Ciuman Pertama Aruna

III-198. Argumentasi Terburuk



III-198. Argumentasi Terburuk

0"Hen.. kita ke rumah ayah malam ini?" Mahendra menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan Aruna.     

"Kita bersenang-senang malam ini,"     

.     

Keduanya menuruni tangga lalu kembali menaiki motor, Hendra memacunya cepat dan lagi-lagi berhenti di sebuah tempat yang tidak ada dalam prediksi Aruna.     

"Mau belanja?" tanya Aruna pada suaminya.     

"Iya," pria yang baru turun dari motor, Menoleh ke belakang menunggu istrinya berjalan lebih dekat kemudian mengatakan iya diiringi caranya membuat rengkuhan di pundak perempuan bertubuh mungil.     

***     

Gadis dengan motor matic nya berdiri di ujung jalan. Diam membeku menatap sebuah resto makanan kelas atas. Resto makanan yang menyajikan masakan tradisional berbahan dasar daging.     

Resto tersebut adalah pusat, dari beberapa cabang rumah makan dengan brand yang sama. Di sana, di dalam rumah makan itu ada seseorang yang membuatnya sangat benci dengan kata 'terima Kasih'.     

Gadis tersebut tidak sadar Kenapa dia bisa mengendarai motor hingga tepat ini. Mungkin intuisinya sebagai seorang anak yang ingin melihat sosok sang ibu, atau bisa jadi seorang gadis yang bekerja siang malam untuk keluarga sedang ingin melepas penat sejenak, mendapatkan pelukan seseorang yang di rindu diam-diam. Tanpa sadar mendorong gerak roda besinya berhenti di depan resto milik perempuan yang melahirkannya.     

~     

"Kihrani, anak ibu.. ibu memutuskan meninggalkan bapak," 6 tahun lalu saat Laila belum genap 4 tahun. Bahkan Kihrani baru saja menginjakkan kaki di SMA, saat bapak masih giat bekerja walaupun hanya sebagai pegawai pabrik borongan.     

Perempuan yang dikira hilang di luar negeri ketika bekerja sebagai tenaga kerja asing, ternyata sudah pulang jauh-jauh hari. Ibu hanya menemui Kihrani kala itu, dia -ibu Kihrani-  berkata terpaksa menikah dengan pria yang berstatus majikan ibunya.     

Ibunya berdalih, dia lelah hidup kekurangan. Lelah melihat masa depan anak-anaknya yang sepertinya bakal suram. dengan menikahi lagi, walaupun bukan menjadi istri pertama majikannya, ibu Kihrani yang mewariskan rambut hitam lebat maupun bulu mata lentik yakin pernikahannya dengan sang majikan adalah solusi untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana.     

Lalu tiap bulan perempuan tersebut menemui Kihrani, dan mengatakan kalimat yang sama di akhir perjumpaan "nak.. Terima kasih banyak, sudah merawat Riki dan Laila," Bersama amplop coklat berisikan uang, kadangkala Kirani merasa dirinya seolah dibayar untuk merawat Ricky dan Laila.     

Tapi semua itu belum seberapa, ada rasa pedih yang lain. Yang tak akan pernah bisa dimengerti dan dijelaskan. Hingga di tahun ketiga perlahan-lahan Bapak tahu juga. Dan perlahan-lahan Kihrani yang lulus SMA mengetahui yang dilakukan ibunya adalah pengkhianatan. Bukan perjuangan yang ia gembar-gemborkan.     

Bersama bapaknya yang pupus menatap masa depan. Kihrani memutuskan mengambil alih pemimpin keluarga sederhana tersebut. Kihrani merasa sudah saatnya mandiri, ia pada akhirnya mendapatkan pekerjaan.     

Kihrani tidak membenci ibunya yang menikah lagi, hidup ini adalah pilihan. Dia hanya benci cara ibunya meninggalkan adik-adiknya termasuk bapaknya. Kalau itu sudah 3 tahun, Sudah saatnya ibu yang hadir untuk mengakui semuanya di hadapan keluarga lamanya. Kenyataannya perempuan tersebut tidak mau bertemu keluarganya yang dulu. Dia berkilah ingin menatap masa depan dan tak mau menoleh ke belakang.     

Tidak ada yang salah, semua orang berhak meraih bahagianya. Tapi, tanggung jawab moral masa lalu harus di hadapi dan di selesaikan sebaik mungkin. Bukankah kepergian tanpa alasan tergolong jalan kejam. Sepahit apa pun, seseorang bakal berusaha sembuh. Dari pada tidak pernah di beritahu apa yang terjadi sesungguhnya, tinggal menunggu bom waktu yang siap meledak kapan saja.     

Padahal Laila dan Riki, dengan tulus mendoakan ibunya tiap malam. Mereka yang berpikir sang ibu hilang tak pernah sedikit pun menyurutkan cintai terhadap perempuan yang nyata-nyata meninggalkan keluarganya.     

Dari situ Kihrani membuat pemahaman sendiri, ucapan terima kasih yang terdengar tulus dari ibunya sekedar mantra basa-basi. Ucapan terima kasih tidak ada gunanya. Itu semua hanya kembang bibir saja. Ucapan terima kasih mengingatkannya pada luka lama antara anak dan ibunya.     

.     

Kihrani mungkin butuh satu tahap lagi, untuk tumbuh menjadi dewasa. Memahami ibunya yang tak akan pernah sanggup menatap mata anak-anaknya. Sudut pandang ibu jauh berbeda dengan sudut pandang anak yang belum pernah merasakan hamil dan melahirkan.     

.     

Dunia di isi orang-orang benar dan salah, tergantung kaca mata yang di gunakan untuk melihatnya. Sama seperti ungkapan; Tiap-tiap individu protagonis dalam posisi masing-masing.     

Kihrani masih terpaku di tempatnya.     

.     

[Halo, selamat siang, benar ini nomor Kihrani.. em.. Kiki?] Suara perempuan yang berintonasi formal menyapa telinga gadis berambut hitam, ia terbangun dari lamunannya.     

[Iya?] Kiki mengerutkan keningnya. Suara telepon dengan nada formal semacam ini ujung-ujungnya cenderung penipuan. Kihrani selalu punya dugaan standar atas setiap hal yang menyapa dirinya.     

[Kak Kihrani Selamat, kami membaca CV anda,] perempuan bersuara formal seolah didikte seseorang. [Kami tertarik dan siap merekrut anda sebagai karyawan]     

[Aku tidak pernah mengirimkan CV apa pun, akhir-akhir ini]     

[Seseorang mengirimkannya pada kami, em.. maksud saya ada yang merekomendasikan anda dan kami tertarik]     

[Aku tidak yakin, aku punya teman yang mau merekomendasikanku. Selain karena aku sudah bekerja, temanku rata-rata kuliah. Mana mungkin mereka memikirkan nasibku] ujar Kiki, [Ah sudahlah jangan basa-basi, kau penipu ya?]     

[Bukan begitu.. tapi..]     

[Bip] Kihrani mematikan handphonenya.     

.     

Panggilan ke 2 diabaikan.     

Panggilan ke 3 dimatikan.     

Panggilan berikutnya, nomor asing tersebut diblokir.     

.     

.     

"Vian, sorry.. temanmu sepertinya tidak butuh di bantu," ujar manajer hotel yang juga rekan Vian.     

.     

.     

Mahendra mendorong troli menuju display bahan makanan. Aruna yang berjalan mengiringinya menautkan tangan kanannya di lengan kiri lelaki bermata biru.     

Mahendra yang detik ini menggunakan sweter putih dengan bawahan celana krem, sejujurnya tampak standar dibanding kebiasaannya memilih outfit. Tapi bukan Hendra kalau dia tak menarik perhatian dengan mata birunya. Rambut kecokelatan dan dagu dipenuhi rambut tipis membuatnya terlihat lebih dewasa dari tampilannya secara umum.     

Pria tersebut meraih daging beku, mata birunya mengamati benda tersebut beberapa saat, "kita akan masak?" tanya Aruna.     

"Aku yang akan masak untuk istri ku," ujar Mahendra meletakkan benda yang ia pegang ke dalam troli.     

"apa yang bakal di masak Daddy untuk kita?" Aruna mengekor gerak langkah Mahendra yang terlihat lebih ahli berbelanja bahan makanan dari pada istrinya.     

"spageti," tegas Mahendra meraih sayuran di tangan, "dan salad," kembali pria tersebut berucap.     

"Hen.. apa aku boleh membeli itu.." telunjuk Aruna mengarah kepada box es krim.     

"Tunggu sebentar di sini dulu," Hendra mendapat panggilan di handphonenya. Pria tersebut bergerak menyingkir menjauh dari troli yang kini di pegang Aruna. Dia tidak sadar perempuannya mendorong troli mendekati box es krim di ujung sana. Es krim yang sudah di incar Aruna, sejak tadi.     

.     

.     

[Ada yang kamu temukan?] Mahendra to the point, menanyakan kepentingan Pradita meneleponnya.     

[Prediksi terburuk yang detik ini tengah berjalan, mobil itu menuju ke sana, -di hari yang sama] ucap Pradita. Dari semua hipotesis yang di buat Mahendra prediksi yang paling akhir yang sedang di aminkan Pradita. -Argumentasi terburuk Mahendra-.     

[Lalu?]     

[Kemungkinan salah satu penghuni rumah induk erat dengan pelaku,] mendengar ucapan Pradita, tangan kiri lelaki bermata biru tertangkap mengepal erat.     

[Dia benar-benar spy yang di kirim?] Tanya Mahendra sekali lagi.     

[Sayangnya iya.. kalau bukan, bagaimana bisa mobil itu menuju ke sana,] Jawab Pradita.     

[Tapi identitas nya belum terungkap, belum ada data mendetail. Raka meminta Sky kita yang di sana untuk menemukan wajahnya] kembali Pradita memberikan penjelasan     

[Kalian sudah memeriksa lift?]     

[Tentu saja sudah, sayangnya tidak ada satu pun yang bisa kita curigai,] kembali Pradita memberi penjelasan.     

[Bagaimana dengan kedatangan?] Mahendra mengutarakan segala kemungkinan di kepalanya.     

[Ah' mengapa aku tidak memikirkan ini, oke kami akan bekerja keras malam ini,] Pradita terdengar bersemangat di ujung sana. Pertanyaan sederhana Mahendra, mendorongnya bekerja semalaman. Lelaki berkacamata dan timnya memeriksa seluruh CCTV lift maupun tangga darurat yang mengarahkan lantai 5 gedung Djoyo Rizt Hotel.     

Bisa jadi tim Pradita mendapati wajah seseorang yang dapat dia padu padankan dengan wajah-wajah orang yang memanfaatkan lift untuk meninggalkan lantai 5 selepas kejadian.     

[Mulai besok, aku bakal turut serta berada di antara kalian,] ujar Mahendra.     

[Oh' iya.. baik,]     

.     

.     

______________     

Ciuman Pertama Aruna hanya ada di aplikasi W e b n o v e l. Jika pembaca membaca karya berikut di aplikasi lain artinya karya sedang di bajak. Mohon dukung penulis dengan membaca di aplikasi W e b n o v e l.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.