Ciuman Pertama Aruna

III-264. Jaket Hitam



III-264. Jaket Hitam

0Aruna baru saja menggeliat, yang spontan mampu mendorong bangunannya seseorang. Tentu saja orang tersebut adalah Mahendra. Pria yang buru-buru mengamati kondisi istrinya.     

Siapa pun tidak akan pernah mengerti, bagaimana dia selalu mensyukuri keberadaan perempuan yang berstatus istrinya.      

Istrinya segala-galanya, demikian degup jantungnya mengimani. Bukan sekedar janin yang dibawa perempuan tersebut yang mampu memberi dorongan magis naluriah perihal, bagaimana menjadi seorang pendamping terbaik. Akan tetapi, perjalanan hidup yang ditawarkan Aruna -lah yang membuat Hendra terdorong untuk selalu berusaha mensyukuri keadaannya.      

Ikatan suami istri dan rasa berbesar hati yang ditunjukkan Aruna adalah hal yang menjadi perenungan lelaki bermata biru, akhir-akhir ini. Perjalanan yang diawali dengan tanda tanya penuh di kepala Mahendra, sejauh ini belum mampu dia uraikan maknanya.      

Walaupun Aruna tidak memberinya penjelasan, atau tanda-tanda mencurigakan. Mahendra tahu, kereta yang membutuhkan waktu tempuh panjang merupakan potongan puzzle yang menyimpan makna tersirat.     

Gerakan lirih Aruna kini berubah menjadi mata terbuka, kemudian menatap lekat-lekat pria yang memperhatikan dirinya.      

"Sudah bangun, sayang?" pria tersebut lekas mengatur sudut sandaran di punggungnya, ketika pada akhirnya dia memperhatikan gelagat istrinya yang mulai melepas jaket yang membungkus tubuh.     

"Aku merasa perutku hangat," Aruna menegakkan punggungnya. Tangan perempuan tersebut bergerak, mengelus-elus permukaan menggembung.      

"Aku sempat memberimu minyak di perut," Netra coklat tersebut mengerjap, menghunuskan kerutan dahi ke arah suaminya.      

"Kamu melakukannya lagi?" Dia yang diajak Aruna bicara sekedar mengangkat bahunya.      

"Sudah aku bilang, kita saat ini berada di kereta. Ruang fasilitas terbuka. Bukan kamar kita!" Sesaat, setelah memperingatkan Mahendra, Aruna berdiri. Tangannya menarik ringan ujung kaos suaminya "Hen, aku ingin jalan-jalan"      

"Makan dulu, sayang," matahari menampakkan keperkasaannya. Hal tersebut di tandakan dengan jendela kereta api yang mengkilat karena terpaan cahaya sang surya. Di luar pasti sedang setengah hari, berbeda dengan langit tadi pagi yang mereka tinggalkan.      

"Aku ingin makan nasi, maka dari itu, ayo kita jalan-jalan," Aruna mengutarakan keinginannya, sekaligus memberi penawaran. Sesaat, tangannya menarik lengan suaminya.      

"Kita masih di jalan. Kereta ini, masih berjalan," Dia tak bergeming, tetap pada kursinya.      

Tawa kecil dari bibir Aruna terdengar "Kau pasti belum pernah melihat resto, di dalam gerbong kereta ekonomi. "Ah' aku lupa. Kamu -kan, tidak pernah naik kereta," dia yang bicara mulai berjalan, sebab suaminya memilih mengalah, berdiri mengikuti keinginan istrinya.     

"Baru kali ini, aku merasa lebih cerdas darimu!" perempuan yang memimpin langkah kaki keduanya tampak sangat berbangga.      

Dia yang bertubuh mungil, menyusuri lorong tiap gerbong kereta api dengan diikuti pria yang tinggi badannya mengakibatkan dirinya harus merunduk tatkala keluar dari pintu gerbong, kemudian memasuki pintu gerbong berikutnya.      

Langkah kaki tersebut terhenti pada gerbong paling tengah "Kita sudah sampai," mata perempuan menyipit.      

Keduanya melewati satu meja yang terisi pria terbatuk-batuk dengan tubuh dibalut jaket hitam, termasuk kupluk.      

Mahendra tertangkap memalingkan wajahnya.     

Pria yang batuk tersebut tampak tersiksa. Ia terlihat layaknya seorang pemalu, merundukkan tubuhnya dan buru-buru berdiri. Sampai-sampai kuah mie di dalam gelas yang dia pegang tumpah tersenggol tas selempangnya sendiri.     

Bukannya minta maaf kepada petugas yang tengah menatap kuah tumpah, yang melumuri seluruh meja. Pria itu pergi begitu saja. Dia mengusung langkah cepat.     

Perhatian Mahendra masih tertuju kepada pria jaket hitam tersebut. Bahkan ketika dia (si jaket hitam) mulai tampak menjauh dari pandangan lelaki bermata biru.      

Entah mengapa, Mahendra merasa ingin sekali berlari memburunya. Ada insting yang  mengusik tubuhnya. Sayangnya, tangan mungil Aruna terus memintanya bergerak supaya tidak berhenti mengikuti langkah kakinya.      

Aruna memilih sebuah tempat duduk yang sangat dekat dengan pantry kereta api. Beberapa menu makanan menjadi background ruangan yang digunakan untuk menyimpan makanan yang siap dihidangkan beserta peralatannya tersebut     

"Pesankan aku secangkir susu hangat, dan em.." tubuh Aruna berputar 90 derajat. Matanya jatuh mengamati background pantry.      

"Nasi goreng, boleh! " ujar si mungil dengan netra coklat.      

Mahendra berdiri, sedikit kurang fokus ia menyampaikan keinginan istrinya kepada waitress.      

"Ada lagi?" Kalimat tanya ini berasal dari waitress. Mahendra menatap sejenak menu di belakang meja kasir sederhana tersebut.      

Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya berbalik, mendekati istrinya. Ia mengeluarkan sebuah dompet dari dalam saku celananya, "Sayang, kamu bisa makan sendiri, dulu -kan?"      

"Mau kemana??" pertanyaan Aruna, detik berikutnya perempuan mungil tersebut terperangah melihat suaminya seolah akan meninggalkan dirinya.      

Benar dugaan Aruna, lelaki tersebut mencium ubun-ubun perempuan hamil. Kemudian memacu langkah cepat, pergi menuju arah mereka datang tadi.      

Mata Aruna masih mengerjap seolah tidak percaya apa yang ia lihat. Mahendra benar-benar meninggalkan dirinya. Seperti seseorang yang sedang memburu sesuatu, pria itu bukan cuma berjalan cepat.     

Ketika perempuan hamil berdiri, membayar makanannya. Ia melihat punggung suaminya yang berlari kemudian perlahan-lahan menghilang.      

***     

"Apakah bajuku sudah bagus?" Ini kalimat yang menggelitik perut seseorang. Beberapa kali gadis berambut hitam panjang tampak memutar tubuhnya di hadapan cermin retak.      

Memperhatikan penampilannya pada permukaan benda licin yang dapat menciptakan pantulan bayangan dirinya, yang menempel pada almari kayu kusam. Tampak, beberapa bagian yang retak tersamarkan dengan lakban bening. Sungguh kreatif.      

Karena tidak mendapatkan jawaban, gadis tersebut menoleh, memandang pria yang -sebenarnya- tengah mengamati pilihan bajunya.      

"Mengapa kamu diam saja?" Kiki bertanya pada Thomas.      

"Apa kamu tidak punya baju lain, selain seragam kerjamu yang dulu?" Mendengar pernyataan ini, Kiki menarik bibirnya lurus. Ada guratan cemberut yang ia sajikan.      

"Ada. Akan tetapi, aku merasa tak harus memakainya," kilah Kiki.      

"Apa kau yakin, kau merasa sempurna menggunakan seragam tersebut?" sebenarnya ini kalimat ketidaksetujuan Thomas terhadap Kiki yang mengenakan baju seragam minimarket tempatnya bekerja dulu.     

Pria tersebut memang sedikit halus dalam hal menyampaikan pendapatnya. Dia tetaplah seseorang yang pandai berkomunikasi dengan lawan bicaranya.      

Detik berikutnya, Kiki menyusup ke dalam kamarnya. Pintunya ia tutup sempurna. Sebelum akhirnya perempuan tersebut keluar dengan baju yang amat berbeda, lebih tepatnya demikian mempesona.      

Tanpa diduga lelaki dengan rambut yang terikat ke belakang, lekas berdiri "Ini yang terbaik," ujar Thom mengacungkan jempolnya.      

Anehnya, Kiki enggan bercermin lagi. Gadis tersebut lekas meraih tas selempang. Langkahnya terlihat menuju pintu keluar.      

Thomas mengikutinya dari belakang, "Apa kamu sangat percaya denganku?" kalimat Thom, mengiringi gerakan Kiki menutup pintu. Kemudian sebuah kunci diputar, setelah gembok menggantung pada pengait yang ada pada benda yang berbentuk persegi panjang dengan model sederhana tersebut.      

"Aku tahu, baju ini bagus, dan mahal," Suara Kiki menanggapi pertanyaan Thom.     

Keduanya berjalan mendekati mobil hitam yang terparkir pada pelataran rumah gadis tersebut.      

"Memang kelihatan sangat bagus. Kalau aku tidak tahu kamu seorang pemarah, mungkin aku akan jatuh cinta padamu," ada kekeh tawa yang terbang dari mulut Thom.      

Kiki tampak malas mendengar kalimat yang diujarkan lelaki tersebut.     

Thomas memalingkan wajahnya, mengamati ekspresi gadis tersebut.     

Sesaat kemudian ia memutar kendali mobil, lalu mengenakan tanda kendaraan siap melaju. Meninggalkan rumah sederhana di pinggir sungai.      

"Kenapa mukamu masam seperti itu??" perjalanan ini diwarnai dengan ekspresi kurang menyenangkan dari gadis pemarah.     

"Sejujurnya, aku tidak suka dengan baju ini," hampir separuh jalan dari tempat tujuan mereka. Barulah gadis tersebut mengaku, kenapa mukanya demikian masam.      

"Bajunya bagus," Thom menyakinkan, "Sungguh," dia kembali melirik Kiki.      

"Ketika diriku memakai baju ini, seperti Dejavu. Telingaku mendengarkan seseorang memanggilku dengan sebutan, Bomb?!" suara Kiki mengutarakan isi hatinya.      

"Bomb??"      

"Ya, Bomb!" Ada hembusan nafas, "Bomb! Bomb! Bomb!" gadis berambut hitam panjang, mengikuti logat bicara seseorang "Huuh.."      

"Hehe," Thom tertawa, "siapa yang memanggilmu Bomb?" Ia tertarik mendengar ucapan Kiki.      

"Kamu lupa?? Vian!" Ketus Kiki.      

"Oh'," desah Thom.      

Hening.      

***     

Pria yang berjalan cepat pada tengah-tengah gerbong, merogoh handphone di celananya. Dia membuat panggilan telepon kepada ajudannya, Herry.      

[Bisa dibantu Tuan?] tangkas sang ajudan menjawab panggilan telepon tuannya.      

[Herry, bersiaplah!] perintahnya, singkat & tegas.      

[Bersiap??] suaranya mencari pemahaman.      

[Akan ada seseorang berbaju hitam dengan kupluk, berjalan melintasi gerbongmu,] suara Mahendra terengah-engah. Seiring langkah cepat yang ia usahakan.      

[Baik,] seolah mengerti maksud tuannya, Herry nampak bersiap seketika.      

3 menit berlalu.      

Sampailah Mahendra pada gerbong Herry. Ajudan dan tuannya tersebut menatap satu sama lain, akan tetapi tak ditemukan pria berjaket hitam dengan kupluk pada kepala.      

"Kamu tidak menemukannya??" kalimat ini berasal dari Mahendra.      

"Sama sekali tidak ada, Tuan?!" Herry menjadi khawatir. Melihat tuannya tampak kebingungan, menoleh kesana kemari.     

Sesaat ia kembali bersuara "Siapa yang anda maksud?"     

"Tidak. Aku hanya merasa, selain dirimu, ada seseorang yang dengan sengaja membuntutiku dan Aruna," ujar Mahendra.      

"Tuan? Anda meninggalkan nona sendirian?" Herry menggugah kesadaran Mahendra.      

"Ah! Argh.. bodoh!!" Mahendra membalik tubuhnya, kemudian berlari di ikuti Herry.      

Keep calm and write something...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.