Ciuman Pertama Aruna

III-258. Resep Bahagia



III-258. Resep Bahagia

0"Ayolah.. sayang.. hehe.." Cukup puas Aruna memasang senyum manis yang terkesan menjengkelkan bagi Mahendra.      

Perempuan hamil tersebut bahkan tertangkap berupaya mendorong tubuh pria yang tengah membeku. Sungguh tidak masuk akal, jika seseorang yang tergolong mungil mampu menggeser gerak langkah lelaki dengan perawakan besar.      

Dirasa usaha tersebut sia-sia, dengan sedikit jengkel Aruna berjalan mendahului Mahendra "Ya sudah, aku duluan!"      

Aruna memasuki pintu gerbong dengan papan yang terpasang di sisi sampingnya bertuliskan angka 2.     

Dengan muka tertekuk dan sempat berkacak pinggang, Mahendra dengan sangat terpaksa mendekati pintu gerbong kereta yang akan segera berangkat.      

Di saat kakinya memijak bagian dalam kereta, lelaki bermata biru sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya seseorang mendorong tubuhnya dari belakang, berharap dia lekas bergerak.     

Tampak beberapa penumpang lain yang mengantri di belakangnya untuk menaiki moda transportasi jarak jauh tersebut.      

Hendra yang tergugah, dengan segera melangkahkan kakinya.     

Beberapa saat dia mengamati keadaan di dalam kereta, dan Mahendra baru menyadari bahwa istrinya sedang menjahili dirinya habis-habisan.     

Kereta tersebut bersih, rapi dan wangi. Petugas KAI bahkan setia berjaga di tepian pintu gerbong kereta api, tatkala para penumpang naik. Dia juga tidak menemukan pedagang asongan, pengamen atau tukang bersih keliling yang dibicarakan Aruna.      

"Huuhh.." Helaan nafas lega terbit dari lelaki bermata biru.     

Tak lama kemudian dia bergegas mencari dimana letak kursi 8D dan 8E. Disaat Mahendra menemukan tempat duduk tersebut, tampak perempuan bermata coklat duduk disana sambil tersenyum, menyebalkan.      

"Tuan muda silahkan duduk," gurauan Aruna terdengar tak lucu di telinga Mahendra. Dia yang jengkel melepaskan ransel dari punggungnya lalu menghamburkan benda tersebut ke dalam bagasi, di atas kursi penumpang.      

"Tasku sekalian," pinta si mungil dengan ringan dan dibalas dengan mata tajam menghujam, tanda kesal yang membakar dada.     

Pria yang lahir dari keluarga dengan latar belakang ekonomi jauh diatas rata-rata, sangat tidak mudah hidup dengan cara umum. Hanya dengan membayangkan hal-hal normal, semacam berdesakan naik angkutan umum, terlebih lagi membawa istrinya yang tengah hamil. Sungguh tidak terlintas di pikiran Mahendra.      

Aruna benar-benar tidak lucu kali ini, demikian isi kepala Mahendra. Sejalan dengan gerakan yang terkesan merampas tas selempang milik istrinya, lalu menyelipkan ke dalam bagasi.      

"Kamu! sekali lagi membuat candaan semacam ini, jangan harap aku akan mengikuti kemauanmu!" dia yang sedang marah, bergerak duduk dengan memalingkan wajahnya. Ada kobaran api di dada.      

Mata perempuan mungil menyipit. Wajah manisnya tak di tengok sama sekali oleh sang lelaki, padahal Aruna dengan lembut mengelus-elus ringan kepalanya pada lengan Mahendra.     

Mahendra yang sejujurnya sedang penasaran, akan tetapi terlalu gengsi untuk mengungkapkan isi dalam pikirannya.      

Dia yang dilanda penasaran mulai bertanya-tanya, apakah kereta yang mereka naiki benar-benar kelas ekonomi? Cukup aneh, ketika apa yang di tangkap matanya sangat jauh dari bayangan yang sempat tercipta pada benak.      

Kereta ini menyajikan sepasang kursi beriringan pada sisi kanan dan kiri di setiap gerbong kereta, dan semua tempat duduknya menghadap ke satu arah. Dimana tiap-tiap kursinya sudah dilengkapi dengan pengaturan sudut punggung, menjadikan penumpang bisa dengan leluasa mengatur posisi nyaman ketika duduk.     

Kursi yang bisa diubah sedikit terbuka ke belakang, memudahkan bagi siapapun yang menginginkan istirahat. Penumpang tinggal menciptakan sudut yang lebih lebar pada sandaran kursi, kemudian meletakan kaki mereka ke penyangga yang telah tersaji tepat pada bagian bawah kursi di depannya.      

Sungguh menguntungkan bagi penumpang jarak jauh yang harus menempuh perjalanan panjang.      

Hendra menatap Kondektur[1] yang berkeliling, memastikan penumpang telah duduk nyaman. Para petugas tersebut terlihat sedang mengamati tata letak barang bawaan penumpang yang diletakkan di bagasi bagian atas.      

Pemahaman yang tersulam di kepala lelaki bermata biru tentang kondisi moda transportasi yang ternyata tak seburuk pikirannya, mendorong senyum kecil di bibir.      

Mahendra membalik tubuhnya, berkenan mengamati istrinya yang kini mulai bersiap untuk tidur. Pria tersebut menjulurkan tangannya, menyentuh pipi perempuan dan mulai menotol-notolnya beberapa kali.     

"Apa?" suaranya terdengar sedikit malas.      

"Kereta ini bukan kelas ekonomi? benar -kan? kau pandai sekali berbohong," dia yang bersuara masih menyimpan rasa jengkel.      

"Aku tidak pernah berbohong, tuan muda," Aruna membuka matanya, "ini abad 21, isi kepala anda yang terlalu paranoid,"      

"Anda berani menghina suami anda, nona?" Hendra ikut-ikutan merubah gaya bahasanya.      

"Tolong disebutkan, dari sudut mana aku menghina suamiku?" dia yang tidak jadi tertidur, tertarik meladeni ucapan suaminya.      

"Em.." Mahendra yang diminta memberikan penjabaran kebingungan sendiri.      

"Anda pasti membayangkan kereta ekonomi itu kotor dan bau. Banyak hal telah berubah, bahkan yang ada di kepala anda sudah lenyap lebih dari 5 tahun yang lalu. Jangan anda pikir yang kian modern dan berkembang hanya perusahaan anda tuan muda, sampai-sampai anda lupa menapaki bumi," sindiran kali ini lebih panjang.      

"Aku menapaki bumi? Lihat, kakiku di lantai?!" jawaban konyol dari lelaki bermata biru. Entah sengaja atau tidak, dia membalas sindiran dari Aruna.      

"Dasar!" Aruna memukul bahu pria yang enggan menerima kenyataan, bahwa dirinya ketinggalan beberapa hal terkait perubahan-perubahan sosial masyarakat yang ada disekitarnya.      

Andai Mahendra tahu tujuan yang disembunyikan oleh perempuan hamil di dasar hatinya. Detik ini juga, dia akan mampu mendebat apapun yang keluar dari mulut istrinya.      

Tapi, bukankah pembelajaran terbaik dengan cara mengalami, bukan dengan digurui? Maka dari itu, Aruna membiarkan saja lelakinya yang lahir dan hidup serba kecukupan tersebut untuk menemukan sendiri tujuan dari tiap-tiap permintaannya.      

Aruna mengharapkan Mahendra memperbesar rasa syukurnya, dengan diberi kesempatan berjalan-jalan sesuai ide yang dikehendaki istrinya. Dan tentu saja, perempuan ini tak akan pernah menyia-nyiakannya kesempatan tersebut.     

Sepanjang dia mengenal Mahendra, pria tersebut tak pernah terlepas dari pengawasan para ajudannya, atau minimal Surya sebagai sekretarisnya dulu.      

Selebihnya, sekelompok orang akan silih berganti mengekor jalannya. Kemewahan selalu meliputi dirinya, baik outfit, mobil, hingga makanan sekalipun. Segala hal terkait Mahendra lebih dari cukup untuk mendominasi simbol keberuntungan.      

Sayangnya, Aruna sering kali melihat Mahendra merasa tidak bahagia. Bukan hanya suaminya, seluruh penghuni rumah induk pun sama. Mereka tertangkap seringkali kesulitan menemukan rasa bahagia yang sebenarnya memiliki resep sederhana, yakni berkenan untuk senantiasa membandingkan kenikmatan duniawi yang dirasakan, dengan seseorang yang secara duniawi berada jauh dibawah kita.     

"Hendra," perempuan yang tak jadi tertidur, menepuk ringan lengan suaminya "Lihatlah, orang yang dibawah" Tunjuknya, sembari mengamati sesuatu di luar jendela.      

Kereta api mulai merambati jalurnya secara perlahan dan kian cepat, tapi bukan kecepatan tinggi khas kereta api ekspres. Hal inilah yang paling Aruna sukai dari kelas standar. Dia masih bisa menikmati jalanan di luar kereta api dengan baik, dan panorama di luar jendela menyajikan sesuatu yang berbeda dari pada kereta api ekspres.      

"Yang mana, sayang?" Pria tersebut merundukkan tubuhnya, mengamati sesuatu di luar jendela.      

"Itu, tu.." Aruna mengangkat telunjuknya, kemudian mengarahkan jari tersebut kearah yang lebih tepat.     

"Naik sepeda? Kenapa aku harus melihatnya?" Ujar Mahendra setelah merasa apa yang dia amati tepat sesuai arahan istrinya.       

Seorang laki-laki dewasa mengayuh sepeda membawa lelaki yang lebih muda duduk di bagian belakang. Sepedanya terlihat biasa akan tetapi senyum cerah, sangat kontras untuk dinikmati. Sebuah kantong yang dibawa lelaki kecil di belakang, menandakan mungkin saja mereka baru berbelanja.      

"Entahlah, aku hanya ingin kamu melihat ekspresi wajahnya," Aruna melirik mata suaminya, sebelum kembali mengamati jendela. Menangkap tiap-tiap panorama yang di sajikan jendela kereta api.     

"Hanya begitu saja," Tanya Mahendra.      

"Ya.. begitu saja.." Si mungil menjawab seadanya, sesuai apa yang ia utarakan.      

Mahendra mengerutkan alisnya, sedikit bingung dengan perintah istrinya. Dia menggaruk sudut leher yang tidak terasa gatal.      

"Hendra.. Hendra.." Aruna lagi-lagi menepuk bahu suaminya.      

"Apalagi sekarang??" jawab Mahendra, sembari melihat ujung jari telunjuk istrinya yang mengetuk-ngetuk kaca jendela.      

"Perhatikan rumah-rumah yang berjajar," suara Aruna memerintah lawan bicaranya, dan pria itu menuruti begitu saja. Tak lama kemudian, alisnya kembali tertaut.      

"Rumah, kumuh?,"      

"Ya.. rumah kumuh," kembali perempuan itu melirik mata Mahendra. Sebelum senyum kecil terbang, dan mengizinkan suaminya duduk kembali di tempatnya dengan tenang.      

"?" Mahendra mengerjapkan matanya beberapa kali.      

"Ya.. hanya rumah kumuh," suara ini ringan hampir tak terdengar.      

"Kenapa kamu memintaku melihatnya??" Sungguh Mahendra tak mengerti dengan pola pikir Aruna.      

"Sebab dengan cara itu, aku akan mendidik anak-anakku untuk tidak meremehkan nikmat Tuhan. Selagi ada kesempatan, aku sedang berusaha mengenalkan cara didikku terlebih dahulu pada Daddy-nya," suaranya penuh penekanan, bermaksud lawan bicaranya dapat memahami apa yang ia sampaikan.      

Ada tubuh seseorang yang berputar 180 derajat demi mengamati tubuh perempuan mungil dengan perut yang lambat laun, perlahan-lahan nampak besar.     

.     

.     

[1] Kondektur: adalah setiap pegawai kereta api yang bertanggung jawab dalam tugas operasi dan keselamatan yang tidak melibatkan operasi yang sebenarnya dari kereta. Pekerjaan kondektur merupakan pekerjaan transportasi rel yang hampir ada di seluruh dunia. Di negara-negara persemakmuran Inggris, kondektur hanya bertugas menjual tiket.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.