Ciuman Pertama Aruna

III-213. Sepenanggungan



III-213. Sepenanggungan

0Matahari sudah menghilang. Ajudan yang menjaga nonanya bukan lagi terserang panik, dia sudah berada pada level ingin mengutuki dirinya.     

Alvin duduk pasrah, mulutnya lebih dari berbusa untuk membujuk istri tuannya supaya mau pulang. Kenyataan bukannya pulang, Aruna sudah mirip manekin yang duduk tenang di depan minimarket tersebut.     

"Aargh.. nona!" si ajudan sudah berada dalam mode emosi level paling tinggi. Tangannya di angkat, dia menunjukan jam pada pergelangan tangan, "Lihat! 19.00 dan dia masih di sana.."     

"Diam lah Alvin apa kamu tidak capek?" kalimat Aruna sangat santai.     

"Anda.. bagaimana bisa bicara seperti itu? Harusnya saya yang bertanya.. apa anda tidak capek??" Alvin menggeser kursinya supaya kian dekat dengan Aruna. "Apa anda tidak takut tuan datang ke rumah ayah, lalu anda tidak ada di sana,"     

Aruna menggeleng, "Dia pulang malam.. katanya ada jamuan penting,"     

"Pulang jam berapa? tuan Hendra,"      

"Kurang tahu.. tapi ku yakin sangat malam," jawab Aruna, "Minimarket tutup jam berapa?" Sambungnya.     

"Memangnya anda tidak tahu?" Alvin balik melempar pertanyaan.     

"Em.. entahlah,".     

"Mereka bisa menutup toko pukul 22.00 malam kemudian masih perlu membuat laporan harian.. mungkin sampai pukul 24.00," jawab Alvin dengan ekspresi meyakinkan nonanya.     

"Sungguh??" Aruna nampak tidak percaya.     

Alvin mengangguk mantap. Sok tahu, padahal ajudan ini sama dengan nonanya tidak tahu apa-apa sama sekali.     

"Coba kamu tanya deh.. masuk kedalam sebentar," perintah Aruna.     

Alvin bangkit membuka pintu minimarket dan suara serempak menyambutnya lagi, dan lagi,"Selamat datang, selamat berbelanja," sang ajudan menggaruk sudut lehernya, entah sudah seberapa sering dia mendengar sapaan yang sama seperti ini.     

Melihat Alvin kembali masuk ke dalam minimarket, secara spontan Kihrani mendekat padanya. Sejalan dengan meja kasirnya yang sepi.      

"Nona butuh sesuatu -kah?" tanya perempuan berambut hitam pekat penasaran.      

Alvin mengangguk, "Em.. dimana cari makan?" entah apa isi otak ajudan itu, dia menanyakan sesuatu di luar rencana.      

"Oh, keluarlah.. belok kiri.. jalan kaki bisa.."     

"Apa yang kamu maksud makanan di pinggir jalanan.. em Warteg?" (Rumah makan sederhana)     

"Emang kenapa?" tanya Kiki penasaran.     

"Dia hamil.. bayi mahal.. tidak bisa makan sembarangan.."      

"Ada bayi mahal.. macam begitu?" Kiki mengerutkan dahinya.      

"Ada.. lah.."     

"Aku tak punya rekomendasi rumah makan mewah dekat sini, untuk bayi mahal.." Polos sekali jawaban Kiki. Gadis ini benar-benar sedang berpikir keras mencari solusi, padahal sejujurnya dia sedang di bohongi Alvin.      

"Aku hanya bercanda.." Alvin tahu nonanya sangat fleksibel -karena dia sudah beli makan via aplikasi pesan online-. Masalahnya saat ini adalah, Aruna masih keras kepala ingin menunggu gadis berambut hitam pekat, yang tidak diketahui asal muasalnya.      

"..dan.. em.. ada yang lebih berbahaya dari makanan, nona punya sedikit masalah dengan kesehatannya.. ia tidak di izinkan terlalu lelah.. aku takut tuan kami tahu, nona berkeliaran sampai larut malam" Alvin menatap Kiki penuh harapan.      

"Apa kalian tidak bisa menemui ku besok saja?" ini ide Kiki.     

"Tuan kami punya jadwal penuh malam ini, tapi tak ada yang tahu bagaimana dengan besok.. Maka dari itu nona akan bertahan menemuimu selarut apapun kamu pulang," Alvin menatap Kiki.     

Gadis ini mengingat jelas bagaimana takutnya sang nona yang punya nama Aruna, atas kedatangan suaminya ketika mereka berada di dalam lift yang sama tempo hari.      

"Apa kamu tidak bisa mengatakan pada nona ku, Kalau kamu tidak tahu apa-apa tentang Thomas dan lain sebagainya,"     

"Apa maksudmu?" Ungkapan tidak setuju Kiki membumbung.     

Sekali lagi kasir di datangi oleh pembeli. Perempuan ini mundur kembali ke meja transaksi. Alvin tak mau melewatkan kesempatan ini, dia berjalan mendekat di antara pembeli yang tengah bertransaksi dengan Kihrani.      

"Kamu bisa pura-pura tidak tahu apapun, dan sepertinya kamu belum tentu bisa di percaya," Kiki menatap sinis pada Alvin.     

Kalimat Alvin konsisten penuh kecurigaan terhadap dirinya. Sambil mengarahkan belanjaan yang berserakan, Kiki mencoba untuk tetap bersabar terhadap tiap-tiap dugaan sang ajudan tersebut. Terlebih ia sedang bekerja. Kalau tidak, mungkin pemuda itu sudah mendapat pukulan seketika.      

".. nonaku akan pulang dengan aman dan nyaman. Tidak perlu khawatir seperti ini, kalau dia sakit. Terlebih ketahuan Tuan kami, bukan hanya nona yang akan kena marah habis-habisan, aku bisa di hajar sekalian," Alvin seolah menceritakan kondisinya yang serba salah detik ini.      

"Tapi aku tidak pernah berbohong," akhirnya Kiki menyelesaikan tugasnya melayani pembeli.      

"Kamu tidak punya bukti.. apa buktinya kamu mengenal Thomas?"     

"Aku bisa buktikan, kalau kalian pergi ke rumahku, kamu akan tahu barang-barang Thomas masih ada di rumahku,"     

"Masalahnya sekarang, kapan kamu akan pulang?"     

"Jam 9.."     

"Itu terlalu malam untuk nona, belum lagi kita tidak tahu kapan pulangnya tuan Hendra," Alvin sebenarnya lebih takut ketika ia tidak lagi di percaya oleh Mahendra.     

Ajudan ini sudah pernah di skors, dan di ancam akan di berhentikan secara tidak terhormat, ketika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan Hendra berikutnya.      

"Aku minta maaf.. ini pekerjaanku, dan aku masih butuh uang untuk bertahan hidup, aku tidak bisa ambil izin sembarangan," Kiki tahu arah pembicaraan Alvin sejak sore tadi.      

"Em.. Kihran.. apa kamu berkenan memberiku waktu malam ini, andai aku memberimu pekerjaan yang lebih baik?" suara Aruna menyela pembicaraan dua orang tersebut.     

"Nona.." Alvin terkejut bukan main saat membalik tubuhnya. Mereka berdua tidak sadar, Aruna sudah mengamati keduanya sejak beberapa saat lalu, ketika perdebatan terjadi.      

Pertanyaan Aruna tidak mendapatkan jawaban. Kiki masih kosong oleh perasaan aneh, dia menganggap ocehan perempuan mungil tersebut seperti candaan seorang teman.      

Sempat menatap Kiki sekilas, Aruna berjalan menuju teman sesama petugas kasir di meja transaksi. "Ada manager kalian di sini?" perempuan hamil mengajukan pertanyaan.     

Teman kerja Kiki mengangguk, ia menduga perempuan yang sedang bertanya kepadanya, bukan orang sembarangan. Dia bergegas keluar dari meja kasir dan segera menyusup ke dalam ruangan di balik display minimarket.      

Alvin ikut membuntuti Aruna, ketika istri tuanya pada akhirnya bertemu dengan manajer Kiki.     

.     

.     

"Kirani sudah banyak absen bulan ini, kalau dia izin lagi aku sudah tidak bisa menolongnya, karena bukan manusia yang mengoperasikan kedisiplinan. Jam kerja kita di hitung dengan mesin," Aruna mengangguk ringan mendengarkan penjelasan manajer Kiki.     

Perempuan mungil kini tertangkap merapikan sweater hangat yang membungkus separuh tubuhnya. Gerakan gulungan menawan, sambil menarik bibirnya, Aruna berkata dengan nada suara lembut, "Saya minta izin untuk mengambil karyawan anda, mungkin ini pernyataan pengunduran dirinya Jika ia mau,"     

"Nona apa maksud anda? Ini terlalu berlebihan karena kita tidak mengenalnya?!" Alvin mengusung intonasi naik turun, wujud ketidak-setujuan kepada Aruna.      

"Aku tidak bodoh Alvin," kalimat Aruna tiba-tiba menghantam. "Mari kita buktikan, ucapan gadis itu benar, ini nampak konyol di matamu. Tapi tidak bagi korban penganiayaan".     

Sejalan dengan kalimat Aruna, ada gadis berambut hitam pekat yang berjalan perlahan-lahan mendekati punggung nona muda tersebut. Wajahnya menampakkan kekosongan, ia tertegun dengan ucapan perempuan hamil tersebut. Seiring dengan langkahnya, sang perempuan mungil membalik tubuhnya mendekat ke arah Kiki.      

"Aku mau bukti kalau ucapanmu benar. Jika yang kamu ucapkan berupa fakta, aku akan memberi pekerjaan yang lebih layak, bahkan aku siap menjadikanmu orang terdekatku. Kalau memang kamu tak bisa menunjukkan bukti-bukti atas perkataanmu, aku akan bayar kompensasi. Karena kamu harus keluar dari pekerjaanmu" suara Aruna mendesah. Antara keberanian dan rasa resah terbalut jadi satu.     

Sejak ia duduk jadi patung di depan minimarket ini. Tidak ada yang tahu bahwa perempuan tersebut mengalami pergulatan batin yang hebat.     

Kihrani memacu pikiran di dalam otaknya dan rasa di dalam dadanya.     

Letupan neuron di otaknya menuntutnya untuk berpikir secara logis, bahwa perempuan di hadapannya sama sekali tak ada riwayat untuk bisa di percaya -seperti ucapan Alvin, ajudannya-.     

Namun sebagai sang korban penganiayaan, dan mengetahui ada orang yang bernasib sama dengannya -sepenanggungan dengan dirinya-. Alias tidak memiliki bukti untuk menuntut balas atas perbuatan buruk yang menimpanya, menuntut rasa dalam dadanya untuk percaya pada gadis berambut hitam pekat tersebut.      

Aruna tidak bisa mundur ke belakang, dia harus membuat keputusan demi melawan kebimbangannya sendiri. Sebab rasa sakit di punggung ketika tergeletak di bawah kursi dan meja ruangan itu masih membekas jelas.      

"Tunjukkan padaku kebenaran!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.