Ciuman Pertama Aruna

III-278. Dwi Muka



III-278. Dwi Muka

0"Siapa yang datang?"      

"Rahasia," Ada senyum yang diumbar seorang lelaki. Tangannya memegang sebuah kantong yang membuat perempuannya penasaran.     

"Kamu tidak ingin membukanya?" Suara Aruna penasaran, bergerak bangkit dari caranya membaringkan tubuh di atas ranjang tidur.      

Tubuh berbalut piyama serupa dengan suaminya tersingkap sebab tali pengaitnya sudah dilepas oleh tangan lelaki bermata biru sebelumnya.      

Aruna memegang kantong plastik, "He' hehe.." ia melempar tawa, saat sebuah benda dikeluarkan oleh Mahendra dari dalam kantong.      

Penyangga dan pelindung perut ibu hamil, menggantung di tangan kiri suaminya.      

"Kamu tidak ingin mencobanya?" Mahendra memutari tubuh mungil tersebut. Kini ia sudah berada di balik punggung istrinya. Tangannya melingkar, menelungkupkan kain pelindung perut ibu hamil.      

"Hen, sepertinya terbalik?" Aruna memutar tubuhnya. Menatap pria di belakang yang sibuk dengan benda baru, yang membuat keduanya dilanda rasa penasaran.      

"Tidak, ini sudah benar," mata biru memperhatikan secarik kertas yang berisikan tentang panduan pemakaian.      

"Percayalah padaku, perut ini milik ku. Aku yang bisa merasakan nyaman—tidaknya," Aruna melepas kembali benda yang menelungkupi perutnya.      

Matanya membulat, sesaat kemudian Mahendra berujar "Jangan keras kepala. Baca ini!" Tukasnya seraya menyodorkan secarik kertas.      

"Tidak! Aku tidak mau membacanya," kertas itu didorong supaya menjauh. Kemudian benda di atas perutnya direkatkan kembali.      

"Tuh, kan!" akhir-akhir ini Aruna punya kemauan yang sama kerasnya dengan dirinya (Hendra). Entahlah apa yang terjadi dengan perempuan yang penurut ini.     

"Sudah percaya, cara pasang ku benar?" Suara Hendra ketika memperhatikan Aruna tengah sibuk dengan korset hamilnya.      

"Ya, ya, ya! Kau yang terbaik!" Aruna membalik tubuhnya memperlihatkan benda yang membalut perutnya. "Apakah benar seperti ini ada fungsinya?"      

Kening sang lelaki mengerut "Mau tahu fungsinya apa?"      

Aruna sekedar mengangkat bahunya, dan berkehendak melepas benda empuk yang menelungkupi perut.      

"Ah!" Perempuan hamil tersebut tersentak. Lelaki yang tadinya tampak tenang dihadapannya, secara mengejutkan menjatuhkan tubuhnya.      

"Salah satu fungsinya menahan getaran. Aku rasa kita perlu mencobanya," dia yang bicara menyusupkan tangannya di belakang punggung sang istrinya, benda yang membungkus dada perempuan menjadi longgar, "Apakah benda ini berfungsi dengan baik atau tidak? Sebelum kita gunakan untuk meredam getaran besok pagi," maksud Mahendra getaran dari alat transportasi guna menuju destinasi yang akan mereka kunjungi berikutnya.      

Pria yang menghembuskan hawa panas di seputaran leher Aruna, masih dengan rasa berkuasanya menyusuri kulit lembut bak bayi yang ditawarkan sang istri.      

Tangan yang berjelajah telah sampai pada tujuannya. Perempuan mungil di bawah kukungan pria berbadan besar tersebut tersentak berulang kali.      

Kegelisahan perempuan mendorong senyuman iblis dari pria di atas tubuhnya. "Ingat, aku hamil!" Aruna menyentuhkan tangan mungil yang membawa rasa nyaman bagi Mahendra, mencoba membuat peringatan.      

Senyum Mahendra layaknya pertanda, badai ekstase akan diciptakan di atas ranjang ini.      

.     

.     

Siapa yang mengira malam yang dingin, yang sejujurnya hanya sekitar 1 sampai 2 jam bisa menjadi dongeng panjang yang tak akan pernah cukup untuk diceritakan.      

Badai itu berawal dari Cinta, menurut hakikatnya.      

Walaupun cinta disini punya berbagai makna. Bisa jadi cinta pada kemewahan, atau pemujaan terhadap rasa penasaran.      

Sayangnya, hanya yang murni yang mampu menciptakan dongeng panjang di antara denting jarum jam.      

Sesuatu yang didefinisikan candu, memiliki kemampuan menyuguhkan api di antara hawa dingin.      

Terengah tanpa berlari. Merintih tanpa sayatan. Berpeluh-peluh di antara rasa tak terucapkan.      

Mereka memadu tanpa melampaui. Dan di antaranya tidak ada ekspresi kenaifan, yang ada ialah paduan pengharapan untuk saling memenuhi. Entah memenuhi apa, tak ada ungkapan yang dapat melukiskannya maupun tulisan yang mampu menerjemahkannya.     

Sebenarnya pertautan tersebut sederhana, hanya saja siapakah yang mampu mendefinisikan sesuatu yang memang tak terdefinisi.      

Sesederhana mata biru yang detik ini melepas perempuannya dan mendekapnya erat-erat selepas dia menyatakan cinta untuk kesekian kalinya.      

***     

Dua pasang mata terfokus pada panggung Teater di depan mereka.     

Ruang tersebut cukup luas, mungkin seratus orang bisa tertampung pada deretan tempat duduk yang susunannya mirip dengan gedung bioskop. Bedanya, layar yang tersaji di depan digantikan dengan panggung Teater.      

Lampu diredupkan, tanda pertunjukan akan dimulai. Sayang sekali, penontonya tak lebih dari 10 orang termasuk dua pasang mata yang terpukau menatap tarian tradisional yang berfungsi sebagai pembuka.     

Tari dua muka, tari tunggal dengan karakter dua sifat manusia yang berbeda yaitu baik – buruk. Selain itu, pada tari Dwimuka mempunyai karakteristik gerak putri halus dan putri gagah.     

Sang penari memiliki dua wajah sekaligus, wajah cantik bak putri raja akan tetapi cenderung menampilkan guratan kaku pada topeng yang melambangkannya. Sedangkan ketika sang penari berbalik, penari tersebut akan membawakan tarian lebih lembut dimana topeng yang terpasang adalah topeng perempuan yang biasa, tidak cantik bahkan sedikit gemuk, akan tetapi melambangkan keramahan.      

Iringan musik pada tarian tersebut didominasi dengan suara rebab, alat musik gesek tradisional indonesia yang sering di pakai bersama gamelan atau sekelompok alat musik tradisional dari budaya Jawa.      

Alat musik ini berdawai 2, bentuknya mirip ukulele atau gitar akan tetapi bukan untuk di petik melainkan di gesek. Bedanya dengan biola, alat musik tersebut dimainkan dengan duduk bersimpuh di mana bagian dasarnya jauh lebih kecil dari biola.      

Tinggi rebab sekitar 75 cm yang mana penggeseknya terbuat dari kayu dan bulu ekor kuda. Lengkingannya tajam dengan irama dominan.      

Sang penari lemah gemulai di hadapan dua anak manusia berbalik badan, menampilkan muka berbeda. Para penonton tak mampu memprediksi topeng yang mana yang di dalamnya menyimpan wajah asli penari.      

Keduanya terlihat alami tatkala sama-sama di pandang dari depan. Sangat mengagumkan. Bersama rok berwarna hijau mengkilap dan atasan merah cerah yang mencolok. Gelap dan sunyinya gedung tak terasa sama sekali.     

Penari di depan lebih ahli dari segala tari yang pernah memukau mata pemuda dengan rambut pirangnya yang terikat kebelakang.      

"Setiap manusia menggunakan topeng, di mana pun, dan kapan pun," dia berceletuk selepas penari tersebut menyatukan kedua telapak tangannya kemudian menundukkan kepala pada penonton.      

Tepuk tangan dari segelintir orang yang mampu memecah kebekuan menggiring langkah sang penari menyusup kedalam tirai, lalu panggung kosong dan menggelap.      

"Menurutmu apakah manusia-manusia yang suka menutup wajah aslinya dengan topeng salah?" Kihrani menanggapi.      

"Tidak, tapi ini bagiku," Tom menolehkan wajahnya pada Kihrani "Apakah perlu kita mengumbar kesedihan di hadapan orang lain secara terang-terangan? atau kebencian secara terang-terangan?" lanjutnya.      

Kihrani menggelengkan kepalanya.      

"Itulah yang dulu aku pelajari ketika kuliah komunikasi dan berkarir sebagai pimpinan divisi eksternal, hingga bisa mempengaruhi kolega yang dibidik perusahaan," tatapan Tom berpindah pada panggung di depan, ada sekelompok orang yang berpegangan tangan dan melambaikan tangan mereka—pertanda teater akan dimulai "Baiknya kita selalu ramah pada lawan bicara kita walaupun hati—wajah asli kita, berkata lain."     

Gadis di samping Tom mengerutkan alisnya "Bukankah yang seperti itu dapat dikategorikan munafik?"     

"Tidak, tergantung ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.