Ciuman Pertama Aruna

III-220. Mewawancarai Korban



III-220. Mewawancarai Korban

0"Sayang sekali saya tidak di izinkan untuk mewawancarai anda. Pertemuan kita di sini seperti keberuntungan untuk ku, bisa jadi keberuntungan juga untuk anda. Apa saya boleh…"      

"Uuuh.. Alvin.. " kaki perempuan hamil tersebut bergetar. Dan ajudannya bergerak cepat merengkuh tubuh Aruna begitu juga yang di lakukan Vian.      

.     

.     

Aruna duduk nyaman dengan tubuh lebih tegap, pada kursi kayu di rumah sederhana gadis bernama Kihrani. Perempuan tersebut mendapatkan tatapan secara bergantian oleh empat orang sekaligus. Mereka terdiri dari Kiki, Vian, Alvin dan tentu saja bapak, berada di meja yang sama.      

Ketika si mungil coba menggerakkan teh yang tersaji di hadapannya, spontan Vian dan Kiki beranjak dari duduknya. Minuman tersebut nampak masih panas, dan Aruna hampir menjatuhkan gelas kaca yang berada dalam genggamannya.     

Namun, perempuan bermata coklat cukup sigap membenarkan cara memegang benda tersebut, dengan tangkas ia meraih lepek kecil yang menjadi alas gelas.     

Akan tetapi dua orang yang berusaha membantu, tertangkap melakukan gerakan yang sama. Vian dan Kiki yang berdiri serentak menuju arah nona di hadapan mereka, tanpa sengaja saling membenturkan kepala mereka. Si gadis berambut hitam pekat, mengusung tatapan permusuhan kepada lelaki yang malah tersenyum menatap kemarahan Bomb.      

"Huuh," Hembusan nafas terdengar dari sang perempuan yang akan di wawancarai oleh seorang penyidik internal. Lelaki tersebut siap dengan perekam suara melalui handphonenya.      

"Nona kalau anda tidak sanggup.. tak perlu anda lanjutkan ini.." Alvin masih meragukan keputusan Aruna.     

"Alvin!!" suara serempak dari perempuan dan laki-laki yang tadi bersitegang. Tapi yang terjadi sekarang, Vian dan Kiki kompak membentak ajudan tersebut.     

"Aku hanya.."      

"Alvin tunggulah aku di mobil saja!" ucap Aruna tegas menatap ajudannya yang sangat konservatif. Pendukung nilai-nilai kebenaran mutlak, leterlek terhadap makna benar dan salah.     

Memang menyusahkan harus berurusan dengan Alvin. Akan tetapi, manusia seperti dia adalah orang putih bersih. Cenderung masuk ke dalam kategori orang-orang yang jarang melanggar aturan.      

Alvin merundukan pandangannya, dan Aruna konsisten menatapnya. Sehingga ajudan tersebut dengan terpaksa mematuhi keputusan nonanya.     

Hal pertama yang di pertanyakan Vian ialah runtutan kronologi.      

Dengan mengumpulkan keberanian, Aruna coba menceritakan detail kejadian yang ia alami. Perempuan tersebut juga bercerita tentang bagaimana dia mendapatkan ancaman dari Nana, sebelum tragedi buruk tersebut terjadi.      

"Menurut anda.. pelakunya laki-laki atau perempuan?" Pertanyaan yang selalu menggelitik Vian     

"Perempuan," dan Aruna konsisten pelakunya adalah perempuan.      

"Bagaimana dengan seorang laki-laki yang menyamar jadi perempuan? Menurut anda apakah itu mungkin?" Vian coba mengajukan argumentasi di dalam benaknya.     

"Tidak, tidak mungkin bagiku. Suaranya, rambutnya, dan jemarinya, bahkan aku sempat memegang tangannya. Tawa dan penghinaan spontan yang keluar dari mulutnya, bernada suara perempuan," [chapter III-76. Lepaskan Aku] Aruna mengambil nafas sejenak.     

Kiki bergerak duduk di sampingnya. Gadis berambut hitam pekat nampak mengelus kedua telapak tangan yang tergenggam di atas meja. Aruna sempat meliriknya dan tersenyum. Gadis tersebut berupaya untuk menenangkan dirinya, dan si perempuan hamil menyadari itu.      

"Interaksi apa saja yang pernah terjadi antara anda dan pelaku?" kembali suara Vian mengajukan pertanyaan.     

"Aku memukul sebagian wajahnya, menggunakan tasku,"     

"Artinya wajahnya pasti membekas keesokan harinya?" Si pimpinan divisi penyidik semakin berhasrat menggali informasi.     

"Menurutku iya. Aku memukulnya dengan keras, berulang-ulang supaya dia tidak memotong rambut ku,"     

"Apakah menurutmu pelakunya pegawai Djoyo Makmur Group?"     

"Aku sempat yakin pelakunya pasti sekretaris suamiku, Anna.." mendengar nama orang yang keluar dari bibir nona di hadapannya, Kihrani menelan salivanya.     

Dia terdorong dengan sendirinya, ingin mengungkapkan tanggung jawab moral yang dia dapatkan dari cerita Thomas.      

"Tapi Anna detik itu sedang bersama suamiku? Aku sering merasa stres sendiri ketika memikirkan ini,"      

Vian terdiam cukup lama untuk memahami setiap kalimat Aruna.     

Mengapa ada ketidak-sesuaian antara apa yang ia yakini, tentang penyamaran seseorang yang pura-pura menjadi perempuan. Dengan sang korban yang detik ini tengah bercerita sebagai saksi satu-satunya.     

Pantas sekali kasus ini tidak bisa bergerak banyak, karena terjadi pertentangan antara jenis bukti terhadap keterangan saksi.      

Melihat Vian yang di terpa kebingungan, wajah Aruna mengerut mengekspresikan duka.      

Dan tiba-tiba, suara perempuan menyapa mereka berdua, "Harusnya pengetahuanku ini tidak boleh di beritahukan kepada siapapun. Tapi aku rasa ada sedikit kesamaan antara yang terjadi pada Thomas dengan nona Aruna,".     

Vian yang awalnya sudah mulai pesimis terhadap apa yang dia dengar dari nona muda Djoyodiningrat, si korban yang tak memiliki banyak informasi serta bertentangan dengan barang bukti yang di temukan. Kini membuka matanya lebar menatap Kihrani, yang akhirnya mau membuka mulutnya.      

"Thomas merasakan dilema yang sama, mirip seperti yang di tunjukkan nona Aruna.. yang merasa kalau dia bercerita kepada teman-temannya pun, tidak akan ada yang bisa mempercayainya, sebab dia tidak punya bukti. Yang aku ingat dari kalimat percakapan dengan Thomas, dia menyadari dirinya membuat kesalahan sebab dorongan dari seseorang. Kemudian untuk menutupi hal tersebut, dia membuat kesalahan besar berikutnya. Thomas selalu bilang dia di jadikan boneka," kalimat Kiki mendorong pria yang kini mengelus sudut bibirnya dengan jari telunjuk, untuk tersenyum kecil. Dia menemukan pemahaman baru.     

"Aku memang tengah menyelidiki sebuah kasus ketika ruang kerjaku hancur. Dia pelaku yang menyebarkan potongan-potongan video di dalam ruang sidang perceraian tuan muda dengan anda, nona. Harusnya Thomas aku ringkus, karena dia masuk dalam daftar hitam pelaku,"      

"Begitu ya?" Aruna mencoba memahami informasi Vian.      

"Vian, sepertinya ungkapan Thomas ini akan sejalan dengan apa yang kamu ceritakan," Kiki menawarkan informasi tambahan.      

"Ungkapan Thomas?" Vian menatap Kiki lebih lekat.      

"Ucapan Thomas ketika kita berkomunikasi di ruang interogasi malam itu," ada lelaki yang menghembuskan nafas syukur, atas ucapan yang baru saja di lontarkan Kiki.     

Akhirnya perempuan rambut hitam pekat ini berkenan membuka komunikasinya dengan Thomas.      

"Coba katakan.." perintah Vian berikutnya.     

"Sungguh, aku pernah melakukan kesalahan besar. Lalu aku menutupi hal tersebut, dengan menciptakan kesalahan yang lebih besar lagi. Aku berpikir bisa terbebas dari masalah, ternyata aku hanya boneka yang di mainkan seseorang dengan sangat rapi," Kiki mencukupkan kalimatnya.     

Perempuan ini akhirnya berkenan berkomunikasi dengan mata saling bertautan, satu sama lain.      

"Ada lagi yang dia ucapkan?" suara Vian kembali menyapa.      

"Orang yang menjadikan aku boneka membunuhku, sama rapinya dengan caranya mengelabui ku. Aku tidak habis pikir perempuan tersebut punya kemampuan sehebat itu, demi memuluskan misinya," [Season III, sepotong permen coklat] Kihrani memberi jeda sejenak pada ucapannya.     

Gadis ini menghirup nafas untuk melanjutkan kalimatnya, ia seolah sedang menepis rasa resah. Kiki mengingat Thomas dan segala kenangan perihal pria berambut sebahu tersebut.      

"Setelah itu dia bercerita tentang dirinya yang tidak memiliki bukti, dan orang lain akan menganggapnya pembunuhan. Sebab, perempuan yang menjadikan Thomas boneka hampir mustahil di anggap sebagai pelaku," Kiki mengarahkan pandangannya kepada perempuan hamil yang tengah berduka hebat, "Bukankah kondisinya benar-benar mirip seperti yang di alami nona?"     

"Segalanya seolah di tampilkan secara acak. Korban tidak bisa berkutik karena tak memiliki apapun yang dapat di jadikan bukti. Antara yang di terima korban dan apa yang ada sebagai barang-bukti fisik, tidak sinkron. Itu sebabnya, kasus Thomas serta nona tak pernah menemukan titik temu," Vian seolah terkejut dengan ucapannya sendiri ,"Ahh!!" pria ini memekik, mengepalkan tangannya memukul udara. Sedikit unik, tapi sepertinya itu ungkapan keberhasilan terhadap susunan teori yang bersemayam di kepala seorang penyidik.      

"Kita tidak boleh fokus pada barang-bukti fisik karena itu di sengaja, bukankah begitu?" kalimat tanya seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan teori di kepalanya sendiri, membuat dua perempuan di hadapannya saling bertautan mata satu sama lain. Mereka tidak paham dengan apa yang di bicarakan Vian.      

"Oke.. jadi begini.. Thomas menyebarkan video tentang perceraian anda," tangan Vian bergerak mengarah kepada Aruna.      

"Kemudian video itu menimbulkan      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.