Ciuman Pertama Aruna

IV-1. Prolog



IV-1. Prolog

0Sementara geraman marah langkah kaki membelah keheningan malam, Aruna berhasil mencapai kamar mandi dan muntah-muntah. Bukan karena bayi di dalam perutnya bergejolak -janin yang mulai tumbuh dan berkembang di dalam perut perempuan bertubuh mungil-, melainkan karena panik, ketakutan, atau kombinasi yang mengerikan dari keduanya.      

Tapi apapun yang menyebabkan ia gemetar, Aruna membenci kelemahan dan perasaan rentan tersebut. Kakinya lunglai bersama rasa mual yang mendorong tenggorokannya seolah-olah ingin mengeluarkan sesuatu —yang nyatanya kosong.      

Dia luruh, duduk di lantai kamar mandi, merapatkan kakinya dan merasakan tubuhnya menggigil. Bergidik membayangkan apa yang baru saja ia amati serta dugaan-dugaan liar yang menyelimuti dirinya.      

Lelakinya mengambil kendali penuh dan lambang kekuasaannya melebihi apa pun yang pernah ia pikirkan, seperti sudah menjadi kebiasaan turun-temurun yang melekat pada tiap-tiap lelaki Djoyodiningrat.      

Dan dia -Aruna- tanpa sengaja melihat bagaimana sepak terjang Mahendra mengambil kendalinya, seluruh jiwanya sudah ia upayakan untuk siap mental menghadapi yang terburuk dari kejadian paling buruk. Kenyataannya ia berakhir di kamar mandi dan muntah-muntah tanpa alasan. Kepala pening dan mata berkunang-kunang terjadi secara bersamaan.      

Kaki mungilnya merapat. Dia ingin memeluk lututnya, berharap dirinya menjadi sebuah gulungan kecil yang tidak terlihat. Akan tetapi itu mustahil sebab perutnya membesar, bahkan kakinya bengkak. Semua itu adalah konsekuensi yang harus ia tanggung sebab menopang benih keluarga Djoyodiningrat yang bertolak belakang dengan perawakannya.      

Kemustahilan yang lain —yang baru ia ketahui adalah kehidupan damai dalam lingkaran keluarga konglomerat, sebuah tempat yang kini menjadikannya sering kali di panggil nyonya bukan lagi nona, apalagi Aruna -nyonya Djoyodiningrat, tiba-tiba panggilannya menjadi sangat asing dan aneh-, harus dibayar dengan harga mahal.      

Kesalahan ada pada dirinya sendiri yang mengacaukan tradisi turun temurun keluarga ini. Tradisi yang membuat dada sesak akan tetapi efektif untuk menjaga keselamatannya.      

Pesta baru usai, perayaan yang memberinya label 'nyonya Djoyodiningrat' dan menghilangkan nama Aruna. Dimana dirinya dipuja-puji sekaligus menjadi bahan olok-olok bagi sebagian orang -dari sebagian lainya-. Bahan obrolan yang menyenangkan untuk sekelompok orang yang sedang tak punya kesibukan, bisa menyangkut hal positif maupun negatif.      

Pesta yang mengguncang seantero negeri, sangat megah, mewah, spektakuler dan berakhir tragedi.      

Tragedi yang ia intip sembunyi-sembunyi malam ini. Aruna baru sadar, ia tak akan bisa tidur nyenyak dan hidup damai dalam kesederhanaan yang ia dambakan. Kesederhanaan yang pada dasarnya mendatangkan ketenangan. Kecuali bersembunyi serta menutup diri dari publik.      

"Aruna, Aruna, apa kau di dalam?"      

Panggilan itu mengabarkan bahwa sepasang sepatu pantofel telah mencapai tempat yang tepat untuk menemukan dirinya. Aruna menatap pintu kamar mandi lamat-lamat. Dadanya berdesir. Dia tak ingin ditemukan oleh siapapun, apalagi Mahendra.      

"Aruna,"      

Dia ingin menghilang detik ini. Tempatnya berada adalah kesalahan fatal.      

___      

HARI INI      

Pintu gerbang telah terbuka.      

Sepanjang perjalanan —bahkan ketika pesawat pribadi yang membawa rombongan kecil tersebut melaju dengan kecepatan tinggi, dia hilang terbawa kantuk. Menghabiskan waktunya untuk tidur.      

Mata mengerjap, membawa kembali dirinya dari alam mimpi ketika seorang pria mengecup pipinya, "Selamat datang di rumah, sayang" sapa Mahendra, meraih dagu dan mulai memasukkan lidahnya. Mengecup bibir perempuan yang masih mencoba mencari kesadaran.      

Aruna masih membersihkan matanya dari sisa-sisa rasa kantuk ketika pria tersebut turun dan Herry berlari ke belakang membuka bagasi, mengeluarkan ransel dan beberapa barang bawaan yang tidak begitu banyak.      

Dan sebuah kebiasaan yang sering ia lihat di rumah ini, ia terima lagi.      

Baru saja kakinya menyentuh tanah pelataran rumah induk keluarga suaminya —yang tentu saja juga bagian dari keluarganya. Seorang pelayan berjalan cepat membuka payung untuk menutupi tubuhnya dari cahaya matahari. Wajahnya sontak merengut. Merapikan jaket yang ada di bahunya, mengibas rambut yang belum sempat di ikat dengan benar. Dan rasa ingin mendorong benda yang ada di samping tubuhnya, tapi dia urungkan demi makna kesopanan khas keluarga Djoyodiningrat yang menjunjung tinggi sopan santun terutama kaum perempuan di rumah tersebut.      

Bahagianya ketika suaminya melihat kejadian sekilas tersebut, Mahendra mendekat meminta payung yang menghalangi cahaya sang surya —menyingkir sejenak. Bisa dibayangkan bagaimana wajah perempuan bebas yang tak takut panas matahari dan alam luas seperti perjalanan yang baru dia tempuh.      

Perjalanan yang membuat Mahendra tahu sisi tangguh dan sebuah kenyataan bahwa istrinya adalah gadis tomboy yang menyukai traveling tanpa rencana pasti, berjelajah tanpa batas, tidak banyak mengeluh dan tak peduli riasan. Selama ini pasti dia merasa tersiksa harus memakai midi dress dan di buntuti banyak ajudan.      

.      

"Aruna," seorang nenek berwajah cerah membuka tangannya lebar-lebar mendamba pelukan. Ekspresi wajahnya lebih dari bahagia, andai dia anak kecil tentu saja oma Sukma telah melompat atau menjerit bahagia.      

"Ayo, ayolah peluk aku," dia yang meminta tangannya di sambut bergerak cepat mendekati Aruna yang bahkan baru beberapa detik kakinya menyentuh teras, setelah selesai menaiki tangga pintu utama rumah Induk.      

"Saya kotor, belum mandi dari pagi," kalimat ini kenyataan.      

"Tidak apa-apa, aku kangen cicitku. Sini, biarkan dia dekat denganku," dan perempuan tersebut mendekat sampai Aruna tak bisa bergerak, bersama senyum lebar seorang perempuan yang dirasa kian lama —kian cantik. Jauh sekali dengan dirinya yang mendapati kulit hampir terbakar matahari.      

"Oma, sudah," suara Gayatri mengingatkan, menatap lekat adegan di hadapannya. Disaat oma Sukma melepas pelukan, sang mommy membawa Aruna dalam dekapan menyusuri lorong menuju ruangan yang lebih dalam.      

Berbeda jauh dengan Mahendra. Lelaki tersebut seperti anak tiri —tak ada yang menyapanya, dan memang dia tidak akan peduli dengan hal-hal semacam kehangatan keluarganya. Terbiasa kaku dan dingin.      

Aruna sempat menghentikan langkahnya ketika dia melewati ruang kedua. Ruangan dengan suasana kuning menghangat, dimana sebuah foto pernikahan blue oceans bertengger di dinding memakan tempat yang tidak sedikit.      

Bukan foto tersebut yang membuat Aruna terhenti, akan tetapi sekelompok orang yang menyambut kedatangan suaminya. Satu di antaranya dalam kondisi sedikit mengerikan.      

Tubuhnya mengurus drastis, lebam di pipi kanan, robekan yang terjahit tersaji di atas alis, dan yang paling jelas dari semua keadaan mengerikan tersebut adalah tangannya. Jari kelingking dan manis di sisi kiri hilang sebagian.      

Aruna ingin melihat Rolland lebih lama, akan tetapi pundaknya sudah terengkuh oleh mommy untuk melanjutkan langkah kakinya.      

Seperti tidak melihat apapun, para perempuan yang berjalan masih memasang senyum dan mempertanyakan perjalanan ke tempat-tempat indah yang baru dia lalui.      

Disaat langkahnya sampai di lorong yang berbelok, Aruna mencuri lihat sesuatu yang masih bisa ia toleh. Suaminya tak punya waktu untuk istirahat, ia bersama orang-orang yang samar pernah dilihat perempuan tersebut memasuki ruang kerjanya.      

Sebuah tempat yang belum pernah ia datangi selama ini sebab Mahendra tak pernah memberi izin untuk mendekatinya ketika ia sedang menyelesaikan pekerjaan di tempat tersebut. Ruangan yang terletak di samping ruang dinas Opa Wiryo, dimana dia -Aruna- diminta kakek Djoyodiningrat tersebut untuk memilih melanjutkan pernikahan atau mundur. Dan Mahendra, tanpa diduga menyerobot ucapan yang masih menggantung di tenggorokan. (Season I)      

"Pyar," suara benda pecah menyapa gendang telinga tiga perempuan yang sedang berjalan, Aruna secara mengejutkan di tarik Gayatri untuk segera menaiki tangga masuk kedalam kamarnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.