Ciuman Pertama Aruna

III-297. Terbuka Tabir Kepalsuan



III-297. Terbuka Tabir Kepalsuan

0Perempuan kurus itu sudah lebih segar dia tak lagi tertidur sepanjang hari, wajahnya yang memar berangsur-angsur pulih. Walaupun bagian di bawah matanya masih menyisakan semburat bekas lebam yang menjadi merah, untungnya tak merusak wajah.     

Dengan satu tangan terbebas dan tangan lainya terbungkus penyangga lengan berwarna biru muda. Pengamat tahu tangan tersebut patah, sedang dalam pemulihan. Sang pengamat itu terdiam membeku di balik pintu. Hanya celah kecil persegi panjang yang tersaji di atas handle pintu yang dijadikan tempat mencuri pengamatan.     

Dia sedang mengeluarkan barang-barangnya dari dalam laci. Benda-benda yang tak seberapa banyaknya. Perlahan diperiksa satu-persatu selepas mereka dibiarkan tersebar di atas ranjang kemudian di selipkan kembali ke dalam tas selempang.      

Kegiatan tersebut hampir selesai tepat ketika suara seseorang menyapanya dari belakang, "boleh aku masuk?" Pasti pria ini baru membuka pintu.      

Dia yang tersita oleh kesibukan lekas menjawab 'ya' tanpa menoleh, suara dari belakang cukup familiar. Tapi ia lupa sesuatu. Suara adik dan kakak kadang serupa bahkan hampir tak dapat dibedakan.      

Tidak seperti Gesang, pria yang baru datang sedikit berbeda, ia tidak mendekat maupun membantunya merapikan barang-barang di atas ranjang. Gesang pasti langsung memarahinya dan berceloteh kesana kemari, melarangnya banyak bergerak.      

Lelaki yang baru saja meminta izin memasuki kamar inap begitu tenang. Berdiri di belakang punggungnya. Dia benar-benar diam seribu bahasa, sampai sang perempuan berbalik dengan tangan kanan masih menggenggam ujung tali tas selempang.      

"Mari pulang bersamaku.."      

Temperatur udara di ruangan terasa menurun. Apakah semburan angin dari mesin pendingin atau suara ajakan pria yang mengiris-iris kuping. Dia rapatkan genggaman tangannya pada tali tas selempang. seolah-olah tas itu sangat berharga.      

Gerakan sederhana yang teramati oleh sang lelaki yang berdiri di depannya.      

Tanpa balasan pernyataan, dua jiwa manusia seolah telah berbincang dan mengerti kehendak satu sama lain.      

Untuk sekian menit selepas keduanya tersita dalam perang batinnya masing-masing. si perempuan mengurai jawaban yang jelas-jelas telah berpuluh-puluh kali dia suarakan.      

"Aku tidak mau," dia yang berucap membalik tubuhnya. Mengabaikan lelaki yang penuh harap terhadapnya. Entah mengapa 'mengharap' benar-benar terlukis dari bahasa tubuh sang pria.      

spekulasi di kepalanya mendorong perempuan ini menghentikan aktivitasnya.     

Selama ini sang kakak laki-laki tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap 'harap' dia layaknya malaikat yang terlahir sebagai pengayom dari keadaan yang membelenggu ketiga manusia, dan tentu saja penolong yang selalu jadi tumpuan.      

Syakila memasukkan semua benda termasuk handphone yang berhari-hari dibiarkan mati.      

Detik dimana dia membalik tubuhnya, hantaman hebat membelenggu gerakannya. Bukan hangat yang ia rasakan, padahal perempuan ini penerima pelukan.     

Jelas ini getir, getir bahwa kenyataannya sang kakak mengenakan topeng selama berbulan-bulan. Ia benar-benar telah membuka tabir kepalsuan yang selama ini hanya berupa dugaan.      

"Aku akan membuatmu jauh lebih bahagia dibanding kamu melarikan diri bersama Gesang," dia menyusupkan kalimat ajakan dengan suara lembut yang menjelma menjadi pil pahit di ujung daun telinga.     

Gesang selalu percaya diri, dia menolak pengakuan Syakila bahwa kakaknya Gibran, mustahil menolong mereka.      

Gibran mengundur segala rencana dan upaya pembebasan keduanya.      

Selama ini kewibawaan yang berpadu dengan sikapnya yang sabar, membiarkan calon istrinya tetap berpacaran dengan adiknya sendiri menutup segala kemungkinan akan terjadinya pelukan dan ajakan aneh di hari segala rencana yang di bangun sendiri oleh Gesang dan Syakila tinggal di jalankan.      

Syakila dengan satu tangan mendorong tubuh pria tersebut. Mata hitamnya menghujam tajam. Untuk pertama kalinya sang malaikat berhati baik itu kini tiba-tiba saja berbalik menjadi iblis yang mengumbar pengakuan melalui tatapannya.      

"Kak, ini tidak benar!" gelengan kepala syakila berpadu dengan cara tangan kanannya berupaya lepas dari pemilik mata hitam pekat yang terlihat menolak Kenyataan. Syakila mulai ketakutan Gibran menunjukan kekuatannya, di luar pertimbangan siapapun.      

Dari arah belakang punggung Gibran. satu persatu anak buahnya menyusup, muncul dari pintu yang tadinya menutup. "Kak! Katakan kamu hanya iba padaku!" Tangan kanan gadis tersebut tak mampu berbuat lebih.      

"Awalnya kupikir aku iba padamu,"      

_Tapi hari ini keluarga Djoyodiningrat ada di belakang Gesang, aku bisa kehilanganmu selamanya, jika kubiarkan kalian pergi_     

"Maaf, kali ini aku tak sanggup berpura-pura.. aku akan membawamu pulang dan ku mohon belajarlah menghadapi kenyataan. Kita akan menikah,"      

Mata syakila spontan melebar, tangan kanannya yang masih mendorong kini digenggam gibran dan secara mengejutkan mendapatkan kecupan. Punggung tangan itu mendapati sentuhan lembut yang amat sangat janggal.      

Selepas menariknya kuat-kuat, tangan Syakila yang berhasil lolos turut meloloskan satu tamparan keras di pipi sang pria.     

"Kau! Selama ini kau curang pada kami! Aku dan Gesang mempercayaimu!" Dia memekik. Bersama rasa terkejut para ajudan yang bergerak mendekat sebab sang tuan mendapatkan hantaman di pipi.      

"Aku melakukan itu sebab Gesang tak sungguh-sungguh membawamu pergi!" Telapak tangan yang baru saja meluncurkan tamparan kembali tergenggam, "Dia sendiri tak yakin mampu memberimu kehidupan yang layak dibandingkan kau hidup bersamaku. Menjadi buronan keluarga? Kau tahu.. itu tak akan mudah apalagi melibatkan keluargamu dan ayahku!"      

"Kali ini keadaan kita berbeda!" Syakila memundurkan kakinya, dia yang membalik tubuh berusaha menarik tangan untuk berlari, sayangnya berujung dekapan erat.      

Pinggang ramping itu diseret dengan satu pelukan tangan kanan. Syakila sempat meraih tas selempangnya, dan berujung jatuhnya benda-banda dari dalam tas yang teraih talinya dan ikut terseret dari atas ranjang jatuh ke lantai, terhempas.      

"Siapkan jalanku!" Suara Gibran yang biasanya lembut berubah dingin mirip Rio, ayahnya. "jangan ada satupun penghalang!" Instruksi Gibran mengabarkan dia tak mau berpapasan dengan adiknya yang detik ini tengah mengurus administrasi termasuk dokter rawat jalan syakila bersama salah satu orang Djoyodiningrat.      

Entah bagaimana, mereka percaya diri sekali. Membiarkan syakila sendirian. Padahal tiap saat keduanya terlihat berseliweran di seputaran kamar Syakila.     

Gibran menunggu momentum ini. Dia tak akan menyia-nyiakannya. Dia tahu kenekatannya di luar prediksi siapapun, termasuk dirinya sendiri, masih tak percaya ada rasa takut ketika Gesang benar-benar meminta bantuan Djoyodiningrat -melenyapkan keberadaan gadis ini demi impian mereka, pergi sejauh-jauhnya dan menghilang bersama-      

Seorang ajudan mengabarkan, identitas yang digunakan registrasi rumah sakit Salemba adalah identitas orang lain. Bukan Syakila, akan tetapi nama baru yang diciptakan sebagai tanda-tanda Gesang dan Syakila siap pergi selamanya.      

.     

.     

"Kakak!" Suara memekik pada tempat parkir di basement Rumah sakit menjadi pertanda peperangan dimulai.      

Gadis bertubuh ringkih yang diikat Gibran dengan sekali pelukan tangan serta sejumlah ajudan yang mengelilingi tuannya, detik ini bergejolak hebat.      

Lelaki yang ia nanti telah datang, tepat sebelum mobil keluarga Diningrat terbuka pintunya.      

"Aku tidak mau kasar, serahkan dia!" lima dari tujuh orang menodongkan senjata api. Permintaan Gesang berbuah todongan.      

"Aku juga tidak mau kasar.." Gibran menggerakan dagunya. Seorang ajudan menerima tubuh Syakila. Gadis itu ditarik sekuat tenaga mendekati pintu mobil dan di lempar ke dalam.      

Mobil menyala dan Gesang berlari mendekat gerak mobil, mengabaikan todongan orang-orang kakaknya.      

Bersama mobil yang melaju dan sekelompok orang yang fokus pada langkah lari gesang memburu syakila yang meraung dan memukul-mukul kaca mobil meminta bantuan.      

JAV dari balik deretan mobil keluar, mendekati Gibran yang berniat membuka pintu mobilnya. "Anda.. boleh saya minta anda menghentikan mobil itu? menculik gadis malang, sangat tak beretika?"      

"Tuan?!" salah satu ajudan Gibran terperangah. Menyadari kejanggalan, tuannya tak berdaya mengangkat kedua tangan menempel pada sisi luar mobil -pasrah-.      

Dan Gesang yang tak sanggup mengejar mobil syakila merubah arah langkahnya. Langkah kaki pemuda tersebut lebar-lebar nan tegas, menuju keberadaan kakaknya. Dia mendekati sekelompok ajudan yang ikut pasrah, menanggalkan senjata api di lantai basement sesuai permintaan penodong Gibran.      

Gesang meraih kerah baju kakaknya lalu mendaratkan tinju hebat, sisi kiri wajah kakaknya memar seketika.     

Sang kakak hampir terjatuh. Ajudannya terlihat serempak bergerak dan membeku kembali ketika todongan JAV kian ditegaskan.      

"Kau munafik!" Getaran bibir gesang teramati. "Kembalikan Syakila!"      

"Aku tak bisa.." Gibran menghapus sudut merah di bibirnya menggunakan punggung tangan. "Hidupnya lebih terjamin bersamaku, tak perlu berpindah-pindah dan jadi buronan. Kau sendiri yang mengatakannya, -bukan?" Mata hitam itu menatap penuh ironi.      

"Sekarang semuanya sudah berbeda! Kembalikan Syakila padaku!" Gesang sekali lagi mencengkram kerah leher kakaknya.      

"Coba saja membunuhku.. kalau kau punya nyali,"      

"Sial! …      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.