Ciuman Pertama Aruna

III-318. Lilin Dan Vas Bunga



III-318. Lilin Dan Vas Bunga

0Langit menggelap dan udara mendingin. Pegunungan adalah tempat yang paling tepat untuk semua hal yang beraroma pemenuhan hasrat.      

Dia yang memejamkan mata sedang memenuhi hasratnya. Bahkan pertanyaan yang di curi-curi dari cara si dia yang sedang memuja rasa, tak mendapatkan jawaban.      

"Kau menginginkanku," tidak ada sahutan kecuali sesapan pria tersebut. Dia menyesap lebih dalam. menikmati candu yang memabukkan kemudian berpindah menelusuri leher. Seolah tak puas dengan rasa yang ia cecap, sang pemuja naik ke atas. Kembali bermain dengan lidah perempuannya.      

Perempuan dengan manik tertutup sudah mulai gelisah, ketika sang pemuja secara mengejutkan melepas tautan mereka.      

Gerakan melepas baju tertangkap mata. Kain yang membungkus tubuh lelaki bermata biru turun dan tergenggam oleh tangan kanannya. Anehnya, kakinya juga menuruni ranjang.     

Dia tersenyum melihat sang perempuan mengerutkan kedua alisnya hingga tiga buah garis tercipta di dahinya.      

"Aku mandi dulu," Katanya, meninggalkan perempuan yang masih terbengong, "Kau belum makan dengan benar. Sebentar lagi pesananku datang. Kalau aku belum keluar dari kamar mandi, tolong buka pintunya,"      

Padahal si pria yang tengah bicara tersebut lah yang kemungkinan sedang lapar.      

Aruna spontan meraih bantal di samping tubuhnya. Tubuh yang mencoba mencari kesadaran bahwa ia detik ini ditinggalkan setelah sempat mencapai kegelisahan.      

Perempuan bermata coklat tersebut melempar bantal yang berada di telapak tangan kanannya pada lelaki yang detik ini menampakkan punggung. Sebab, dia mulai melangkah menuju pintu kamar mandi.      

Punggung itu bahkan masih membiru, bekas tragedi yang kabarnya terjadi di sebuah ruangan bawah tanah Djoyo Rizt hotel.      

Aruna menyesal membuang bantal ke arah punggung suaminya, walaupun dibalas dengan kekehan lelaki bermata biru. Selepas mengamati benda penyangga kepala yang digunakan untuk tidur —jatuh di lantai, kemudian ia ambil dan diletakkan pada kursi di dekatnya.      

"Kau tahu, kenapa aku pergi?" Aruna menggeleng mendengarkan pertanyaan Mahendra. Mata pria itu masih tertuju pada bibirnya. Siapa yang bisa menahan bibir lembut, mungil, dan menggoda. Terutama warna merah yang berpadu dengan permukaan tipis. terasa manis ketika dicecap.      

"Karena kamu dan baby belum istirahat," Suaranya kembali menyapa. Memberikan tatapan hangat selepas mata itu berpindah pada perut yang sudah membuncit.      

Aruna yang mendengar kalimat tersebut dengan posisi setengah duduk, kini membaringkan dirinya. Dia terbaring nyaman di tengah-tengah ranjang berukuran besar. Pembaringan berwarna putih dengan langit-langit kayu dan lampu yang tersembunyi di dalam lima mahkota bunga tulip yang menjulur dari atas ke bawah. Desain yang sangat indah, benaknya.      

Detik berganti menit. Lampu tersebut meredup, lalu padam sebab mata perempuan yang menatap benda yang memancarkan cahaya tersebut mengatup. Dia tertidur.      

.     

.     

Pintu kamar VVIP tersebut diketuk berulang kali, Dan pada akhirnya lelaki yang baru keluar dari kamar mandi membuka daun pintu dengan bahan kayu tersebut.      

Troli makanan didorong ke dalam ruangan berukuran besar yang dilengkapi sebuah meja kayu futuristik, terletak di dekat kaca transparan membentang pengganti dinding.      

Mahendra meminta sang waitres menyalakan lilin bersanding dengan sebuah vas yang berisikan Baby breath, bunga dengan nama lain Gypsophila paniculata. Bunga lambang cinta abadi, favorit lelaki bermata biru.      

Bunga tersebut berpadu mawar merah yang belum merekah sepenuhnya. Tampak semakin cantik hingga membuat senyum lebar dan lesung pipinya menggores sempurna.      

Lelaki tersebut sudah mempersiapkan baby moon dadakan selepas ia tiba di Surabaya —malam itu ketika istrinya sudah tertidur lelap. Beberapa daftar keinginannya telah sampai pada salah satu kolega lama -sesama pengusaha hotel-, pemilik 'Plataran Bromo'.      

"Selamat menikmati, tuan," dua orang waitres keluar dari kamar selepas mendapat anggukan Mahendra.      

Dia yang masih bersedekap mengamati peletakan benda dan hidangan makan malam di atas meja kayu. Sekali lagi sempat merapikan, sebelum akhirnya si perfeksionis ini merasa semuanya sempurna.      

Mendorong kakinya berjalan mendekati istrinya. Mengamati mata terpejam. Ia meletakkan kepalanya di sebuah bantal yang sama dengan perempuan mungil.      

"Bangun. Bangun lah, sayang " tangannya meraba pipi perempuan yang hilang terbawa mimpi.     

Hampir saja Mahendra tidak tega membangunkan Aruna, akan tetapi perut yang sedikit terbuka itu bergerak —sangat samar, membuat mulutnya ternganga. Seperti melihat keajaiban.      

Dia memilih duduk, membuka lebih lebar kaos yang dikenakan istrinya. Sekali lagi keajaiban itu terjadi. Sangat Samar. Sebuah gerakan yang mustahil dilakukan oleh perempuan yang hilang kesadaran.      

Perut Aruna benar-benar bergerak membuat telapak tangan besar itu tak tahan untuk tidak menyentuhnya, "Kamu belum tidur ternyata," dia bicara dengan wajah berbinar binar.     

"Apa kamu lapar, baby?" sayangnya tidak ada gerakan lagi, "Ayolah, beritahu Daddy," Dia masih enggan menyerah. Wajahnya sontak memelas, "Ayolah," saking penasarannya, ia letakkan telinga pada perut istrinya. Dan ternyata perempuan yang perutnya mendapatkan perlakuan unik dari suaminya menyadari sesuatu dan membuka mata.      

"Dia bicara apa?" Suara Aruna menyapa. Tangannya naik mengusap rambut kecoklatan Mahendra yang masih menempelkan kepala di atas perutnya.      

"Tadi waktu kamu tidur, baby bergerak," lelaki bermata biru bangkit dari caranya meletakkan telinga di atas perut istrinya. Matanya berbinar, antusias menjawab pertanyaan istrinya.      

"Waktu aku sentuh, sayangnya berhenti," wajah berbinar berubah sedih.      

Perempuan yang diajak bicara Mahendra sempat terkekeh. Sebelum duduk, mengikuti duduknya Mahendra.      

"Masih 19 minggu, wajar kalau belum banyak bergerak," Aruna menghapus wajah sedih lelaki tersebut.      

"Mungkin baby lapar, ayo kita makan," tangan sang pria menengadah meminta telapak tangannya disambut oleh istrinya.      

Ketika telapak tangan tersebut mendapatkan sambutan. Dia mengiringi langkah Aruna menuju meja kursi di bawah dinding kaca transparan —dan ketika menatap panorama di luar, langit yang bertabur bintang termasuk bulan sabit di angkasa benar-benar jelas tertangkap mata.      

Keduanya seolah berada di dunia Fantasi. Lereng pegunungan minim dengan lampu dan jauh dari bisingnya kota metropolitan, jadi sangat wajar tatkala hamparan langit seperti begitu dekat dengan bumi —sampai sinar-sinar bintang itu seolah bisa diraih menggunakan telapak tangan.     

Aruna masih terkagum-kagum dan tersita oleh panorama malam ini ketika Mahendra menegurnya untuk duduk. Dia baru sadar ada yang lebih mengagumkan di hadapannya.     

Meja dengan lilin-lilin temaram, vas berisikan bunga cantik, sendok, garpu, dan semua peralatan yang tersusun presisi. Belum lagi ketika Mahendra membuka satu persatu makanan yang tersembunyi di dalam wadah tertutup. Jelas malam ini sudah dipersiapkan dengan sempurna.      

"Selama pernikahan kita, entah aku lupa atau jangan-jangan aku terlalu sibuk. Belum pernah sekalipun kita makan berdua, menjamu istriku dengan cara benar," pria itu bicara sambil melirik mata Aruna.      

"Pernah," Si perempuan mengambil piring yang ada di hadapannya.      

"Oh' pernah, ya?" Ada alis terangkat.      

"Tentu saja pernah, walaupun.. akhirnya aku ditangkap kak Anantha lalu dibawa pulang," Aruna terkekeh menertawakan hari-hari sulit hubungannya dengan Mahendra.      

"Itu hari yang sangat berat untukku," monolog Mahendra menghentikan tawa istrinya.      

"Bagaimana dengan sekarang? Apakah kita sudah bahagia?" Tanya Aruna.     

"Aku mengatakan berat, bukan berarti detik itu tidak bahagia. Atau hari ini jauh lebih bahagia, semua waktu yang aku lalui sama bahagianya semenjak kau datang. Seberat apapun yang kita lalui, sebab istriku spesial kapanpun, dimanapun," Mata biru itu menatap penuh binar manik coklat di hadapannya.      

"Tunggu-tunggu! Dalam rangka apa aku dipuji seperti ini?" Ada ekspresi terheran dari Aruna.      

"Em, apa ya??" Lesung pipi itu terlihat kembali, "Kita tidak punya honeymoon yang layak kita syukuri, jadi aku minta baby moon yang bisa kita banggakan,"      

"Oh' oke," perempuan tersebut mengangguk ringan sambil tertawa. Dia tahu suaminya berupaya memilih tiap-tiap kata dengan sangat hati-hati. Terlihat dari cara bicaranya yang lambat. Matanya yang berputar beberapa kali. Mahendra pasti ingin menciptakan suasana romantis malam ini.      

Walaupun romantis bukan bagian dari kebiasaannya. Akan tetapi usahanya malam ini lebih dari cukup untuk menghibur, sekaligus membuat wajah Aruna merah. Antara ingin tertawa, sekaligus terkesan dengan upaya lelaki bermata biru.      

"Makanlah yang banyak, setelah ini kita mandi," ini pernyataan Mahendra.      

"Kita mandi? Bukankah kamu sudah mandi?"      

"Tapi kamu belum.. dan aku ingin mandi lagi?"      

"Oh' aku tahu.. kau minta kompensasi untuk meja makan ini,"      

Lelaki bermata biru terkekeh.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.