Ciuman Pertama Aruna

III-320. Sukma



III-320. Sukma

0"Bukan suka dengan Air.."      

"Maksudnya?"      

"Aku suka berada di bathtub bersamamu, menghapus malam itu,"      

"Menghapus apa?" Seseorang yang tadinya terpejam kini membuka mata.     

Kepalanya terbalik. menunggu celoteh aneh yang bakal keluar dari bibir sang lelaki.      

"Menghapus malam dimana aku menangisi perempuan,"      

"Perempuan??" Bibir Aruna ditekuk sempurna. Menyatakan ia tak paham, "kau menangisi mommy? Di Bathtub?"      

Dan kepala lelaki berambut coklat memberi benturan ringan pada dahi Sang Perempuan.      

"Buat apa aku menangisi mami di bathtub, yang ada …" dia menghentikan kalimatnya. Membuang muka angkuh itu ke arah jendela yang membentang di sisi kiri tubuhnya. seolah-olah Mahendra ingin mengamati gemerlap bintang di langit atau abu-abu di bawah sana. kumpulan pepohonan yang terselimuti kabut.      

"Ayolah ceritakan.. Jangan membuatku penasaran," Aruna benar-benar membalik tubuhnya. Dia bersila pada dasar genangan air. Menatap lelaki yang terkekeh detik ini.     

"Jadi.. em.. ceritanya panjang," mata biru tertawa lagi. "Entah sebenarnya kau benar-benar tidak tahu atau... Kamu sedang lelah, bagaimana bisa? Tak ingat kau pernah membuatku menangis?"      

"aku yakin kau menangis saat punggung ku terluka," ujar Aruna.      

"Aku bahkan pernah menangis beberapa kali sebelum itu, menangis setelah puluhan tahun air mataku kering karena menangis mommyku," dia yang ber monolog, menarik tubuh Perempuan supaya lebih dekat.      

"Apa itu gara-gara aku?"      

"Jika detik ini kau bukan istriku yang paling kucinta, mungkin mulutku sudah tidak tahan untuk mengatakan: Apa isi kepalamu?!" Telapak tangan besar itu jatuh pada kepala istrinya lalu mengacak rambut sang perempuan yang memasang wajah mengerut.      

"Mana mungkin kau meneteskan air mata untukku.. di awal-awal kita bertemu. Mulutmu bahkan lebih tajam daripada tetangga sebelah," tetangga sebelah kiasan untuk mereka yang suka sinis.     

"Dasar!!" Mahendra tertawa bersama dengan kata umpatan.      

"Ya.. kecuali sidang perceraian kita.." mata berbinar Aruna meredup mengingat hari-hari sulit ikatan pernikahan di antara keduanya.      

"Dan malam ketika seorang perempuan yang aku inginkan. Meninggalkanku sendirian, membiarkan diriku melihat cakrawala merah. Sehingga mataku sama merahnya," dia yang bicara menghirup oksigen di sekitar, "Dalam keadaan serupa malam ini. _Berada diantara genangan air_. Aku menangisi perempuan yang memberi isyarat bahwa dirinya bakal mundur, pulang kepada orang tuanya,"      

Tubuh pria yang tengah bermonolog. Serta merta mendapat pelukan.      

"Kamu ingin menghapus malam itu?"      

"Ya! Tentu saja. Malam yang sangat buruk untukmu. Bukan sekedar untukku."      

Dan sang pria mendapatkan hisapan tepat pada bibir bawahnya, sesuatu yang mustahil ditolak. Kaki perempuan itu naik di atas paha dan semakin dekat.      

Saat-saat dimana sang pria pada akhirnya mendesah, sebab menerima himpitan. Bibirnya datang untuk menghirup yang tersaji di pelupuk matanya. Mereka memadu cinta di antara kabut asap dingin lereng pegunungan dan air suam-suam kuku berbau vanilla.      

***     

"Kembalilah ke kamarmu!" pintu ukir Jepara kamar utama rumah induk dibuka oleh seorang pria. Lelaki dengan dagu dipenuhi rambut halus. Mendorong 2 buah daun pintu sehingga pria di atas kursi roda yang berada di balik punggungnya. melintas lebih mudah. Masuk kamar pribadinya.     

Kalimat perintah yang baru terucap ditujukan kepada putrinya. Gayatri lekas berdiri.      

Raut wajah dua perempuan menyajikan 3 buah garis yang menyelinap di tengah-tengah alis. Siapa yang dapat menduga. Lelaki paruh baya yang kaku dan keras kepala berkenan membuka pintu untuk kedua perempuan yang ia kurung.      

"Aku tak sejahat yang kalian duga," dagu Wiryo bergerak ringan meminta sang putri keluar dari kamarnya.      

Gerakan berdiri dan mulai melangkah pergi ditunjukkan oleh Gayatri. Perempuan tersebut sempat menoleh sesaat menatap ibunya. Perempuan yang terbaring di atas ranjang kini perlahan duduk.      

Sukma menatap sinis suaminya sendiri.      

"Kamu sudah makan?" Kalimat tanya itu tidak mendapatkan jawaban. Sukma memalingkan wajahnya. Malas melihat keberadaan suaminya.      

Gerak tangan Wiryo menghasilkan langkah mendekat asistennya. Selang beberapa saat selepas Wiryo terlihat memasuki ruang ganti dan kembali mengenakan baju berbeda.      

Troli makan malam didorong oleh 2 orang asisten rumah induk. Tak lama kemudian Wiryo berupaya duduk di sofa. Di hadapannya hidangan makan malam yang harusnya disantap oleh istrinya, berakhir sekedar teramati.      

Tepat ketika dua asisten rumah tangga keluar dan menutup pintu kamar utama, lelaki paruh baya mulai berujar. "Kamu tidak ingin membawakan obatku? Kemarilah.. makan malammu bakal mendingin jika kamu abaikan,"      

Melihat Sukma tak bergerak dari tempat duduknya. Kalimat Wiryo yang kedua hadir memecah kebekuan, "Kenapa kamu selalu memakai kacamata buram untuk menangkap maksudku?"      

Kalimat metafora yang sering dimainkan Sukma detik ini malah dimanfaatkan oleh suaminya.      

"Kau yang memasang kaca mata buram di mataku, bagaimana aku bisa melihatmu dengan cara jernih," kadangkala kemarahan orang yang lebih berumur suka sekali memainkan kiasan yang menunjukkan bahwa mereka tak ingin berdebat tapi ada masalah yang harus diselesaikan.      

Wiryo berhenti menatap meja di hadapannya. Kini dia memandangi perempuan yang memunggungi dirinya. "Aku menyembunyikanmu, karena kamu belum tentu mampu menutupi perilaku nekadmu di depan graziella,"      

"mengapa kamu tidak katakan saja dengan jujur apa adanya sesuai isi kepalamu," perempuan ini akhirnya berbalik, berkenan melihat suaminya walaupun berupa tatapan tajam penuh kemarahan.      

"Apa kau, yakin dirimu tidak akan ngeyelan.. (menyelang) ketika aku menjelaskan?"     

Spontan Sang Perempuan membeku dalam diam. Dia mengatupkan bibirnya.      

"Kemarilah.. aku temani makan," walaupun masih ada gengsi yang melekat di dada bergemuruh Sukma. Nyatanya kaki perempuan yang tertangkap berwarna kuning langsat menyapa alas kaki putih yang terletak di bawah ranjang.      

Ujung-ujungnya sang istri tetap saja tersentuh dan berusaha menjalankan tugasnya. mengatur kebutuhan obat yang biasa dikonsumsi suaminya sebelum tidur. Dia yang membawa wadah putih berisi kumpulan pil dan kapsul, meletakkan benda tersebut dengan kasar. Kemudian duduk dan mulai membuka hidangan yang disajikan asisten rumah Induk.      

"ulangi!" Tiba-tiba Wiryo memerintah. Matanya menatap obat yang diletakkan sampai berbunyi brak di atas meja.      

Sukma tahu maksud lelakinya. Akhirnya perempuan tersebut kembali mengangkat obat yang tadi dia letakkan kasar. Kemudian obat pada wadah sukma upayakan lebih dekat dengan keberadaan suaminya. Sukma mengulanginya, sesuai perintah wiryo. meletakkan obat Wiryo dengan cara lembut dan halus.      

Dan Wiryo menjulurkan tangan meraih wadah putih berisikan butiran pil yang harus dikonsumsi.      

"Bagaimana kau masih percayai suara-suara palsu dari luar sana,"      

Suara palsu terkait alasan mengapa Sukma tidak banyak keluar dari rumah induk. Segala kebutuhannya dipenuhi dan segala keinginannya akan datang. Tapi tidak untuk berkeliaran di depan publik bersama suaminya atau sekedar terlalu lama berada di luar rumah induk.      

"Emang kamu pernah memberi tahu kenapa kamu suka sekali membatasi diriku," Sukma memojokkan suaminya.      

"Pernah,"      

"Kapan?? Kapan?! Aku bahkan tidak mengingatnya sama sekali," tampaknya kemarahan Sukma membuatnya sedikit berani kepada lelaki keras kepala yang sering dipanggil tetua.      

"Saat kamu masih sangat muda," yang bicara meraih pil kemudian penegaknya dengan sekali tegak didorong oleh air di dalam gelas bening yang terangkat dan masuk kedalam mulutnya.      

"Memang Apa alasannya??"      

Wiryo terdiam tidak membalas apapun, "cepat habiskan makananmu lalu istirahat," Hanya itu yang Wiryo katakan menutup percakapan.      

"Apa karena aku terlalu cantik saat muda?"      

"Bisa jadi.." ungkap wiryo berusaha menaiki kursi rodanya kemudian menuju ranjang.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.