Ciuman Pertama Aruna

III-224. Wujud Belas Kasihan



III-224. Wujud Belas Kasihan

0"Bugh" pukulan mendarat pada lelaki yang kini tersungkur di lantai. Pria berambut panjang melebihi bahu yang baru mendapatkan hantaman menyibak rambutnya. Detik berikutnya memeriksa sudut bibirnya dengan ibu jari. Dia mendapati merah darah di jarinya.      

"Ayo kita bergulat, siapa yang kalah harus mengikuti permintaan yang menang. Anggap saja kita sedang bermain adu panco seperti dulu.." pria yang sedang berbicara melepas jaket bomber army yang ia kenakan. Ia membiarkan benda tersebut tersungkur di atas lantai keramik putih.     

"Apa kau sedang gila atau frustrasi?" Thomas baru bangkit dari jatuhnya. Dia membersihkan bercak merah darah di sudut bibir dengan jarinya. Pria tersebut berniat meraih tisu di atas meja.      

"Bugh" Vian menendang tangan yang baru menyentuh tisu.     

"KAU GILA!!" teriak Thomas menatap Vian dengan mata menghujam.     

"Ya, Aku sedang gila karena aku punya saudara yang bahkan sama sekali tidak menganggapku sebagai seorang teman," Vian berucap dengan nada menggebu.     

"Apa maumu Vian!" Thomas berdiri lebih tegak. Kali ini dia menatap Vian sama mengancamnya, seperti tatapan pria yang berada di depannya.     

"Sederhana!, Aku ingin bergulat denganmu sampai salah satu dari kita menyatakan menyerah," ujar Vian dengan serius.     

"Kau aneh!" Thomas berjalan kembali ke ranjangnya.     

Sepertinya lelaki berambut panjang melebihi bahu tersebut, ingin menutup matanya dan tidur dengan tenang. Begitulah caranya menghabiskan hari-hari di tempat ini. Ia mengubur dirinya dalam-dalam melalui tidur panjang.     

"Kau yang aneh!" Vian membalas ucapan Thomas.      

Lalu pria ini berniat membuat pukulan untuk selanjutnya. Sebuah tangan mengepal, mengayun seolah akan menghantam kepala Thomas untuk sekian detik berikutnya.     

Akan tetapi tampaknya, gerakan tersebut mampu di prediksi dengan tepat. Lelaki dengan rambut panjang melebihi bahu meraih bantal putih. Kemudian menghempas tangan sial tersebut, sehingga dia tidak mendapatkan kesialan dengan menerima hantaman Vian yang ketiga kalinya.     

"Kau benar-benar ingin bergulat denganku?" pada akhirnya Thomas terpancing juga.     

Dan betapa anehnya Vian, dia tersenyum bahagia. "Siapa yang menang harus menuruti yang kalah. Kau masih ingat cara bermain waktu kita belia?" lelaki ini mengingat masa belia mereka bersama. Melakukan permainan anak laki-laki yang lebih banyak menguras tenaga fisik. Entah itu berlari, adu panco ataupun memanjat pohon hingga mencuri buah-buahan.     

Bagi yang mampu melakukannya dengan lebih baik, maka ketika malam hari atau keesokan harinya di sekolah, salah satu dari mereka harus menuruti satu permintaan si pemenang.     

Apapun itu perintahnya, termasuk berpura-pura menyatakan cinta, menyerahkan uang saku, sampai kepada pernyataan kejujuran terkait hal-hal yang disembunyikan di dalam hati masing-masing.     

"Apa yang kau inginkan dariku? Apa kau tidak melihat! Aku bahkan tidak punya apapun yang menempel di tubuhku," kalimat ini di ucapkan seorang tahanan secara kontemplatif. Nada suaranya menghujam seseorang yang bersiap dengan kuda-kudanya untuk menghajar saudaranya sendiri.     

"Aku ingin tahu sesuatu yang ada di dalam dadamu, termasuk pula isi di otakmu," pimpinan penyidik ini benar-benar berada dalam posisi bersemangat. Dia sudah lelah menghadapi Thomas yang lebih banyak terdiam.     

"Sudah tidak ada belas kasihan lagi padaku?" Thomas mencoba melempar kalimat tanya ini sebagai upaya untuk mengusir Vian dan merogoh empatinya.     

"Belas kasihan tidak selamanya di wujudkan dalam bentuk membiarkan hidup orang lain tenang. Kadangkala empati juga bisa di bentuk dengan memecut orang lain supaya bergerak lebih cepat, atau menghajar seseorang supaya dia tahu makna saudara," dan secara mengejutkan Vian benar-benar melangkahkan kakinya. Berputar. Membuat tebasan menggunakan kaki kanannya. Thomas terjatuh dan mundur sekian jarak dari awal ia berdiri.     

"Apa kau sudah menyerah? Ayo penuhi permintaanku!" kalimat ini di ucapkan Vian sembari berjalan, bergegas meraih kerah baju Thomas. Tangan kanannya mengepal kuat, ingin menghujamkan pukulan hebat di wajah lelaki berambut lebih dari bahu.     

Thomas membela diri, ia menendang salah satu kaki Vian sehingga pria itu oleng sejenak. Detik berikutnya, Thomas mencoba berdiri dengan benar, ia melepas jeratan tangan lelaki bermata sendu yang berada di kerah bajunya.     

Tak butuh waktu lama, Thomas membalas perbuatan Vian. Dia menegakkan kakinya, tangannya mengepal kuat, mengayun, memukul wajah lelaki bermata sendu yang sempat oleng karena tendangan Thomas pada salah satu kaki "Bugh".     

Dua saudara yang tumbuh bersama. Bahkan dulu, mereka tidur dalam satu kamar yang sama. Bedanya Thomas di ranjang nomor dua, dan Vian berada di urutan keempat.     

Mereka lupa pada sumpah yang di ucapkan sebagai anak Yellow House, 'Tidak ada permusuhan, tidak ada saling menjatuhkan, dan harus saling menguatkan satu sama lain apapun keadaannya di masa depan'.     

Apalah makna arti sumpah tersebut, jika salah satu dari mereka -yaitu Thomas, sudah melanggarnya semenjak ia meledakkan ruang kerja Vian pada waktu itu.     

"Bugh" lagi.. Thomas membuat Vian roboh dan membentur, menggeser kursi di tengah ruangan. Dia merengkuh lengan lelaki bermata sendu, berniat melemparnya keluar dari ruang tersebut. Supaya ia lekas menutup rapat penjaranya, dan bisa tertidur tenang di dalam ruang putih.     

Tampaknya hal tersebut hanyalah harapan di dalam benak Thomas saja, sebab Vian adalah lelaki dengan kemampuan yang lebih baik, secara fisik maupun keahlian bergulat.     

Tangannya di rengkuh Thomas akan tetapi kakinya tidak.     

Lelaki ini mengikat kakinya pada kaki keranjang tidur, sehingga Thomas tak mampu menariknya lagi. Vian hanya butuh memutar dirinya, sehingga ia bisa menyerang kembali dengan kepalanya "Bugh.." Kemudian bangkit meraih kursi dan bersiap melempar benda tersebut, ke arah lelaki yang kini terkapar di atas lantai putih.     

Vian mengangkat kursi dengan kedua tangannya di atas kepala, matanya menatap tajam Thomas.     

"BRUAAAK!!" mata Thomas sudah terpejam erat, seketika ia sadar dan terdesak untuk sekedar bergeser.     

Asal punya niat, Vian bisa melempar kursi tersebut tepat ke arah dirinya. Namun kenyataannya, benda tersebut jatuh di sisi kiri tubuh Thomas. Terlontar dan menyajikan suara benturan yang menyiksa telinga keduanya.     

Mata Thomas terbuka dan selepas mengamati kursi berantakan di sisi kiri tubuhnya, dia melihat Vian yang menatapnya dengan sendu.     

Hal berikutnya yang di lihat Thomas adalah, sang pria yang menjatuhkan diri ke lantai. Vian terduduk pasrah di atas selasar ruang putih, seolah ia telah di hantam lelah hari ini.     

Thomas belum tahu apa maunya lelaki bermata sendu. Akan tetapi, raut wajah itu menandakan Vian dalam kepayahan yang luar biasa, atau mungkin kepasrahan yang tak tahu harus bagaimana.     

"Apa yang kamu inginkan?" pada akhirnya, bibir kaku Thomas bersuara.      

"Seseorang mengucapkan kalimat sederhana padaku: Andaikan aku punya teman masa kecil dengan ikatan kuat. Aku akan tersinggung ketika temanku tidak bisa mempercayaiku," dia yang berbicara seolah enggan menatap Thomas, pria ini mengamati tangannya sendiri. Tangan berkas memukul Thomas, dan nampak bercak merah darah ada di sana.     

"Thomas bukan teman masa kecilku tapi dia saudaraku. Sayang sekali, bahkan lelaki itu tidak mau mempercayaiku," Vian bangkit dari duduknya. Bergerak memungut jaket bomber army yang tergeletak di lantai tak jauh dari dirinya duduk.     

Sebelum pergi, pria ini menepuk bahu Thomas dua kali. Kemudian, bisikan kecil ia ucapkan "Hari ini aku disadarkan kita bukan saudara, apalagi sekedar teman. Tampaknya, aku yang terlalu berlebih memposisikan dirimu,"     

"Apa yang kamu inginkan Vian?" dia yang berbicara mampu memberhentikan gerak langkah seseorang, yang hampir menggapai pintu.     

Vian membalik tubuhnya sedikit menghadap Thomas, yang telah menatap dirinya. Lelaki bermata sendu terlihat memutar matanya. Ia berusaha mencari kata yang tepat, yang mampu mengikat minat Thomas hingga keteguhan hatinya luntur.     

"Aku semalam menemui seseorang. Dia adalah perempuan yang memiliki nasib serupa denganmu. Perempuan ini berharap dengan sangat bisa berjumpa denganmu, akan tetapi mustahil," Vian detik ini membalik tubuhnya penuh.     

Mata Thomas awas menatap tiap gerak Vian.     

"Dia korban yang nasibnya sama buruknya denganmu, tak mampu membuktikan dugaannya. Ibu hamil yang berlumur darah ketika ditemukan," Vian memberi sedikit penjelasan akan perempuan yang ia maksud.     

Detik ini Thomas membuka lebar matanya, "Siapa yang kamu ceritakan?"     

"Istri tuan Mahendra,"     

Thomas mundur dan terduduk di ranjang, "Akhirnya dia menjalankan rencana paling gilanya,"     

"Apa maksudmu?" Vian melangkah mendekati Thomas, dia meraih kursi yang di lempar tadi. Membaliknya dan duduk di hadapan Thomas.     

"Tujuan utama Anna mendapatkan tempat di rumah induk, seperti masa kecilnya dulu, putri kesayangan seluruh keluarga Djoyodiningrat," ujar Thomas.     

"Jadi itu motifnya?!," Vian melengkapi kalimat Thomas.     

"Thomas.. apakah menurutmu semua ini ada kaitannya dengan Tarantula?" Vian mempertanyakan kerancuan segala kejadian antara Anna dan larinya pembawa mobil. Seseorang yang ingin mengganggu, bahkan mungkin itu cara awal menculik istri Mahendra di danau. Orang tersebut melarikan diri ke markas Rio, pimpinan utama Tarantula.     

"Kenapa kau berpikir seperti itu.." tanya Thomas.     

Dini hari yang lebih dingin dari semua pagi di bulan desember, menyelimuti kisah kedua lelaki yang saling bertukar pikiran dari narasi panjang. Susunan kalimat demi kalimat berlabuh pada sebuah kalimat tanda tanya berikutnya.     

"Ingatkah kamu dengan tahanan D103, milik Leona?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.