Ciuman Pertama Aruna

III-285. Sporadis



III-285. Sporadis

0Dua buah mobil yang berhasil menemui rumahnya secara beriringan terhenti di depan pintu gerbang tertutup. Salah satu pengemudi dari dua kendaraan tersebut tak perlu keluar. dia hanya perlu memencet tombol supaya gerbangnya terbuka secara otomatis.      

Dengan malas pria yang menyajikan mata sendu dengan hidung lancip meraih kunci -sebuah alat yang memiliki dua tombol dari sakunya-. Ia sempat memegangi bibirnya, melirik pria tak jauh dari pintu gerbangnya.     

Lelaki rumah sebelah (Tom) baru saja keluar dari mobilnya, mendorong pintu gerbang rumahnya lalu kembali mendekati mobil.     

Vian merasa hal yang sama juga dilakukan Thomas (mencuri pandang ke arahnya) sebab lelaki dengan rambut sebahu tersebut teramati bergeming, menatap mobilnya. Andai jendela kaca mobil lelaki bermata sendu diturunkan, tentu kedua mata mereka saling bertautan.     

Apakah ini semua tentang gadis dari keluarga  yang teramat sederhana? -alias si pemarah-.      

Dia, Vian yang memacu pikirannya tak menemukan jawaban.     

'Dasar Sporadis!' Vian menggunakan bibir orange tersebut untuk memaki, dan buru-buru diturunkannya kaca jendela mobil, mengabaikan arah tatapan Tom. Pria tersebut memencet tombol pengendali pintu gerbang.     

Gerbang terbuka dan mobilnya melaju, sesaat kembali terdengar suara menderu dari mesin mobil Vian.     

Kendaraan tersebut telah terparkir sempurna ketika secara mengejutkan Tom sudah berdiri di dekat mobilnya.     

_Mau apa dia??_ tampak acuh tak acuh Vian berjalan sambil berujar, "Aku Lelah hari ini, kita bisa bicara besok pagi,"     

"Oh, oke," Tom terlihat berbeda selepas tragedi besar menimpanya. Pria tersebut kian tenang dan bahkan tertangkap tanpa ambisi.     

Namun malam ini ada yang berbeda, dia yang telah melangkahkan kakinya tiba-tiba saja memutar tubuhnya. Vian sudah memencet beberapa tombol otomatis pada pintu kaca rumahnya, dan seketika pintu tersebut terbuka.     

"Setelah ini, kemungkinan kita akan sulit bertemu, atau mungkin tak pernah bertemu lagi," suara Tom membekukan Gerakan Vian.     

"Maksudmu?" Vian membalik tubuhnya, mengamati Tom yang berjalan mendekat.     

"Tetua memintaku mengiringi kembalinya Leo dan madam Graziella, ke Milan," balas Tom.     

Ada ekspresi terkejut dari lelaki bermata sendu, "Kamu akan tinggal disana?"     

"Mungkin," Tom masih ragu tapi dia sudah memutuskan menerima panggilan tugas tetua Wiryo.     

"Berapa lama?" Vian melangkah mendekati tetangga sebelah yang lebih tepat disebut saudara walau tanpa ikatan darah.     

"Entahlah," Ada bahu terangkat dari lelaki berambut sebahu, "Mungkin, em, sampai aku menyelesaikan study, ku,".     

"Akhirnya kamu mendapatkan izin study, Selamat," Vian mengangkat kedua telapak tangannya, mendekat, lalu memeluk ringan Tom. Bahkan tepukan pada punggung tertangkap.     

_Selamat?_ Ucapan Vian digumamkan lelaki berambut sebahu yang detik ini membiarkan rambutnya terurai, dan gerakan tangannya menyibak rambut ke belakang -tertangkap, setelah lelaki bermata sendu melepas pelukannya.     

Apakah layak ada kata selamat dalam keadaan seaneh ini? Benak Tom bertanya-tanya walaupun dagunya bergerak naik turun, menerima ucapan selamat tersebut.     

"Jadi kamu menghabiskan waktu dengan Bomb, ah maksudku si pemarah itu karena," Vian menghentikan kalimatnya. Bukankah aneh dia membahas tentang Kihrani, tak ada dasar yang kuat untuk membahas gadis tersebut. Harusnya kali ini fokus pada keputusan besar Tom yang mungkin saja akan Kembali pada Leona. "Ah, maaf. Apakah kamu akan mencoba memulai lembaran baru Bersama Leo?".     

Tom sempat bergeming yang kemudian membuka matanya lebih lebar, "Tidak!" entah mengapa ucapannya terdengar yakin.     

"Waktu. Kau tahu, waktu bisa mengubah segalanya," tanggapan Vian realistis.     

"Kau benar, siapa yang tahu tentang masa depan?" Tom menarik bibirnya. Sejujurnya detik ini keduanya diliputi kecanggungan, dan mereka pun tak mengerti kenapa harus canggung.     

"Aku..     

"Vi..     

Desahan kata dari mulut mereka terdengar serempak.      

Vian buru-buru mengangkat tangannya mempersilahkan Tom.     

"Vian, aku rasa memanggil Bomb akan membuat Kihrani kian kesal padamu, walaupun kedengarannya lucu," dia yang bicara menatap mata lawan bicaranya. Kalimatnya ringan tapi tidak dengan tatapan matanya.     

"Ah' terima kasih atas masukanmu," ada telapak tangan terangkat, menepuk ringan lengan Tom, "Tenang saja, aku akan menjaganya," tepukan dua kali di lengan mendapatkan tatapan lelaki berambut sebahu.     

Tom menarik bibirnya lurus, "Terima kasih,"     

"Terima kasih??" Vian tercengang dengan kata terima kasih Tom.     

Mengapa harus ada kata terima kasih? Si pemarah, bukan siapa-siapa Tom. Demikian benak lelaki bermata sendu.      

"Ya, terima kasih, sudah berkenan menjaganya diam-diam selama ini," entah ini sindiran atau berupa sanjungan. Vian dibuat kalut oleh ucapan Tom.     

"Em, aku menyiapkan tabungan supaya dia bisa melanjutkan study nya, tapi sepertinya aku tak akan sempat menyerahkannya. Aku mengirimkan uang tersebut ke rekeningmu," Tom menunjukan layar handphonenya, bukti transfer online tertera di sana.     

Selepas lelaki bermata sendu mengamatinya -sampai matanya mengerjap beberapa kali-, senyum Tom menggiring Vian mengalihkan pandangan matanya ke arah lain -tanda tak habis pikir-     

"Aku bisa menyiapkan yang seperti itu untuk Kiran," Vian berujar.     

"Kamu tak punya hutang budi. Em, yang begitu akan terkesan penghinaan," tukas Tom, memasukan handphonenya ke dalam kantong celana.     

Vian sempat tertawa ringan. _bagaimana bisa hutang budi menjadi sesuatu yang luar biasa kali ini?_ Pria dengan mata sendunya terlihat mulai menunjukan gelagat enggan melanjutkan percakapan dengan Tom.     

"Sampaikan ini kepadanya sebelum dia mendapatkan tabungan itu," pinta Tom serius, "Cik Sima boleh lupa padanya, tapi tidak dengan orang yang pernah menerima kebaikannya. Gunakan uang tersebut untuk keluar dari Gua. Jangan sampai kamu menyesal dan mati sia-sia di dalam Gua,"     

"Hah? Apa??" Vian yang awalnya enggan, tengah tenganga dengan kalimat Tom.     

"Oh' kau takut lupa? Baiklah, aku akan mengirimkan voice note padanya," Tom menjabat tangan pria ternganga lalu undur diri, membalik tubuhnya berniat melangkah pergi.     

"Tidak! Tidak! Ulangi sekali lagi!, kemarilah. Ayo, ulangi! aku pasti mengingatnya" bagi Vian, meneruskan kalimat Tom adalah kesempatan baginya supaya didengar oleh Kihrani. Sekali saja.      

***     

Gadis yang duduk pada ranjang sederhana, mengamati puluhan panggilan yang berderet pada layar telepon genggamnya. Ia segera membersihkan tampilan notifikasi tersebut, selepas melakukannya Kihrani membeku.     

Ia mencoba menggali-gali lagi memori tentang 'Milan' di kepalanya, dengan gemetar Kihrani mengetik sebuah kata kunci pada situs pencarian.     

'Milan terletak di negara'     

Jawaban yang muncul adalah Italy     

'Kode nomor handphone negara Italy'     

Jawaban yang tertera pada situs pencarian adalah +39     

Kihrani mengetik +39 pada kontak yang tersimpan di telepon genggamnya, dan nama yang muncul dari hasil pencarian tersebut adalah 'pacar pria malang'     

Gadis tersebut menghirup nafas dalam-dalam, kemudian meletakkan telepon genggamnya di atas ranjang, tepat di samping tempatnya duduk. Ia meraba dadanya lalu meringkuk, menjatuhkan tubuhnya pada ranjang, meraih guling dan memeluknya dalam-dalam.     

Gadis itu pada akhirnya meneteskan air mata, menangis dan berujung pada rintihan yang disembunyikan sebaik mungkin dengan mendekam di balik guling.     

"Hiks.. hiks.. hik..hik.." rintihan itu sudah di firasatkan oleh seorang bapak yang diam-diam berdiri di balik pintu kamar putri sulungnya.     

Kihrani linglung sejak beberapa menit lalu ketika bapaknya tengah menasehatinya, dan dia berkaca-kaca. Jelas itu bukan putri sulungnya, si pemberani. Pekerja keras yang mustahil menangis hanya di karenakan nasehat bapaknya     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.