Ciuman Pertama Aruna

III-221. Bongkahan Es di Dada



III-221. Bongkahan Es di Dada

0"Kita tidak boleh fokus pada barang-bukti fisik karena itu di sengaja, bukankah begitu?" kalimat tanya seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan teori di kepalanya sendiri, membuat dua perempuan di hadapannya saling bertautan mata satu sama lain. Mereka tidak paham dengan apa yang di bicarakan Vian.      

"Oke.. jadi begini.. Thomas menyebarkan video tentang perceraian anda," tangan Vian bergerak mengarah kepada Aruna.      

"Kemudian video itu menimbulkan kekacauan besar. Aku menggunakan ruang bekerjaku untuk melakukan analisis, siapa yang bertanggung jawab terhadap ini. Di salah satu berkas pada ruangan tersebut, terdapat barang bukti kuat bahwa pelakunya adalah Thomas. Seharusnya, setelah aku pulang dari kunjunganku ke makam ibu, -Vian tidak berada di lantai D ketika ruang kerjanya hancur lebur. Lelaki ini sedang mengunjungi makam orang tuanya, yang biasa di lakukan 1 tahun sekali- Aku berencana untuk menyampaikan temuanku pada Tuan Mahendra, dan bergegas menangkap Thomas," 2 perempuan yang di ajak Vian berdiskusi menganggukkan kepala.     

"Thomas mengetahui rencana ini. Dia yang merasa terdesak membuat kesalahan kedua yang lebih besar, yaitu menghancurkan ruang kerjaku.." Narasi Vian sejalan dengan kalimat yang di sampaikan Thomas di ruang interogasi. Pesan yang hanya dia ucapkan secara tertutup untuk Kiki, "..Coba kita nalar kalimat Thomas berikut : 'Aku berpikir bisa terbebas dari masalah, ternyata aku hanya boneka yang di mainkan seseorang dengan sangat rapi', Thomas menyesal atas apa yang dia lakukan, sebab yang ia dapati pada akhirnya ialah: 'Orang yang menjadikan aku boneka membunuhku, sama rapinya dengan caranya mengelabui ku'," Beberapa pasang mata yang mendengarkan setiap kalimat, yang di ucapkan oleh Vian pada detik ini sedang terpana, atas kemampuan penalaran lelaki bermata sendu tersebut.      

"Sepertinya ketika Thomas berada di rumah sakit, dia menemukan penyesalannya. Akan tetapi, yang ia dapat malah di eksekusi oleh orang yang menjadikannya boneka," mendengar ucapan Vian, ada seseorang yang sedang tersenyum lebar pada detik ini. Dialah perempuan yang sedang berada di posisi serupa dengan Thomas.      

"Untuk itu jangan hanya fokus pada detail kejadian yang kami terima. Coba mari kita renungkan apa motif, Ah'.. Thomas sempat mengatakan 'memuluskan misinya', berarti orang yang menganiaya aku dan membunuh Thomas, pasti punya misi yang luar biasa. Mimpi besar yang ingin di capai dengan cara apapun. Motif, aku yakin motif utama yang perlu kita cari tahu.. " ujar Aruna.      

"Benar nona," Vian mengangguk. Ketika pimpinan divisi ingin bertanya sekali lagi. Tampaknya perempuan bermata coklat itu mendapatkan sebuah panggilan.      

"Sebentar ya.." Aruna bangkit, menyingkir menuju teras rumah sederhana Kihrani. Ia mendapatkan panggilan dari suaminya. Ajudan Mahendra memberitahu, bahwa suaminya belum bisa pulang malam ini.     

Dan rasa lega merambat di tubuh Aruna. Dirinya bisa berlama-lama untuk berdiskusi dengan pimpinan divisi penyidik internal. Lelaki yang ia temui dalam wujud keberuntungan. Ia bersyukur ada yang mau mendengar, dan memikirkan kasus penganiayaan yang menimpa dirinya.      

Bertemu dengan Vian seperti menemukan seseorang yang siap menghancurkan bongkahan es di dalam dada.      

.     

.     

"Vian aku tidak tahu ini penting atau tidak," suara Kihrani kembali menyapa. Malam ini Bomb terlihat cukup manis bagi lelaki bermata sendu. Kiki tidak marah-marah seperti biasa, ketika mereka bertemu.     

"Katakan saja semua pengetahuanmu.. informasi sekecil apapun bisa membantu Thomas dan nona Aruna," ujar Vian meyakinkan Kiki.     

"Sebelum meninggalkan kami, maksudku sebelum Thomas pergi dan akhirnya tidak datang lagi ke rumah ini, jelas sekali dia sedang menjalankan sebuah rencana. Thomas mengatakan jika dia tidak pulang malam itu, aku harus pergi ke lantai 5 Djoyo Rizt Hotel. Menemui seseorang bernama Mahendra dan mengatakan bahwa dia masih hidup. Ternyata lelaki bernama Mahendra itu adalah suami nona Aruna,"      

"Iya, memang benar.." Vian menanggapi.     

"Coba kamu bayangkan, kemana perginya Thomas?"     

"Menemui pacarnya, Leona.." jawab Vian.     

"Apakah hanya itu? Kalau sekedar menemui perempuan bernama Leona, mengapa harus ada senjata api di tasnya? Aku yakin Thomas sempat berniat menuntut balas," Kiki mengutarakan apa yang ada di pikirannya.     

"Thomas juga terlihat menghindari Leona. Dia tidak mau berjumpa dengan perempuan itu, aku pikir mereka hanya sekedar bertengkar," kedua orang yang sedang berkomunikasi, merenung dalam lamunan masing-masing.     

Mereka tergugah setelah perempuan hamil datang, duduk di kursi yang tadi ia tempati. Sambil merapikan sweater-nya, mata Aruna menangkap laki-laki dan gadis di hadapannya menyajikan tatapan kosong, entah apa yang sedang mereka pikirkan.     

"Apakah terjadi sesuatu?" Aruna menggugah mereka.     

"Seperti kau yang memegang teguh janjimu untuk membahagiakan kakakmu, " kalimat ini tiba-tiba muncul dari bibir Vian, "Thomas sama dengan nona Aruna, merasa pelakunya adalah Anna.. Nana sekretaris tuan Mahendra,"     

"Entah dia menggunakan tangannya sendiri atau menjadikan orang lain bonekanya. Coba kalian pikirkan, siapa yang punya misi dan motif sebesar itu untuk menghancurkan pernikahanku, kalau perlu membuat ku kehilangan bayi ku," sang korban membuat konklusi di kepalanya.     

"Tetapi nona, kami benar-benar di buat kesulitan ketika seseorang yang mengganggu anda di rumah induk, dapat melarikan diri dengan membawa mobil menuju rival bisnis Djoyo Makmur Group," Vian menegaskan sekali lagi, bahwa kasus ini tidak sederhana untuk menangkap Anna.      

"Vian.. mengapa kamu tidak mencoba menemui Leona.. sepertinya dia tahu sesuatu.." tampaknya Kiki mencoba mencerna kalimat Thomas yang di kutip Vian -Memegang teguh janjimu untuk membahagiakan kakakmu- otomatis ada sesuatu yang di korbankan Leo demi kakaknya.     

"Leona bukan gadis sembarangan. Dia sangat cerdas dan serupa dengan ku termasuk Thomas. Leo satu-satunya perempuan yang bisa memimpin tim (divisi teknologi medis yang di hapus oleh Mahendra), Sebab kecerdasannya, dia bisa menghilangkan apa yang ada di dalam otakmu," Vian menatap Kiki. "..Kalau masih ada cara lain, sebaiknya kita menghindari perempuan itu," sekali lagi pimpinan penyidik menjabarkan argumentasi di kepalanya.      

"Tapi sejujurnya aku penasaran pada satu hal. Kalau Thomas pergi ke rumah Leona untuk menuntut balas, artinya dia benar-benar ingin membunuh Anna.. Thomas tidak sama dengan nona Aruna, yang hanya membuat dugaan semata. Dia memiliki keyakinan yang jauh lebih tinggi, terlebih dialah bonekanya. Bukan sekedar korban seperti nona Aruna," isi otak Vian mengembara ke sana ke mari.     

Kadangkala mirip senter di tengah-tengah hutan yang gelap. Dia membawa lawan bicaranya menyusuri jalan setapak yang ia tunjukan. Satu persatu tujuan itu kian dekat.      

"Bagaimana caranya supaya aku bisa bertemu Thomas. Aku yakin karena kita berdua sama-sama korban. Kita bisa berbicara lebih baik," Aruna memberi saran.      

"Tidak nona. Keberanianku mewawancarai anda saja sudah berbahaya untuk ku, aku yakin anda mengerti maksud ku. Dengan membawa anda menemui Thomas, sama dengan saya bunuh diri. Suami Anda pria yang keras kepala," _tidak mungkin presdir mengampuniku ketika aku membawa istrinya melihat lantai bawah tanah_ pikiran Vian membayangkan konsekuensi terburuk dari tindakannya saat ini.     

Aruna terbungkam. Perempuan hamil ini mengenali suaminya dengan baik. Tak dapat dirinya menyangkal ucapan Vian sedikitpun.      

"Kira-kira, apa hubungan Anna dengan seseorang yang melarikan diri ke rumah pimpinan Tarantula? Aaargh.. ini memusingkan sekali," Vian si pembawa senter di tengah kegelapan mulai kehabisan baterai, dan cahaya dari benda tersebut nampak meredup. Padahal tempat tujuan mereka tinggal beberapa langkah lagi.      

"Aku tetap ingin bertemu Thomas, please!" Aruna memohon, menatap Vian penuh harapan.      

"Ayolah Vian.. bukankah dengan begitu masalah ini bisa terpecahkan dengan mudah.." Kiki turut merayu pria bermata sendu tersebut.      

Vian mematung beberapa saat, "Nona" lalu menggugah kebekuan tersebut dengan memanggil Aruna. "Mengapa anda tidak mencoba merayu suami anda. Bukankah satu-satunya yang bisa membuatnya luluh adalah rengekan anda," ide yang sangat klasik, atau mungkin mirip seperti isi kepala Alvin. Si manusia konservatif.      

"Tahu dari mana kamu.." kilah Aruna, bahkan tidak percaya dengan dirinya sendiri.      

"Tahu dari mana?!, Semua orang di Djoyo Makmur Group tahu. Suami anda mengerikan di mata orang lain, tapi terlihat baik ketika hanya bersama dengan anda," kalimat ini di usung Vian dengan suara meletup-letup.      

"Begitu ya.." Aruna mulai mengumpulkan kepercayaan dirinya pada detik ini. Perempuan ini juga mengimajinasikan sebuah adegan, yang mungkin bisa dia usahakan untuk merayu Mahendra.     

Perlukah dia menangis?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.