Ciuman Pertama Aruna

III-250. Lembah Paling Dasar



III-250. Lembah Paling Dasar

0"Anda sudah mengingatnya?"      

Mahendra seolah tak mendengar pertanyaan Vian, matanya masih mengembara menggali-gali memori, "Kode namanya berawalan dengan huruf D, bukankah itu artinya dia spesial?" Sebuah pertanyaan yang menggiring lawan bicaranya tertegun sejenak.     

"Oh' dia tidak hanya menerima eksperimen Brainwash. Tapi dia juga hasil produk, dari lantai D?!" kalimat Vian diucapkan dengan meletup-letup.      

"Iya.. dia.. Hehehe.." Hendra tertawa bahagia. Tawa yang cukup menggema syarat akan kebahagiaan.     

Sesaat kemudian tawanya mereda. Ia meraih gelas berisikan air pada meja makan lalu meneguknya, "Kita bisa menggunakan dia. Itu artinya, kita harus memburu D103 untuk mengambil Rolland kembali. Setelah itu, kita bisa gunakan untuk menghancurkan seluruh Tarantula. Ahh.. aku benar-benar tidak tahan ingin bekerja, dan kembali memimpin kalian" Tampaknya hanya Vian yang mampu memahami deretan kalimat Mahendra yang penuh tanda tanya ini.     

Seseorang yang memiliki kode D, adalah produk hasil eksperimen dari lantai D. Simbol yang memiliki arti khusus.      

"Selepas istriku memberiku izin kembali ke kantor.." pria yang tengah berbicara mulai awas, tatkala istrinya tertangkap sedang berjalan di ujung ruangan bersama Thomas. Keduanya tampak cerah dan mengumbar senyum hangat. Hal tersebut membuat Mahendra sedikit mencondongkan tubuhnya, ia mendekati Vian, "Kumpulan anak buah kita yang berkode E.." Kode E juga memiliki simbol khusus dalam penamaannya.     

Jika D mengusung makna khusus yang berarti produk lantai D. Maka E, ialah lambang dari para pemberi informasi mutakhir.      

"Dalam waktu dekat!" Mahendra menambahkan instruksi.     

"Baik" Vian mengangguk.     

"Hai sayang.. Sudah puas mengobrolnya?" Mahendra tertangkap membuka tangan kanannya untuk menerima kedatangan Aruna. Ya, lelaki tersebut bermaksud menangkap perempuan hamil kedalam pelukannya.      

Aruna mendekat dan didekap oleh Mahendra "Duduklah sayang!" ucapnya sembari menebar senyum tipis pada istrinya.      

"Di mana?" Aruna merasa heran bukan main. Entah apa maksud suaminya dengan memintanya duduk, ketika sebagian tubuhnya dipeluk. Mata Mahendra mengisyaratkan pangkuannya dan seketika senyumnya berubah, menjadi senyum menantang.      

Aruna tidak mengatakan apapun kecuali melirik tamu suaminya. Vian dan Thomas masih dihadapan mereka. "Aku tidak bisa melakukannya.." Si mungil bergerak mendekati telinga suaminya, "Tapi bisa.. ketika kau sudah mengusir mereka" Si perempuan hamil kini tahu cara merayu terbaru, hingga telinga Mahendra tampak memerah sesaat.      

"Hehe.. Okey" Lelaki bermata biru mengangguk-angguk, mengiyakan permintaan Istrinya.      

Akan tetapi.. di sudut ruangan, ketika Mahendra belum genap mengusir dua orang yang menjadi tamunya. Sebuah mata menatap si perempuan hamil dengan lekat. Tatapan Susi tak ubahnya isyarat tersendiri.     

Pinggul Aruna yang hampir menyentuh paha Mahendra, yang bahkan baru sempat menyesap harum baju di punggungnya, tiba-tiba berdiri lagi.     

Susi mendekat, membisikan sesuatu. Tak lama kemudian, Aruna membuat keputusan yang mencengangkan. "Lanjutkan dulu mengobrolnya. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan" senyum dari perempuan hamil terbang menyapa ekspresi wajah tak terima suaminya.      

"Hai.. ayolah.." kalimat ini diucapkan supaya Mahendra tak lagi menunjukkan tanda keberatan.      

Dengan meninggalkan 3 orang di meja makan. Aruna berjalan menemui 2 orang yang sudah menunggunya. Diam-diam di rumah ini, kedatangan lelaki dengan tubuh atletis. Seseorang yang sehari sebelumnya ia temui duduk di depan pintu kamar rawat inap Anna.      

"Kenapa opa Wiryo ingin menemuiku?" Aruna tersulut rasa penasaran.      

"Akan saya jelaskan di perjalanan" si tubuh atletis tersebut menggiring nonanya untuk keluar dari rumah induk. Ia mengusung langkah kaki tergesa-gesa.      

Tepat di depan pintu utama rumah induk terbuka, Aruna sempat membalik tubuhnya sebelum memasuki pintu mobil hitam legam yang terparkir dihadapannya. "Susi, kau bisa mencari alasan supaya hendra tidak mencariku?"     

"Tentu nona" jawab Susi, dan Aruna mengangguk. Sesungguhnya, anggukan ini adalah tindakan Aruna untuk meyakinkan dirinya sendiri.      

.     

.     

Masih di meja makan, Mahendra memutuskan menahan kepergian Vian.     

"Langkah awal yang perlu kita lakukan adalah, membekuk Nugraha. Aku yakin, pesta kemarin berhasil menakuti-nakutinya. Kau masih menyimpan cek -nya?" Suara Mahendra memberikan instruksi, sekaligus meminta konfirmasi.      

"Cek?" _Apa lagi ini?_ tiap kali Mahendra berbicara, Vian harus berkonsentrasi penuh supaya mampu mengikuti narasi Presdir yang melompat dari satu kejadian, menuju kejadian yang lain.      

"Aku menghancurkan ruang kerja Vian.. aku.." Thomas harusnya diam. Akan tetapi, dia mengingat cek yang disebutkan Mahendra.     

Cek suap Nugraha kepada Riswan agar setuju menghentikan pembangunan Dream City. Sialnya, walikota tersebut malah menyerahkan cek itu kepada Djoyo Makmur group.     

"..Aku minta maaf, kalau.." tampak helaan nafas pelan dari Thomas "Hampir semuanya hancur berantakan. Namun, bukti-bukti penting selalu tersimpan di dalam brangkas" Vian menepuk punggung Thom, mengisyaratkan supaya ia tak begitu larut dalam rasa bersalahnya.      

"Cari sampai dapat!" Hendra mulai tertangkap memasang wajah tak jenak.      

"Kami akan menjalankan semua yang anda perintahkan" ucapan Vian seolah memberi penghiburan bagi hati pria yang dingin tersebut.     

Detik berikutnya, Mahendra menatap Thomas lebih lekat. Tatapan yang dalam dan sedikit menghujam.      

Thomas menelan salivanya. Penentuan nasibnya ada di detik kritis ini. Dia bahkan merasa bingung harus berekspresi bagaimana. Apakah membalas tatapan mahendra, atau membuat permohonan. Bibirnya kelu, dan netra hitam tersebut memilih untuk menghindari lekatnya tatapan Mahendra yang tengah menghujamkan pandangan.      

"Jika kamu menginginkan tempatmu yang dulu, itu mustahil" kalimat Mahendra yang ditunggu dua pria di hadapannya terdengar sangat nyaring. Sebab, kedua lawan bicaranya memilih terbungkam demi memastikan apa keputusan sang Presdir.      

"Merangkaklah dari lembah paling dasar.." ujar mahendra berikutnya "Aku tahu, kau bukan orang yang punya niat buruk. Kau hanya kurang hati-hati" setelah bermonolog, tampak ada kerutan wajah dengan senyum yang aneh ditunjukan Mahendra.     

Tidak ada yang tahu kerutan ini timbul disebabkan karena ia juga sempat terjebak oleh perempuan yang sama.     

"Membiarkan kompetensimu ikut terkubur di ruang putih, nampaknya akan merugikan Djoyo Makmur group itu sendiri.." yang tengah bersuara membuat ketukan pada meja. Jari telunjuk tangan kanan Mahendra menyajikan ritme tersendiri, "Pergi -pun, akan merugikan.." di sela ritme ketukan ada yang bergumam.     

Dan ketika jari tersebut berhenti. Mahendra mengutarakan keputusannya "Okey! Yang paling dasar adalah menjadi supir. Jadi supir pribadiku"      

"Huuhh.." hembusan nafas lega dari Thomas. Seolah terbebas dari tekanan yang menghimpitnya, selama menunggu keputusan dari Mahendra.      

Dia lebih takut jika diusir, atau disuruh meninggalkan negara ini. Entah dari mana datangnya, ruang putih seolah mengajarkannya menghargai keluarga.     

Keluarga besar yang memberinya kehidupan, dan keluarga tersebut adalah Djoyo Makmur Group. Semua hal di bawah naungan keluarga Djoyodiningrat.      

"Tuan, itu keterlaluan. Anda tahu-kan??" nada bicara Vian meninggi, "..Kapasitas Thom, tidak layak disetarakan dengan sopir. Dia bisa menjadi karyawan biasa di kantor-kantor.."     

"Vian.." Thom menarik tangan Vian yang berapi-api, bergerak mengikuti intrupsi-intrupsi tanda protesnya.      

"Kau lupa, ada berapa banyak berkas penting yang hancur? Dan, pengeluaran untuk membangun runtuhnya ruang kerjamu?. Bukankah dulu, kau sendiri yang bersumpah akan memburu pelaku dan tidak akan memberinya ampun??" Hendra sekedar mengembalikan kalimat-kalimat Vian yang pernah diucapkan untuknya.     

"Keputusanku sudah tepat. Pelanggar aturan tetap dihukum. Ini mengajarkan kepada generasi penerus kalian. Siapapun yang berbuat salah, akan berakhir seperti Thom" keputusan final yang diucapkan dengan enteng oleh seorang Presdir.      

Dan Vian terbungkam.     

***     

Semburat merah di ufuk barat, menyapa angkasa. Mobil yang membawa nona muda keluarga Djoyodiningrat, seperti kuda besi yang dikejar angin. Melesat cepat guna memburu waktu. Kepergiannya dari rumah induk tidak diizinkan berlama-lama. Sebab, perempuan ini semacam jimat yang mengelilingi kehidupan suaminya.      

Sekali Mahendra menyadari Aruna pergi terlalu jauh darinya tanpa adanya alasan yang jelas. Lelaki bermata biru akan mencarinya ke penjuru tempat, dan membuat kekacauan.     

Aruna sempat menatap kedepan, ketika pada akhirnya kendaraan yang ia tumpangi menuju ke sebuah klinik. Terdengar decitan suara ban mobil yang bergesekan dengan permukaan jalan, di plataran klinik yang memajang nama Dr. Diana, Sp.Kj.      

"Em.. siapa yang sakit?" tanya Aruna, sebelum menyambut cara Alvin membukakan pintu untuknya.      

"Anna.." dia yang mendapatkan jawaban terbungkam.     

Sesaat kemudian bergerak turun dari mobil hitam legam. Kedatangannya disambut seseorang yang cukup familiar, Dr. Tio tersenyum kepadanya.      

"Bagaimana kabar anda, nona?" Dokter berkacamata tersebut tersenyum jenaka, dan cenderung penasaran dengan perubahan tubuh Aruna, "Wao.. akhirnya mas Hendra berhasil uji nyali" gumaman itu menyusup di telinga Aruna.      

_Uji nyali??_     

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak. So, tambahkan ke daftar pustaka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.