Ciuman Pertama Aruna

III-218. Kabut Hitam



III-218. Kabut Hitam

0"Aku kemari dengan tujuan yang masih sama.. " suara Vian terdengar kikuk, lelaki tersebut menggaruk sudut lehernya, "Aku mencari informasi.. Thomas,"     

Kiki sekedar melirik laki-laki tersebut dengan ekor matanya. Yang kemudian di susul hembusan nafas lelah, "Kau lagi.. kau lagi.."     

Alvin berdiri mendekati seniornya, ajudan itu menunduk ringan kepada senior Vian.     

Gerakan tersebut menarik perhatian Kiki, dia menoleh. Vian tampak mengesankan, ketika mengingat kalau laki-laki tersebut memiliki sekelompok junior, atau mungkin bawahan yang terlihat menghormatinya.      

Aruna memutar gerakan matanya, "Apa lelaki itu yang membawamu ke lantai D, Kihran?"      

Kiki mengangguk, mengiyakan tanda tanya yang diusung nona dengan sweater rajut di tubuhnya.      

Selain mengamati Vian yang malu-malu di pintu. Ada 2 orang pria yang di duga saudara Kiki masuk ke dalam rumah sederhana ini. Aruna tersenyum pada mereka, salah satu dari keduanya segera mendekat mengamati perempuan bermata coklat dengan lamat-lamat. Di susul yang lebih muda, masuk ke dalam ruangan.     

Lelaki yang mengamati perempuan hamil tersebut kini memindahkan pengamatannya, pada benda-benda yang tergeletak di atas meja.      

"Ada apa ini?" ada semburat khawatir yang di tunjukan bapak melihat barang-barang Thomas tergeletak di atas meja.      

"Nona ini, mencari kebenaran tentang Thomas pak.." jawab Kiki.     

Lelaki dengan kaos berkerah warna abu-abu pudar, menggenggam baju motif biru putih. Bapak Kiki seolah pergi ke tempat lain, kala mengamati dan memegang benda tersebut. Ada kesan mendalam ketika ia mengelus baju rumah sakit yang di kenakan Thomas dahulu, saat pertama kali menemukan pria tersebut.     

"Bapak.. nona ini bisa menyelamatkan Thomas.." kembali suara Kiki menyapa.      

"Benarkah?" Bapak menoleh kepada Kiki, kemudian anak gadisnya terlihat menggerakan dagunya naik turun.      

Aruna mengamati anak dan bapak yang ada di depannya, kemudian mengalihkan pandangan menuju Alvin yang sedang berkomunikasi dengan Vian.      

"Boleh aku tanya lagi Kihran?"     

"Iya.. nona"     

"Apa pria itu sering menemuimu?" Aruna nampak penasaran dengan Vian.     

"Suka mengganggu lebih tepatnya," jawab Kiki membenarkan kalimat Aruna.     

"Kenapa dia berbuat seperti itu?" Aruna coba menggali informasi.     

"Em.. sejujurnya ada beberapa hal yang tidak bisa ku ceritakan pada Vian, karena permintaan Thomas. Dia (Vian) tidak tahu kalau yang.. em.." Kiki nampak ragu melanjutkan ucapannya.     

"Yang membunuh Thomas sebenarnya, ada kaitanya dengan sekretaris suamiku?" Perempuan hamil mencoba melengkapi kalimat Kiki.     

Akhirnya Kiki hanya menunduk, menandakan ucapan Aruna benar.     

Aruna masih mengingat ucapan Alvin terkait lelaki tersebut, ialah pimpinan salah satu divisi di lantai D. Bisa jadi lelaki yang saat ini diam-diam melirik keberadaan perempuan yang duduk di hadapan Aruna, punya pengaruh besar di dalam ruang bawah tanah tersebut.     

Aruna bangkit dari duduknya, coba mendekati Vian. Tubuhnya yang mungil sempat tertutupi Alvin, hingga kedatang perempuan hamil tersebut di sadari sang ajudan.     

Alvin menyingkir, membiarkan nonanya bertemu mata dengan Vian.     

"Aku merasa, pernah melihatmu.." suara Aruna, menatap Vian secara khitmat. Tiba-tiba saja dia juga mengingat nama Thomas di sudut memorinya.     

Thomas adalah lelaki yang sering menghubungi handphone suaminya. Kemudian Mahendra akan berbicara panjang lebar tentang saham, akuisisi, dan semacamnya.      

"Tentu saja Anda pernah melihat saya, walaupun saya seringkali datang ke rumah induk di malam hari," ucap Vian berdiri lebih dekat di hadapan istri dari pimpinan tertinggi.      

"Boleh aku tahu.. em.." sudut mata Aruna sempat melirik ke bawah sejenak, "Kau pimpinan divisi apa?" Kemudian netra coklat itu menghujam mata sendu milik laki-laki yang berdiri tegap.     

Si mungil sedikit mendongakkan kepala, karena sang lelaki beberapa senti lebih tinggi darinya. Perempuan ini menampakan tekad tersembunyi dari raut wajahnya.     

Vian sontak tersadarkan. Bukankah ia butuh berkomunikasi dengan korban, untuk mengungkap semua kejadian naas yang menerpa sang nona?!.      

Dapat di pastikan, tindakan nekat yang akan dia usung selepas detik ini. Bisa mendorongnya pada dua hasil yang bertolak belakang.     

Salah satunya, Vian bisa jadi akan di amuk pewaris tunggal Djoyodiningrat, ketika dirinya berani mewawancarai perempuan mungil bermata coklat, yang kini menatapnya penuh makna.      

Akan tetapi, nalurinya sebagai penyidik tak tertahankan lagi. Bagaimana jika dia pada akhirnya berhasil mengungkap tindak penganiayaan terhadap si korban? Bukankah ini sangat menarik?.     

Artinya, argumentasinya terkait sang korban harus berbicara, yang kemudian mendorong terjawabnya berbagai hipotesa. Bisa jadi akan menuju titik terang untuk kasus penganiayaan yang terbengkalai lama, karena kurang bukti. Vian tertantang mengambil langkah ini     

"Nona, saya Vian, pimpinan divisi penyidik internal.. Sebenarnya pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang berbau tragedi kekerasan atau semacamnya. Kami lebih sering menindak penyelewengan dana atau oknum yang melanggar prosedur operasional Djoyo Makmur Group," pria tersebut memperkenalkan diri sebaik mungkin.      

Dan detik berikutnya, ia menggerakkan tangannya. Merogoh handphone di dalam jaket bomber army yang ia kenakan.     

"Akan tetapi, beberapa minggu ini saya mendapatkan tugas mengungkap kasus anda," Vian menunjukkan olah TKP yang ia jalankan. Lelaki berhidung lancip dengan tatapan mata sendu tersebut, menghantam Aruna dengan ruang-ruang yang di sajikan mirip seperti tempat dirinya terkapar, bersimbah darah.      

Lelaki tersebut kembali memasukkan handphone kedalam saku baju, tatkala melihat istri Mahendra mengangkat telapak tangan kanannya kemudian mendekap dada.      

"Sayang sekali saya tidak di izinkan untuk mewawancarai anda. Pertemuan kita di sini seperti keberuntungan untuk ku, bisa jadi keberuntungan juga untuk anda. Apa saya boleh…"      

"Uuuh.. Alvin.. " kaki perempuan hamil tersebut bergetar. Dan ajudannya bergerak cepat merengkuh tubuh Aruna begitu juga yang dilakukan Vian.      

***     

_Aruna.._ lelaki tersebut membuka matanya. Akan tetapi pandangannya seolah masih kabur. Ada kabut hitam, apakah mungkin lampunya di padamkan?     

Namun, hidungnya bisa mencium harum seseorang, aroma sabun favorit istrinya. Bersama suara rintik shower yang hadir di ruang sebelah.      

Dia yang di hantam rasa pening di kepala, mencoba bangkit. Telapak tangannya menapaki tempat tidur, yang dia sadari sebagai ranjang asing.      

"Di mana ini?" dia begitu kesusahan untuk sekedar duduk. Lagi-lagi pening di kepalanya menghantam. Pria tersebut mencoba meraba kesadaran, "Aarhh.." sayang sekali ia tak sanggup menahan denyutan di kepala. Lalu tubuh itu roboh dan kembali bersandar di atas ranjang asing.     

Lelaki ini menyadari jas yang ia kenakan tak lagi membungkus dirinya. Ia berupaya memijat pelipisnya, berharap lekas membuka mata dengan benar. Sayang sekali, pria ini kalah oleh keadaan tubuhnya sendiri. Nafasnya, matanya, bahkan mungkin aliran darahnya telah melemah, menghantarkannya untuk tenggelam dalam tidur berikutnya.     

.     

.     

{Hen.. bangun}     

{Aku pengen jalan-jalan}     

{Bagaimana kalau kita pergi naik motor?}     

{Ada satu tempat yang belum kita kunjungi tahu..}     

{Kita belum mendatangi jembatan..}     

{Aku punya doa baru, doanya tentang Aku, kamu dan baby kita..}     

{Semoga aku dan baby kita selalu hadir di pelupuk matamu}     

{Ayolah hen.. bangun..}     

"Aaaargh.." pria ini coba membuka matanya. Merasakan ada bibir yang menyesapi lehernya. Lelaki yang masih terhantam rasa pening di kepala, berusaha keras menemukan kesadaran, tatkala menyadari seseorang berada di atas tubuhnya. Mencoba menarik hem yang ia kenakan.      

"Sayang? Kau kah itu?" suara ini membumbung timbul tenggelam. Mengelus rambut perempuan yang berada dalam bayang-bayang gelap. Mahendra samar-samar melihat piyama bermotif buah ceri. Baju tidur itu terbuka lebar, menyisakan penyangga dua buah lingkaran berwarna merah.      

Mahendra mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan benda yang masih tertutupi busa. Dan perempuan yang merasakan dirinya di sentuh tertangkap kian bersemangat. Ia merambat naik lebih ke atas dan mengungkung perut Hendra dengan kedua pahanya.      

Perempuan tersebut sedikit beringas, menarik baju Mahendra hingga butiran-butiran kancing baju tersebut luruh, terlepas dan tercecer berserakan. Hem yang di kenakan Hendra terbuka lebar. Kemudian perempuan itu meletakkan tangannya di dada pria yang matanya di penuhi kabut hitam, kepala pening bercampur baur dengan ruangan gelap.      

Mahendra menangkap salah satu telapak tangan yang memegangi dadanya. Pria itu berusaha mengangkat tubuhnya, lalu sang perempuan menyambutnya dengan melumat bibir Hendra. "Hei.. pelan sayang.. ada baby kita.." suara ini terdengar selepas lelaki bermata biru mendorong tubuh perempuan, yang mengecapnya secara berlebihan dan cenderung beringas.      

"Oh.. baby.." Mahendra meraba perut perempuan tersebut, "Baby??".     

Ada yang merasa dirinya terpanggil dengan sebutan sayang (Baby). Padahal pria yang meraba perut itu tengah mencari pemahaman.     

 _Kemana bayi di dalam perut istriku?_      

_Apa aku sedang mimpi buruk?_ Mahendra mengusung kedua tangannya, memeriksa perut yang harusnya mengembung. Akan tetapi yang terjadi malah di luar prediksi.      

Seolah tidak memahami kebingungan Mahendra, perempuan tersebut kembali melekatkan tubuhnya pada dada Hendra. Kemudian melesatkan lidah ke dalam bibir pria yang merasa dirinya sedang bermimpi buruk.      

Hendra mendapati rambutnya di cengkram kuat, dan bibirnya di dominasi dengan gerakan yang bukan istrinya. Rasa bibir Aruna tidak seperti ini. Perempuan mungil konsisten memberinya ritme lambat yang memabukkan. Bukannya mendominasi, hingga tak memberinya kesempatan untuk bernafas.      

Termasuk sentuhan di rambut. Istrinya punya gerakan yang konsisten. Menyisipkan jari-jari mungilnya ke sela-sela rambut, lalu mengelus nya seperti anak kucing. Bukan mencengkeramnya dengan kuat, di liputi nafsu.     

_perut Aruna harusnya mengembung?!_     

Setelah beberapa kali mencari pemahaman. Mahendra sekali lagi mencoba membuka lebar-lebar matanya. Ketika ia beradu pandang dengan perempuan yang berada di atas tubuhnya.      

"Bruak.." Mahendra membuat dorongan kasar, hingga tubuh Perempuan itu terpelanting jatuh di atas ranjang, sisi kanan tubuh mata biru terbaring.      

Netra yang ia lihat bukan milik perempuan bermata coklat, melainkan …. .…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.