Ciuman Pertama Aruna

III-321. Mengunci Panorama



III-321. Mengunci Panorama

0Kebekuan akibat datangnya seseorang di tengah-tengah rapat melanda seluruh penghuni yang menempati meja oval tersebut. Pendatang asing duduk di kursi kosong, tersenyum geli menatap kejadian di hadapannya.      

"Aku yakin kalian terkejut melihatku berada di sini," ujarnya, "Terima kasih sudah menyambutku dengan hangat," Suaranya terdengar ringan, seolah acuh tak acuh dengan situasi yang ia ciptakan.      

Mereka yang duduk di meja rapat saling memandang satu sama lain. Memperhatikan pria yang kini meraih sebuah bolpoin, kemudian mengetuk-ketukan ujungnya pada benda datar dengan permukaan kaca di hadapannya.      

"Lanjutkan presentasimu," pendatang baru tersebut membuat perintah kepada seorang lelaki yang sedang meremas pointer yang tergenggam telapak tangannya.      

"Lakukan dengan sempurna, sebelum aku menggantikan posisimu," Lelaki yang mendapatkan komentar mencengangkan dari si pendatang baru lekas bergerak memadamkan layar presentasi.      

"Kau sudah gila? Beraninya kau datang di tempat ini!" Lelaki yang baru saja mematikan layar presentasi, kini mendekati meja yang berbentuk oval dari sisi muka. Telapak tangan yang mengepal, menempel pada permukaan kaca hitam di atas meja. Otot tangannya keluar. Jelas, dia sedang menahan amarah di dada.      

"Tenang. Jangan emosi dulu, adikku" senyum khas pria yang duduk memainkan kursinya menjadikan orang-orang di sekitarnya menelan saliva, "Aku datang bukan untuk menggantikanmu," dia tersenyum lagi melirik setiap orang yang berada dalam meja berbentuk oval, "Aku datang karena aku sadar, ada kursi kosong di sini,"      

"Kau apakan, Heru!!" Seorang perempuan — satu-satunya yang hadir di meja tersebut spontan berdiri meneriakkan dugaan yang paling ia takuti.      

dan suara tawa menggelegar, memecah ketegangan ruang rapat … …      

***     

"Aruna, Aruna, sayang," Si lelaki menggoyangkan tubuh perempuan, "Bangunlah! Bangun, sayang," sekali lagi dia menggoyang raga yang terkulai di punggungnya.      

Perempuan itu mengerjapkan mata, semua terdengar lirih. Ia menguap, sebelum akhirnya kornea mata coklat yang ia sembunyikan di dalam pelupuk mata terbuka perlahan-lahan.      

"Oh' apa aku sedang bermimpi?," kalimat takjub ini diiringi tawa dua orang ajudan yang berada di balik punggungnya.      

Suara Herry dan Raka tertawa kecil menatap hamparan yang menakjubkan. Sesuatu yang sangat memukau untuk dipandang oleh mata telanjang.      

Sunrise kawasan puncak Bromo adalah magnet yang menjadi pendorong utama bagi siapapun yang memutuskan travelling di tempat tersebut.     

Tak ada satupun yang akan rela melewatkan datangnya matahari yang perlahan-lahan jatuh memakan kabut-kabut tipis yang menelan puncak Bromo dan bukit-bukit di sekitarnya.      

Aruna melihat lesung pipi suaminya. Lelaki yang detik ini membawanya dalam gendongan di belakang punggung.      

Bagaimana bisa dia berada di tempat ini? Sepertinya dia dibawa ketika masih tidur. Dibangunkan tepat beberapa detik sebelum matahari hadir menghangatkan bumi.      

Perempuan yang masih terpukau dengan panorama alam tersebut menepuk punggung suaminya —minta diturunkan. Ketika ia turun, Aruna mendapati tangan Mahendra sudah berada di pundaknya. Mengumbar senyum kepadanya. Mengacungkan telunjuk pada langit memerah, dimana sebuah cahaya putih yang menguning menjadi pusat dari cakrawala.      

Dingin menuju sejuk yang menghangat. Gelap menuju abu-abu, lalu menguning. Beberapa menit berikutnya seluruh permukaan bukit di bawah sana menampakkan wujudnya. Cahaya jatuh menerangi seluruh panorama yang tertangkap mata.      

Aruna yang tertidur hanya beberapa jam, seketika lupa bahwa ia tengah lelah dan mengantuk.      

"Bagaimana menurutmu?" Lelaki di samping Aruna tersenyum.     

Belum sempat ia menjawab, Mahendra didekati Raka. Seolah tak ingin mengganggu, perempuan tersebut menyisi kala suaminya menerima sebuah panggilan telepon.      

Detik berganti menit, Mahendra kembali dengan pertanyaan berbeda, "Kamu sudah puas?"      

Perempuan itu memasang senyum cerah. Memberi jawaban dengan anggukan.      

"Baiklah, sudah saatnya kita pulang," dia menepuk punggung. Membawa perempuan mungil berjalan memimpin yang lainnya. Menuruni tangga demi tangga tanpa bicara.      

Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah, Mahendra lebih suka fajar daripada senja dan semua warna cahaya? Harusnya lelaki tersebut lebih menikmati momen kali ini. Atau mungkin ia berencana untuk menginap semalam lagi yang mengharuskannya untuk pergi ke destinasi wisata lainnya -besok-, agar keduanya bisa melihat panorama fajar kedua kali di penanjakan yang berbeda.      

Tepat ketika Aruna dan yang lain hampir mencapai mobil Jeep mereka, sebuah rombongan yang tidak ia kenal memberi salam kepada suaminya. Seseorang berkacamata yang tidak asing tiba-tiba menyapa dirinya.      

Ia mempersilahkan Aruna untuk masuk ke dalam Jeep yang berbeda. Meminta perempuan tersebut menyerahkan tangannya. Ketika ia menjulurkan lengan kanannya, seseorang berkacamata tersebut mengeluarkan stetoskop dari dalam brankas kecil yang ia duga adalah tas seorang dokter.      

Aruna baru sadar saat ini dirinya sedang diukur detak jantung, tekanan darah, bahkan kondisi kehamilannya.      

"Apakah terjadi sesuatu padaku?"      

_Apakah Mahendra begitu khawatir karena semalam kita bercinta?_ pikirannya melayang kemana-mana.      

"Tidak" Ada senyum meneduhkan, "Kami hanya menjalankan prosedur, sebelum anda menempuh perjalanan," Lanjutnya.      

"Apa, em, dokter? Asisten dokter Martin?" Seseorang dengan kacamata tersebut mengangguk masih dengan senyum teduhnya.      

"Anda dan bayi anda, sangat sehat. Si cantik yang kuat," ujar lelaki berkacamata tersebut.      

Sebelum Aruna bertanya lebih jauh ada apa gerangan sampai asisten dokter Martin didatangkan dari Jakarta, "Silahkan, anda boleh keluar," dia sudah meminta perempuan tersebut untuk menuruni mobilnya. Menemui lelaki yang menunggu di luar, yang terlihat sedang bercakap-cakap serius dengan Raka serta Herry.      

Di saat keberadaan Aruna terlihat, lelaki bermata biru yang beberapa kali kedapatan mengerutkan dahinya ketika berkomunikasi dengan Herry maupun Raka, berubah cerah memasang senyumannya.      

"Apa istriku perlu memakai pengaman ibu hamil?" Telapak tangan kanan Hendra sedang menyambut kedatangan Aruna yang berjalan mendekati dirinya. Menangkap telapak tangan kiri sang perempuan, lalu merangkumnya dalam genggaman. Akan tetapi matanya fokus berkomunikasi dengan dokter yang baru turun dari mobil Jeep.      

"Boleh, sekedar meredam getaran. Selebihnya, semester 2 paling aman" Jawab lelaki berkacamata.      

Ketika rombongan menuruni penanjakan ternyata ada dua mobil lain selain jeep yang membawa Aruna.      

Perempuan tersebut berpikir mobil yang mereka tumpangi akan berakhir di hotel yang beberapa jam lalu menjadi tempat dirinya melepas lelah. Kenyataannya, ia berakhir di tanah lapang.      

"Woow," tanah lapang tempat parkir sebuah benda yang menjadikannya sadar, kenapa seorang asisten dokter ternama yang memiliki jadwal padat tiba-tiba memeriksa kesehatannya.      

Pesawat pribadi suaminya terparkir di sana. Sebuah pesawat yang dulu mengantarnya honeymoon di pulau Bali.      

Tiga mobil jeep berwarna merah, hitam, dan krem, berhenti tidak jauh dari pesawat tersebut.      

Aruna baru sadar makna kata pulang yang sempat di layangkan suaminya.     

Mereka benar-benar akan pulang kembali ke kota metropolitan tempat dimana pekerjaan suaminya sudah menanti disana.      

Bersama langkah yang dituntun sang pria, Aruna sempat menoleh sejenak menatap seluruh panorama yang masih bisa ia lihat. Mengunci ingatan tentang tanah kelahiran. Sebelum kakinya menapaki tangga, meninggalkan jejeran pegunungan-pegunungan indah yang perlahan hilang tertelan awan.      

Perempuan tersebut masih mengintip panorama di balik jendela, sebelum akhirnya sang suami mengelus punggungnya. Dan ketika ia berbalik sebuah kecupan datang masuk menyesap bibirnya.      

"I love you,"     

"Love you to,"      

The End     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.