sebagian besar dari mereka melepas baju putih yang di kenakan. Pakaian yang tak pernah mereka lepas, selama mendampingi pemuda bermata biru.     

Satu persatu orang-orang berbaju putih yang melepas baju khas mereka, berjalan mendekati dirinya, lalu menepuk bahunya. Ada pula yang menatap matanya lekat, dan mengusap kepalanya pelan.     

Lalu mereka semua seperti asap yang lenyap dari kehidupan Mahendra belia. Menyisakan satu perempuan yang menangis paling lama di hari pengap, cerah dan terik tersebut.     

***     

17 tahun berikutnya, ia menjumpai hari yang sama. hari yang pengap, terlalu cerah dan terik.     

Bedanya, tubuhnya bukan lagi anak muda. Ia sudah menjelma menjadi laki-laki yang luar biasa. Tidak terlihat sama sekali bahwa dirinya sedikit berbeda. dia juga mendapatkan cinta yang besar dan lengkap dari seorang perempuan.     

 Terlihat gagah dengan tinggi dan postur yang sempurna. Sebuah Coat membalut tubuhnya. Lelaki tersebut begitu menawan dibanding siapa pun di sekitarnya. Parasnya terlalu menonjol, seperti rahangnya yang tegas dan hidungnya yang sempurna, dia sangat berbeda.     

Akan tetapi, entah apa yang terjadi, ada  dejavu yang menyapanya hari ini. wajahnya berkabut sama seperti hari dimana ia berdiri di tengah-tengah lorong sekolah.     

Hingga dua pengawal yang membawa tubuhnya melaju dengan mobil kecepatan tinggi turut menangkap kobaran yang bersemayam di dalam dada.     

Dia terbungkam seribu bahasa. Dari matanya seolah mengepul asab tebal. Warna biru bercampur merah, sedang terbakar.     

Bisikan-bisikan yang semula mudah ia tepis hari ini menjadi-jadi dan kian nyaring.  Meliuk-liuk masuk ke dalam gendang telinganya. bisikan nyaring tersebut makin lama makin mustahil diusir. Mata biru terpejam sesaat, mencari cara  meredam.     

Saya sekali pikirannya kian kacau setelah sebuah pesan masuk, layar handphonenya menyuguhkan nama Vian tatkala lelaki ini menempuh perjalanan menuju Djoyo Rizt Hotel.     

[Anna punya alibi paling kuat sebagai pelaku penganiayaan istri anda, namun, ada indikasi bahwa dia dimanfaatkan selain memanfaatkan, (maksud Vian terkait keterlibatan Tarantula)] pesan pertama     

[Saya sudah mengumpulkan bukti-bukti yang cukup, baik dari Thomas yang ternyata kasus pembunuhannya masih satu benang merah, termasuk hasil olah TKP. dan mohon maaf, diam-diam saya melanggar batas. Nona Aruna saya temui tanpa sengaja, kami sempat berdiskusi panjang lebar] pesan ke dua.     

'pantas Aruna tahu nama Thomas dan ingin bertemu dengannya'     

[Maka dari itu, saya bisa mempertanggungjawabkannya kali ini, hanya butuh memaksa Leona bicara untuk mencari kebenaran D103 yang membantu setiap tindakan Anna. Selebihnya Anna berada bersama kami, mereka berdua di ruang putih]     

.     

.     

Mahendra berjalan dalam ketenangan, memencet lift menuju lantai bawah tanah. Sesampainya di tempat tersebut Raka dan Vian menyambutnya dengan sederet informasi, akan tetapi tidak mampu menggugah mata biru untuk memberikan tanggapan.     

Ia Membisu, dingin dan beku.     

Langkah kakinya yang terlampau tenang membuat beberapa pasang mata saling memandang satu sama lain.     

Di tengah kebingungan orang lain menghadapi diamnya, Mahendra lebih fokus berjalan melewati lorong, menuju ruangan Raka, lalu menyusup ke salah satu pintu yang merupakan satu-satunya jalan menuju ruangan serba putih.     

Anak tangga terakhir yang ia lalui, membuat orang-orang yang mengiringi jalannya mulai gelisah.     

Masih terdiam, bahkan ketika Raka bertanya: "Anda mencari apa atau siapa?"     

Mahendra tidak memberikan jawaban, dia mencoba menemukan keinginannya sendiri.     

Melirik celah transparan berupa kaca persegi panjang sepanjang satu jengkal yang tersaji di tiap pintu tahanan yang menyala alias -berisikan tahanan-.     

Ada 4 lampu yang menyala, tiga diantaranya adalah ruang tahanan. tentu salah satunya berisikan Thomas. Disusul pay dan Pengki. Sedangkan satu lampu  lain yang menyala ialah ruang interogasi. Terkunci rapat.     

Dia dekati pintu tersebut, lalu senyumnya terbang, buruannya ada di dalam.     

Mahendra meminta kunci pada Raka, lelaki bertubuh kekar tersebut menyadari, ada yang aneh pada pewaris tunggal Djayadiningrat. Sorot matanya serupa dengan dirinya kala bergulat, menghajar Juan -hampir membunuhnya-.     

"Siapa yang membawa kunci?" dia bertanya sambil tersenyum, ganjil.     

"Apa aku harus mendobraknya?" lalu matanya berpindah menatap pintu penuh hasrat.     

"Kami butuh waktu menginterogasi mereka," pada akhirnya Vian mendekati pintu mengeluarkan kunci dan membuka hendel pintu tersebut.     

"Vian.. " mata Raka menyala lebar menganggap bodoh keputusan Vian membuka pintu.     

Belum usai Raka melengkapi dugaan di dalam kepalanya, suara lengkingan kesakitan terdengar. Dan suara perempuan lain yaitu Leona menjerit menarik tubuh Mahendra. Akan tetapi sia-sia.     

Mahendra menyerang Kakak Leona.     

Perempuan bermata bulat dibanting ke lantai, sekejap berikutnya pria bermata biru menggunakan salah satu tangannya untuk tempelkan tubuh Anna merapat ke permukaan tembok.     

Sejalan kemudian tangan kanan tersebut digunakan untuk mendekap leher Sang Perempuan yang ketakutan bukan main. Mahendra menaikkan tangan kanannya perlahan-lahan hingga kaki perempuan ini tak lagi menyentuh lantai.     

Perempuan tercekik bergerak gerak memukul lengan Hendra. Terbatuk-batuk menuju kehilangan suara yang artinya nafasnya perlahan melemah.     

Raka dan Vian yang melihat kejadian tersebut lekas menangkap Mahendra, menarik tubuh lelaki bermata biru lalu mengunci lengannya.     

"Tuan! Bukan begini caranya!" Raka mengikat kuat kedua tangan Mahendra ke belakang. Sedangkan Vian dan Leo mendekati tubuh perempuan yang terjatuh di lantai. Untuk diperiksa denyut nadi dan nafasnya.     

Namun, Mahendra terlanjur kehilangan akal sehat. Ia menginjak kaki Raka. sikunya didorong ke belakang dengan kekuatan penuh. menghantam perut Raka.     

Raka kehilangan konsentrasi. terlepas sudah Mahendra. Dia kemudian kembali mendekati tubuh perempuan yang baru menemukan kesadaran.     

Mengetahui Mahendra berjalan mendekat. perempuan tersebut berteriak kesetanan. Hedra sempat menghadiahi Vian dengan hantaman di wajah, hingga hidungnya berdarah. hal yang sama hampir saja mengenai Leo. Akan tetapi perempuan tersebut lincah untuk menghindar.     

 Nafas Mahendra naik turun tatkala ia kembali mencengkeram leher perempuan yang ingin dia habisi dengan tangannya sendiri detik ini.     

"Ini untuk perempuanku yang menderita di ruang ICU berhari-hari, berjuang antara mati dan hidup, demi  menyelamatkan bayi kami," Hendra mencekik leher Anna menggunakan kedua tangannya, "Kau harus mati detik ini!"     

"BRUAK!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.