Ciuman Pertama Aruna

III-212. Anak Malang



III-212. Anak Malang

0"Bukan untuk menyambut pensiunnya tetua Wiryo atau di angkatnya saya sebagai pengganti.. tapi untuk istri saya yang banyak melewati kesulitan dan berjuang memastikan bayi kami tetap selamat.." kalimat ini sejalan dengan datangnya seseorang. Lelaki yang bahkan tanpa ragu membawa cerutu di ruangan ber-AC.     

Pembawa cerutu yang di ikuti beberapa orang di belakangnya menghentikan langkah. Pria berbaju putih bersih dengan sulam cendrawasih memikat terlukis di seputaran dadanya. Lelaki tersebut menyerahkan cerutunya pada salah satu anak buahnya, dia tampak sangat tertarik pada pria tinggi tegap di tengah ruangan yang sedang berdiri bersama putra tersembunyinya -putra yang seharusnya tidak di izinkan menampakkan diri-.     

Mahendra tahu dirinya di amati oleh Rio. Pria ini sangat bersemangat, berbeda dengan pemuda yang berdiri di sampingnya yang detik ini memilih mundur, dan kelihatan ingin pergi dengan gerak lambat.     

Bukan Hendra kalau pria ini tidak gila. Dia menghentikan niat larinya Gesang alias Juan -yang punya hubungan buruk dengan ayahnya-. Anak dari istri tidak sah selalu berada dalam bayang-bayang gelap. Tidak seharusnya dia punya keberanian untuk berada di tempatnya detik ini.     

Mata Rio memicing, membuat Hendra seperti nyala api kecil yang di tuang bahan bakar sehingga kian bersemangat, "Selamat datang tuan Rio.." semua orang menoleh pada Rio -yang kedatangannya di pesta ini sekedar sebagai pengamat kinerja putranya-.     

Hendra tersenyum lebar, "Oh' saya lanjutkan ya, jadi-" awal kalimat Hendra, sejalan dengan langkah cepat Gibran naik ke atas podium, "Hehe.." ada kekeh tawa menyebalkan khas Mahendra.     

Mata biru menemukan pemahaman baru yang dulu hanya ia duga tentang kendali besar Rio terhadap anak-anaknya.     

Para putra Rio di serang panik oleh kedatangan Ayah mereka. "Detik ini juga saya selaku presiden direktur baru, penerus Djoyodiningrat.. oh.. sorry.. sorry.. saya lupa sesuatu.. seharusnya tabu mengatakan Margaku di depan keluarga Diningrat.. kenapa jadi agak mirip ya.. nama marga kita?" ini bukan ungkapan sederhana, namun bentuk ejekan yang nyata.     

"Presdir please.. aku mohon lepaskan aku, presdir.." Juan berbisik, mengerut oleh tatapan ayahnya yang terlihat berapi-api -mengetahui dia dengan berani menampakkan dirinya-. Apa lagi terlihat berada di dekat cucu Wiryo.     

"Saya punya rencana kecil hari ini, di saat saya putuskan datang kemari. Diantaranya, berkenan berdialog langsung dengan siapa saja yang menginginkan bekerjasama, tentu.. termasuk kepada siapa pun yang terpukau pada Dream City.." Mahendra tidak tahu diri dengan mempromosikan DM construction.     

Konsep kota baru tersebut begitu di minati pemerintah daerah, akan tetapi perusahaan ini punya prosedur verifikasi yang cukup menyusahkan. Mereka seperti perusahaan yang tidak membutuhkan uang.     

Orang berpikir hal ini terkait strategi penjualan, pembatasan kerja sama membuat eksklusifitas DM construction kian gila harga sahamnya. Terlebih cara mereka merancang secara detail setiap proyek yang belum di miliki pesaing.     

Tak ada yang tahu di balik itu semua ada rencana sangat besar untuk kehidupan banyak orang, yang tentu saja menjaga visi misi serta value utama Djoyo Makmur Group.     

Mereka memverifikasi untuk mengurangi penggelapan dana dan lain sebagainya. Syarat dan ketentuan DM construction sangat terperinci dan anti mainstream. Mau rugi dan menganggap pembangunan ini sebagai bagian dari charity asalkan prosedur yang di ajukan, di penuhi secara sistematis.     

Bukan kah ini gila? Bagaimana sebuah perusahaan mampu merubah budaya dan menggeser peradaban dengan pembangunan yang di dasarkan dengan riset mendasar, terkait apa yang di butuhkan sebuah kota untuk hidup lebih baik? Apa yang di butuhkan sebuah komunitas untuk menghilangkan habit yang buruk?.     

Mata para pejabat public yang hadir detik ini sedang berhasrat melirik cucu Wiryo.     

Riswan sang pimpinan daerah pertama yang mampu menggoyahkan ke-kakuan Djoyo Makmur Group, terkait berkecimpungnya dalam bisnis yang melibatkan pemerintahan -sedang naik daun-.     

Di mata masyarakat umum, Riswan berhasil menjabat dengan baik, dan mampu meningkatkan indeks kebahagiaan yang bersumber dari tersedianya ruang terbuka umum yang mengesankan, serta berbagai fasilitas yang mendorong pertumbuhan ekonomi.     

Secara nyata indeks ini turut mengurangi tingkat kriminalitas, kecelakaan lalu-lintas dan berbagai indikator yang mempengaruhi stabilitas sebuah pemerintahan. Yang paling mengesankan dan sekaligus menjadi penggerak utama tingginya minat bekerjasama dengan DM construction ialah, karya mereka berhasil melejitkan karisma politik seorang Riswan yang selama ini dikenal sebagai pemimpin independent.     

Riswan masuk bursa calon pemimpin negara tahun depan -sangat mengejutkan-, elektabilitasnya lebih dari cukup menyingkirkan berbagai pesaing. Hendra sudah tahu sejak awal tentang target jangka panjang Riswan. (season I & II).     

Wajar jika ucapan Hendra hari ini menjelma menjadi hypnotis bagi pejabat yang hadir dalam pesta megah produk digital pertama Tarantula.     

Kalimatnya meruntuhkan tujuan utama acara ini di jalankan. Dan yang paling senang detik ini adalah Surya, ia merasa kalimat-kalimatnya sebelum datang ke tempat ini di dengar mahendra, -duga Surya-.     

Padahal Lelaki bermata biru punya tujuan yang jauh berbeda dengan sudut pandang Surya, dia sedang ingin berbuat kekacauan di saat Rio datang.     

"E.. Selamat malam," Gibran sudah berdiri di podium, dia sempat menyerobot mikrofon pembawa acara, dan bersiap membuat sambutan. Tak rela membiarkan ayahnya kian lama memperhatikan Mahendra. Rio punya cara marah yang mengerikan bahkan kepada anak-anaknya.     

"Oh, sepertinya.." Hendra mengangkat bahunya, -tanda dia tak lagi di ijinkan bicara, termasuk cara operator acara yang bergerak dan meminta mic Hendra secara sopan-. Dengan senyuman bangga sebab bisa membuat penyulut api pertama.     

Di podium Gibran sudah memulai pidatonya, akan tetapi Mahendra tidak melepas anak Rio yang lain. Juan di tarik dan duduk bersama mata biru pada sofa lebar di tengah-tengah ruangan. Di kelilingi ajudan-ajudannya dan paling mencengangkan bagi Rio adalah keberadaan Pay di sana.     

Rio tahu dia adalah pengawal kesayangan keluarga Barga, bahkan Pay juga menjadi bagian dari hidup Barga terkecil -yang kabarnya hilang-. Hadir pula Pengky, tapi Rio tidak mengenal orang tersebut.     

Pengky sejujurnya bukan menggetarkan Rio melainkan orang lain di sela-sela kerumunan, wakil Riswan yang masih di biarkan membumbung dengan jabatannya.     

Hendra mau orang sialan itu -wakil Riswan yang meminta Pengky menciptakan kecelakaan pada mobil tetua Wiryo- bersujud di hadapan Rio selepas acara dan menceritakan kebodohannya. Dapat di pastikan, hal tersebut akan menyulut gejolak di tubuh Tarantula.     

Ada sinyal yang sedang di kirim mata biru, terkait tertabuhnya benderang perang yang sesungguhnya. Ya, itulah rencana gila Mahendra dan entah sampai di mana dia akan bertindak, belum ada yang tahu.     

Mata Rio berpindah pada putranya di atas podium, lalu bergerak membelah kerumunan, dia memilih duduk di sudut sunyi paling belakang. Selayaknya sutradara sedang mengamati tiap adegan wayang-wayangnya.     

Hendra melebarkan senyumannya kala satu per satu para pebisnis dan beberapa kolegannya mendekat, selepas Gibran turun panggung kemudian berganti dengan music pop yang dinamis. Surya dengan sigap langsung menyambut mereka di bantu dengan Anantha, yang mulai aktif mempromosikan mainan barunya.     

Sofa yang kian padat membuat Surya dan Anantha memilih meja berbeda. Mereka juga di bantu oleh ajudan-ajudan Mahendra.     

.     

.     

"Anak malang..  kalau kamu tidak di terima keluargamu, pergilah ke keluargamu yang lain," Hendra memeluk Juan seolah bercanda.     

Anak ini mirip kucing yang baru di bentak tuannya, lalu bersembunyi di sudut ruang sempit supaya tidak mendapat bentakan lagi. Padahal tidak ada yang meneriaki dirinya, kecuali raut wajah ayahnya.     

"Lepaskan.. saya presdir.." Juan bersuara lemah.     

"Tawaranku bukan candaan, pulanglah ke rumah induk.. ada kakek tua yang kekurangan putra di sana," Mahendra tersenyum, dia mencoba menghibur Juan, sayangnya tiada guna, "Ada yang pernah berteriak padaku ingin mengatakan sesuatu kepada para dewan.. aku tak menyangka, ternyata nyalimu hanya segini??" Kembali mata biru berbisik. Juan hanya menatap mata Hendra lekat penuh harap.     

"Huuuh.." Hendra menghembuskan nafasnya, "..Pergilah aku tidak mau melihat seseorang tertekan olehku," dan Juan melangkah pergi menyusup dalam keramaian kemudian keluar ballroom.     

"Raka buntuti anak malang itu," Pinta mahendra.     

"Okey," Raka segera menyusul Langkah Juan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.