Ciuman Pertama Aruna

III-226. Putri Tidur



III-226. Putri Tidur

0Dini hari yang lebih dingin dari semua pagi di bulan desember, menyelimuti kisah kedua lelaki yang saling bertukar pikiran dari narasi panjang. Susunan kalimat demi kalimat berlabuh pada sebuah kalimat tanda tanya berikutnya.     

"Ingatkah kamu dengan tahanan D103, milik Leona?" suara Thomas yang serius dalam gemuruh nafas naik turun terdengar sangat murung.     

Saat Vian mengangguk, pria berambut panjang melebihi bahu meletakkan tangannya pada pundak saudaranya, ia mengusap pelan sebagai tanda bahwa keduanya berdamai di detik ini.     

Mata mereka menatap lekat, "Apakah menurutmu Leona terlibat?" Thoms menyajikan keheningan.      

"Apakah itu yang menjadi alasan mengapa sampai detik ini kau menjauhi, bahkan melarang kita memberi kesempatan kepada Leo untuk bertemu denganmu, supaya dia bersih dari tuduhan??" Thoms menarik tangannya, ia meletakkan tangan tersebut di pahanya dan memandanginya.      

Vian tak mengerti, kegelisahan macam apa yang sedang di rasakan. Ia nampak mengerutkan dahinya ketika mengamati duka mendalam, yang di sajikan raut wajah Thoms.      

"Aku hampir menembaknya sebab kecewa, andai aku tak mengingat bahwa aku pernah begitu gila mencintainya, sampai-sampai ku mengiyakan semua permintaan Anna. Mencuri-curi potongan Video dan menghancurkan reputasi pernikahan cucu ayah, -Mahendra cucu tetua Wiryo- aku sudah menjadikannya mayat hari ini," deru nafas Thoms mengiringi setiap kalimat yang hadir untuk Vian.      

"Jadi dia terlibat?" Vian coba memastikan dugaannya.     

"Aku sendiri tidak tahu, tapi D103 buatannya,"      

"Kenapa kamu selalu yakin dia yang melarikan diri ke markas Rio?" kepala divisi penyidik mulai mengajukan berbagai macam argumen di dalam benaknya.     

"Aku  merenungkannya semenjak aku berada di ruangan ini. Apakah ada seseorang yang di hapus ingatanya, atau di cuci otaknya.. punya inisiatif sebaik dia?"     

"Maksudmu?"      

"Awalnya aku percaya dia sekedar di kendalikan Anna, tapi kau lihat sendiri bahwa dia bisa membawaku pergi dari kamar rumah sakit dengan cara sangat rapi, tanpa celah sedikit pun. Tak ada yang curiga atau minimal sadar bahwa tubuhku di bawa orang dengan kursi roda," mata Thomas mengembara, dan kode-kode baru di tangkap oleh Vian. Seperti memungut potongan potongan puzzel yang baru ditemukan.     

"Bagaimana dia bisa menghindari CCTV? kalau memang dia ahli di bidang ini, tentu saja.." Thomas terdiam sejenak, sepertinya lelaki ini tengah berpikir mendalam.      

"Artinya dia ingat keahliannya dulu sebelum dia menjadi D103? Benar begitu Thomas?" Vian melanjutkan praduga Thoms.     

"Tadi aku ingin mengatakan itu, tapi aku butuh sebuah fakta yang bisa meyakinkan dirimu kalau kata-kataku benar"      

"Kau tak perlu menyajikan fakta, karena kasus ini bukan hanya tentangmu, Thoms. Apa yang terjadi pada istri Mahendra bahkan lebih pelik darimu. Bedanya kau di anggap bunuh diri, sedangkan dia terluka parah dengan darah yang membaluri tubuhnya, dan ia tetap berjuang untuk bertahan hidup,"      

Thomas menghembuskan nafas berat. Memorinya berlari menuju jembatan, kemudian masuk ke dalam arus sungai yang deras, lantas berusaha keras memacu tangannya membuat gerakan naik ke atas, supaya ia punya kesempatan menghirup udara.      

"Aku harus memeriksa sketsa CCTV tim Pradita. Semoga wajah D103 di temukankan di dalam lift, jadi pertanyaanmu bisa kita pertanggungjawabkan di depan presdir," makna kalimat Vian ialah, pernyataan yang di buat Thomas terkait D103 tidak berputar untuk sang korban itu sendiri. Mengingat tak ada satupun fakta yang bisa mendukung Thoms, kecuali memori yang ada di dalam otaknya saja.     

Sekali lagi, ketika pria berwajah sendu dengan jaket bomber army ingin meninggalkan saudaranya yang berpakaian putih bersih dengan noda bercak darah di titik tertentu, keduanya saling beradu mata, "Maafkan Aku" cara meminta maaf para laki-laki memang sedingin ini.      

"Akulah yang harus minta maaf, karena aku yang membuat kekacauan," Thomas tampak tidak percaya diri dengan mengalihkan pandangannya dari Vian.     

"Kita impas kali ini," kembali suara Vian menyapa gendang telinga pria berbaju putih, yang duduk di atas ranjang dengan warna sama putihnya.     

"Kalau kamu kekurangan saksi, paksa Leona bicara!" Thomas memberi saran di luar dugaan Vian.     

Tentu saja Vian terperangah mendengarnya, "Apakah tak masalah? Calon istrimu kami libatkan?"     

"Aku hampir lupa dia calon istriku atau bukan?!. Mendengar orang lain bersimbah darah dan hampir kehilangan nyawanya, termasuk bayi di dalam kandungan nya, aku rasa tidak layak kasus ini di biarkan berlarut-larut," monolog Thoms menghantarkan langkah Vian menutup pintu ruangan serba putih tersebut.     

Lelaki bermata sendu melangkahkan kaki menuju ruang kerja barunya.     

Setelah sampai di meja kerjanya, ia nampak sibuk menyalakan laptop, mengetikkan sesuatu pada benda tersebut. Tak lama kemudian ia menghentikan gerakannya, lantas membuat panggilan untuk Pradita.     

Vian ingat, seharusnya pada malam ini sudah terdapat sketsa dari pindai aplikasi khusus, yang sedang di kerjakan oleh pimpinan divisi IT/Teknologi di dalam ruang kerjanya -Pradita-.      

[Hei aku menunggu hasil sketsamu!] Tanpa salam dan sapa, Vian to the point menagih tugas Pradita.      

[Dor! Lebih cepat lagi! Jangan sampai lepas!] letusan tembakan menyapa panggilan dari pimpinan divisi penyidik. Kemudian di susul komando Pradita pada seseorang, beringan dengan deru mobil yang di pacu dengan kecepatan tinggi. Menimbulkan suara yang begitu berisik pada handphone Vian.     

Lelaki bermata sendu tidak tahu keadaan Pradita pada saat ini.     

Dari sebrang panggilan telepon, ada lebih dari 4 mobil yang berkejar-kejaran. Tiga di antaranya milik Tarantula, sedangkan satu kendaraan beroda empat milik DJoyo Makmur Group. Yang mana di dalamnya membawa Pradita beserta anak buahnya.     

"Bruak!" mobil Pradita mendapat hantaman keras dari sisi sebelah.     

Vian yang mendengar benturan keras tersebut merasa khawatir.     

Lelaki bermata sendu menyadari handphone Pradita sepertinya terjatuh, sebab tak lagi ada sahutan dari panggilannya. Hanya terdengar suara berisik yang tak berkesudahan.      

"Pradita! Apa aku perlu membantumu?! di mana lokasimu?" tidak ada jawaban sama sekali. Hanya terdengar suara berisik gesekan yang terjadi antara handphone dan benda-benda di sekitarnya.      

***     

Mahendra bahkan lupa mempertanyakan dari mana Aruna tahu kejadian hina yang menimpa dirinya semalam.      

Akan tetapi secara mengejutkan, sanksi yang di berikan Aruna adalah permintaan di luar nalar Mahendra.     

"Pertemukan aku dengan Thomas, tapi kamu tidak boleh bertanya dari mana aku mengetahui nama itu, dan kenapa aku harus bertemu dengannya,"     

"Thomas?" sketsa wajah Mahendra menunjukkan bahwa ia masih meraba, apa keinginan istrinya.      

"Iya Thomas," kemudian perempuan itu bergerak meninggalkan suaminya yang baru berdiri. Mematung mendengarkan permintaan sang istri.     

Aruna kembali menegakkan tubuhnya, bergerak menyusuri sulur bunga lily. Kemudian membenamkan dirinya di dalam selimut hangat.      

Dia membiarkan lelaki yang mematung, terhantam ribuan tanda tanya di dalam kepalanya.     

_Thomas?_ lelaki bermata biru masih mencoba menetralkan rasa penasarannya dengan mengulang nama tersebut, dan di akhiri tanda tanya di dalam benak.      

"Sudah.. ayo kita tidur.." tampaknya Aruna sangat mengantuk, bagaimana tidak?, perempuan hamil ini sudah menemui gadis bernama Kihrani sejak siang, dan menunggunya di depan teras minimarket tanpa kenal lelah.      

Mahendra terlihat beberapa kali membuat gerakan ke berbagai arah, namun raut wajah itu menyajikan tatapan kosong.     

Lelaki bermata biru mencoba menyusun puzzle-puzzle di dalam otaknya.     

Bagaimana bisa Aruna mengenal Thomas?     

Thomas?      

Bahkan ketika separuh tubuhnya sudah di benamkan ke dalam selimut hangat. Dia masih di hantui oleh relevansi keberadaan Thomas, si pimpinan divisi yang sempat hilang dan sekarang sudah terkurung di dalam penjara bawah tanah, dengan tujuan istrinya ingin menemuinya.      

Relevansi semacam apa yang bisa menghubungkan Aruna yang terlihat polos dan tak tahu apa-apa, dengan kejadian yang terdapat di sudut lain bawah tanah.      

Tampaknya otak kiri Mahendra tiba-tiba membeku setelah pemandangan di hadapan matanya, menyajikan wujud indah dari perempuan mungil yang sedang terlelap dalam tidurnya.     

.     

.     

Putri tidur yang sangat cantik.     

Aruna nampak bersinar dan lemah lembut, kulitnya bagai mas sinanglang, -kulit tubuh yang indah bercahaya, seperti emas yang di gosok-.      

Maniknya lebar bak bawang yang utuh, akan tetapi nyelip lindri, -yang artinya dia tak pernah membuka matanya lebar-membulat penuh. Mata yang terbuka sedang, akan tetapi netra coklat tersebut perlahan-lahan mencurahkan cahaya, yang mampu menghantarkan aura hangat khas dirinya.     

Surainya berserakan, selalu begitu ketika ia tertidur. Rambut tipis nan halus tumpah kemanapun ia bergerak. Warnanya tak sepekat hitam, memberinya kesan ringan dan sangat lembut.      

Dia sangat Indonesia: mungil, berisi, singset.     

Dengan baju berbahan sutra menjulur sampai lutut. Warna gading berpadu dengan lekukan-lekukan indah, akibat posisi tidurnya yang ... .... .....      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.