Ciuman Pertama Aruna

III-227. Borjuis Kyoto



III-227. Borjuis Kyoto

Dia sangat Indonesia: mungil, berisi, singset.     

Dengan baju berbahan sutra menjulur sampai lutut. Warna gading berpadu dengan lekukan-lekukan indah, akibat posisi tidurnya yang meringkuk mengarah kepadaku.      

Si mungil yang sudah terlelap belum berganti baju sejak ia datang, dan mengetuk pintu beberapa jam yang lalu.     

Aku masih ingat senyuman manis itu kala menyapaku. Tak lupa pula pada sentuhan lembut khas dirinya, berpadu dengan sutra yang sangat halus. Semua itu seolah mengguyur dinding hatiku yang sesak, sebab rasa resah dan bersalah.      

Aku sama seperti lelaki yang lain di muka bumi, ketika memutuskan berstatus sebagai suami. Kami takut saat melakukan kesalahan.      

Andai aku lelaki kecil yang dulu sering kesepian karena tak punya teman, pasti aku berbangga memiliki ibu seperti Aruna.     

Tak pernah ku dengar kalimat protes sedikit pun, apalagi mengutukku dengan ucapan-ucapan kemarahan, sebab kenakalan yang ku perbuat.     

Perempuan mungil ini, malah memelukku hangat, mendekap erat memberiku kekuatan.     

Perilakunya seperti nasihat panjang, yang di haturkan para pembuat hikayat. Kisah yang di berikan secara turun-temurun untuk memperingatkan generasi ke generasi.     

Supaya hikayat kami tak pernah putus, aku bahkan berniat meneruskannya. Suatu saat nanti, akan ku ceritakan kisahku kepada putri atau mungkin pada putraku tersayang.      

Bahwa nanti, ketika mereka sudah berumah tangga dan masalah hadir di antara keduanya, maka seseorang haruslah melihat sisi positif terlebih dahulu sebelum saling meledakkan emosi. Baru setelah itu, silahkan untuk merajuk atau memberi sanksi terberat sekalipun.      

Sekali lagi aku tertegun oleh tidurnya. Dia masih bisa terlihat tenang dalam badai yang menghantam kami akhir-akhir ini, terlebih malam ini.      

Dia menggerak-gerakkan tubuhnya di atas ranjang besar kami, mencari tempat ternyaman lalu kembali tenang.     

Ku coba menyentuhkan ujung jariku di atas pipinya yang lembut. Namun dia masih membeku, setelah mendapatkan tempat nyaman dengan sedikit gerakan     

Dalam tidurnya yang tenang, Aruna menarik nafas dan menghembuskannya secara tertib serta hikmat.     

Hembusan nafasnya seperti lantunan nada bersuara rendah dari seorang gadis kecil, yang belum pernah mengenal dosa sedari lahir.      

Akhirnya.. ku turunkan tubuhku, lalu ku tarik selimut. Ku rendahkan kepalaku, dan ku letakkan tepat di depan wajahnya.     

Tubuhku terkubur di selimut yang sama. Aku tak kuasa untuk tak menyentuhnya. Ku rengkuh tangan mungil itu. Tangan kecil yang di letakkan di atas sulur bunga lily. Tangan yang biasa memberikanku elusan hangat.      

Ku buka jari-jari mungil yang berujung lancip, dengan kuku-kuku bak biji mentimun.     

Tanpa ku sadari, bibirku sudah menguncup satu per satu biji mentimun, yang terselip di ujung jarinya.      

Selama aku memperhatikannya, memegangi tangan sepanjang 2 jam 13 menit. Dia tidak menggeliat, mengubah posisi tubuhnya sedikit pun. Tak merasakan sentuhan ku, ataupun minimal merubah ritme hembusan nafasnya, berganti lebih cepat atau menjadi lambat.     

Aruna berada dalam posisi yang sama dan cara tidur yang konsisten.     

Andai aku tak terbiasa mengamatinya tidur, sejak ku beranikan melihat perempuan satu ini terlelap, hingga sepanjang perjalanan pernikahan kami. Tentu aku akan berpikir, istriku telah meminum segenggam obat tidur.      

Ini menggairahkan. Mungkin orang lain akan menertawakanku, tapi hembusan nafas Aruna yang ku hirup, benar-benar sehangat suaranya yang damai. Dengan warna kulit merekah kemerah-merahan segar, begitu juga wajahnya yang terpejam. Dadaku bergemuruh, bergetar layaknya para pendaki gunung yang hampir sampai di puncaknya.     

Melihatnya tidur tentram, murni, setia dan damai, mengantarkanku pada sebuah kisah kuno di salah satu novel Jepang, yasunari kawabata. Tentang kisah para konglomerat Kyoto yang rela menghambur-hamburkan uang demi melihat perempuan paling cantik di wilayahnya, yang di sajikan secara terbius, tertidur semalaman untuk di amati.     

Para borjuis tersebut di larang menyentuh tubuh-tubuh indah yang tersaji di hadapan mereka, padahal berada dalam satu ranjang yang sama. Mereka di disiksa oleh perasaan yang bergemuruh di dada. Naluri para lelaki.      

Setiap konglomerat yang rela membakar uang demi menikmati keindahan ini di larang menyentuh, membangunkan, ataupun bersuara berisik.      

Sebab inti dari kesenangan adalah melihat mereka tidur.      

Dan detik ini, aku terbius oleh kulit tubuh Aruna yang menghembuskan aroma sangat halus hingga menyusup ke dalam hidung, dan mempengaruhi otak ku. Rasanya luar biasa.      

Bersama hawa dingin bulan Desember, ku yakini aku tak ada bedanya dengan para borjuis Kyoto, orang-orang Jepang kuno yang hidup di masa sekarang. Bukankah ini sangat gila?      

Anehnya, aku seolah memahami kenikmatan yang di alami para hidung belang itu sejak aku mampu melihat Aruna tidur, dan sepanjang hari-hariku tertidur bersamanya.     

Bagaimana aku bisa berpaling dari perempuan sehangat Aruna? memalingkan wajahku, sebab di belenggu perempuan lain? Itu mustahil!.     

Aku mulai mengantuk, setelah 2 jam lebih ku amati si perempuan hangat di hadapanku. Ku dekatkan tubuhku untuk memeluknya. Dengan aroma harum yang terbang dari tubuhnya, aku memejamkan mata karena di mabuk oleh cinta membara, yang harus aku tekan kali ini.      

Mana mungkin aku berani memintanya bercinta, ketika seluruh leherku menampakan noda-noda sialan.      

.     

.     

Entah berapa jam aku tertidur, sebab ketika aku membuka mata ku dapati ranjang di sampingku telah kosong.     

Aku lekas mengumpulkan sisa kesadaran, menegakkan tubuh dan mencari kesana kemari, di mana si mungil hangat saat ini?.      

Tak lama terdengar sayup-sayup dari lorong menuju kamar mandi. Aku meninggalkan ranjang sambil berlari. Di sana nampak perempuan hangat ku melengkungkan tubuhnya, bahkan kepalanya hampir masuk ke dalam table. Tangan kanannya memegang kran air di dekat kepala.     

Aku tahu, itu tanda bahwa dia pagi ini mengalami morning sickness. Dia pasti sudah muntah berkali-kali. Sebab ketika aku mendekat, tersaji mata merah yang memandangku.      

"Are you OK, honey?" aku segera menekuk kaki, menyusuri laci yang menyajikan minyak hangat beraroma terapi.      

Tampaknya yang di dalam perut sangat jahil, dia kembali bergejolak kemudian suara muntahan keluar dari mulutnya. Kran air berbunyi lagi, menandakan perempuan ini mengguyur wastafel di depan wajahnya.      

Ku hantarkan beberapa tisu untuknya, dan sapu tangan kecil yang ku beri banyak wewangian minyak ber-aromaterapi.     

Ku sentuh punggung itu dan mulai mengurut secara perlahan. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang, lalu berdiri lebih tegap dan berbalik badan menghadap diriku.     

"Jangan khawatir aku baik-baik saja.. Hendra," dalam raut wajah yang kacau, mata memerah, dan hidung berair, masih saja kalimatnya adalah cara menenangkan ku.      

Lagi-lagi aku tersabda sebagai penjahat bengis di dalam kerajaan pernikahan kami.      

Makin sialan lagi, si penjahat bengis ini membuat halusinasi kotor di dalam otaknya. Dia ingin membuka baju perempuan hangat di hadapannya, lalu menghirup seluruh aroma tubuhnya.      

Si perempuan hangat yang ku nikmati tidurnya semalam layaknya borjuis Kyoto kuno, berdiri di hadapanku.      

Ya, aku masih lelaki yang sama. Lelaki yang terbelenggu hasrat hanya karena melihat mata terpejam erat di hadapanku.      

"Mau mandi?" kalimat ini harusnya 'mau aku mandikan?' Tapi itu mustahil, aku tahu diri. Aku pria yang semalam membuat kekacauan besar.      

"Mau aku mandikan?" kakiku bergetar dan aku hampir mundur beberapa jengkal tatkala kalimat itu meluncur dari mulut si hangat.      

Perempuanku bertransformasi sebagai mentalis, mampu membaca pikiranku. Tapi agaknya ini berbeda. Aruna bukan menawarkan dirinya untuk aku mandikan.      

Tapi dirinya meminta ku sebagai objek yang ingin ia mandi kan. Tentu saja hal pertama yang terjadi pada diriku adalah hening, membeku, bingung.      

Leherku, tanganku, semua penuh noda. Bukan sekedar bercak merah di leher, ada pula cakaran di tanganku. Aku tak bisa menjawabnya, bibirku terasa kelu dan lidahku kaku.     

Dadaku terasa sesak. Aku sedang linglung dan tercekik secara bersamaan. Aku benar-benar lupa cara bernafas. Aku tidak memiliki ketakutan, bahkan kepada kakekku yang konon di takuti karena kekuasaannya.      

Aku lebih takut pada si hangat, yang detik ini menawarkan diri ingin memandikanku.      

Ia menarik bibirnya lurus ketika menyadari aku tidak bisa memberikan jawaban, "Ya sudah, buka resletingku" dia membalik tubuhnya hingga cermin membingkai kami berdua.      

"Aku saja yang kamu mandikan," cermin di hadapan kami menyajikan seseorang dengan mata kecoklatan yang menatap dirinya dan menatapku. Aku mulai menyusuri punggungnya untuk menarik resleting turun ke bawah.      

Lagi-lagi bekas robekan itu tersaji nyata di hadapanku. Walaupun dokter Martin sudah berupaya menyambungkan kulit-kulit itu supaya lebih indah untuk di pandang, kenyataannya Aruna tetap butuh prosedur operasi.      

"Jangan lama-lama," dia menggugah lamunanku, tak lama kemudian midi dress berlengan pendek tersebut jatuh ke lantai.      

Sangat indah dan paling cantik yang pernah aku lihat. Dua buah gundukan nyengkir gading dapat ku amati dengan sempurna, lebih padat dari sebelum-sebelumnya. Bentuknya bak buah kelapa yang masih muda.     

Kelapa gading, adalah kelapa yang buahnya kuning. Payudara Aruna nyengkir gading, artinya: padat, lancip, dan berwarna kekuningan.      

Perutnya yang di bawah membuncit, menggerakkan tanganku untuk merabanya.      

"Mana yang lebih indah.. aku atau dia?" tampaknya Aruna tahu aku tertegun menatapnya, dan belum berkedip mata sekejap pun.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.