Ciuman Pertama Aruna

III-317. Gemerlap Lampu Tertelan Awan



III-317. Gemerlap Lampu Tertelan Awan

0Nafasnya sempat naik turun. Tangannya mengelus-elus dada, dan dia tanpa sengaja memukul lengan Vian yang besar dengan tangan kecilnya. Walaupun pada akhirnya tangan kecil gadis tersebut yang merasakan sakit.      

"Kau! Aku pikir, kau hantu!" Gertak Kihrani. Menghela nafas lega sembari diam-diam jari telunjuknya menghapus bulir di sudut mata.      

Selepas gadis tersebut bisa menormalkan kembali konsentrasinya. Lelaki yang baru saja mendapatkan pukulan di lengannya, terdapati menyodorkan jam tangan yang ia cari.      

Mata Kihrani yang masih merah bertemu dengan netra sendu yang menyalakan cahaya melalui handphonenya.      

Sebenarnya hanyalah invention di bawah wajah tersebut yang membuat Kihrani diterpa rasa takut luar biasa, "Turunkan handphone-mu!" Dia risih melihat wajah Vian diatas nyala cahaya handphone.      

"HAaa.." bukannya menurunkan handphone, Vian malah menggodanya. Benar-benar menjadikan dirinya seperti hantu. Membuka mata lebar. Senyum mengerikan ala Joker, lalu tertawa cekikikan. Benar-benar tidak tahu diri.      

Tentu saja, wajah dengan hidung lancip mendapatkan dorongan dari telapak tangan gadis seragam hitam.      

"Kau takut?!" Nadanya mencela, seolah puas dengan ekspresi gadis di hadapannya.      

"Tidak!!"      

"Mengaku saja," Tak puas ia menggoda.      

"Siapa yang takut! Cuma terkejut!" Kilah gadis tersebut.      

"Cih" Ia berdecih. Memperhatikan gadis yang menyelipkan seutas rambut ke belakang telinga untuk dirapikan. Sesaat kemudian ia berdiri. Menepuk celana di bagian belakang supaya bersih. Disusul menurunkan celananya yang tergulung ke atas. Lengan bajunya pun, ia kembalikan seperti semula -tanpa gunungan-      

Masih dengan menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga, Kihrani berniat meraih sepatu pantofelnya yang tergeletak sembarangan.      

Ternyata si pengganggu yang baru saja ikut berdiri, lebih dahulu meraih sepatunya kemudian meletakkan sebuah benda berwarna hitam yang bagian atasnya tertutup -tanpa tali- tersebut di hadapan berdirinya Kihrani.      

Tangan gadis yang detik ini sedang menyelipkan kaki putihnya dan sangat kontras dengan suasana kondisi gelap. Mendapati sesuatu diletakkan di atas telapak tangannya.      

"Kalau kamu ingin mengembalikannya sekarang, mungkin masih ada waktu," suara Vian mengusung intonasi lambat. Jauh dari kebiasaan Kihrani yang mengganggunya dengan kalimat-kalimat menjengkelkan.      

Gadis tersebut bertemu mata dengan Vian, yang secara mengejutkan tangannya ditarik. Diajak berlari, akan tetapi bukan untuk masuk ke dalam rumah induk.     

Lelaki yang jauh lebih tinggi dan memiliki langkah lebih lebar dari Kihrani, dibawa berlari mengelilingi separuh rumah megah tersebut.     

Langkah mereka berakhir di halaman depan rumah keluarga Djoyodiningratan. Sebuah pelataran dengan air mancur menari tepat di tengah-tengah sana.     

Punggung gadis tersebut didorong maju ke depan, ketika sebuah mobil yang beberapa detik lalu dimasuki oleh pemilik jam tangan tersebut melintas.     

Kihrani sudah cukup terlihat, tapi mobil tersebut sepertinya tak akan mungkin berhenti. Terus bergerak menuju gerbang yang perlahan-lahan terbuka secara otomatis.      

Gadis tersebut mengamati gelang jam di telapak tangan. Nanar.      

.     

.     

"Stop, berhenti! Berhenti sebentar, ada yang ketinggalan," Seorang lelaki membalik wajahnya menatap kebelakang. Gerakan yang diusung berikutnya adalah membuka pintu mobil. Berlari mengitari seperempat jalan berbentuk lingkaran.      

Thomas berdiri di hadapan gadis yang menundukkan wajahnya, menatap jam tangan yang tadi ia lempar.      

"Kau, benar-benar gigih. Keras kepala!"      

Sapaan Thomas membuat Kihrani terbelalak. Gadis tersebut buru-buru menyelipkan benda yang ia pegang ke dalam saku jaket lelaki di hadapannya.      

"Jangan membuangnya di hadapanku, lakukan ketika aku tidak melihatnya!" Ini bukan sebuah permintaan. Kihrani merajut kalimat perintah. Gadis tersebut lekas berbalik, tak memberi sang lelaki kesempatan bicara.      

"Hai," Dan kata 'hai' yang ini tak mampu ia abaikan. Tubuhnya bergerak spontan separuh bagian.      

"Aku akan menyimpannya. Tenang saja," gadis itu mengangguk, "Terima kasih," lanjut Tom, mengulas senyum tipis.      

"Aku tidak sungguh-sungguh membuang barang-barangmu. Aku memasukkannya ke dalam kardus, lalu kusembunyikan di bawah ranjang yang dulu tempatmu terbaring." Sejujurnya Kihrani sudah meletakkannya di luar rumah. Di dekat tempat sampah yang tiap saat bisa diambil oleh petugas kebersihan kampung.      

Ketika gadis itu tersadar, beruntungnya barang-barang tersebut belum menghilang dari tempatnya.     

Dalam kondisi perang batin yang ikut kembali, barang-barang tersebut kemudian didorong masuk ke dalam kolong sempit di bawah ranjang. Dia pikir tak masalah benda itu usang di dalam sana.      

"Biarkan barang-barangku di sana. Percayalah, aku akan mengambilnya suatu saat nanti." suara Thomas, seolah memberi harapan pada pertemuan mereka suatu saat nanti.      

"Oke," Gadis tersebut tak mampu berucap lebih.      

Entah sudah berapa kali tangan Thomas terangkat lalu melambai. Mengucapkan perpisahan, bersama dengan kata 'Bye'.     

Bedanya, dulu dirinya yang melangkah pergi. Membalik tubuhnya kemudian meninggalkan keberadaan lelaki tersebut.     

Malam ini, Thomas lah yang membalik punggungnya, lalu berjalan meninggalkan dirinya sendirian.      

Kihrani baru ingat, ini adalah kata 'Bye' keempat kali di antara mereka. Di teras minimarket. Di rumah sakit. Di ruang putih bawah tanah. Dan Hari ini Di pelataran rumah megah Djoyodiningrat. Semua masih teringat jelas dalam ingatan gadis berambut panjang tersebut.      

Sampai Thomas masuk ke dalam mobilnya, Kihrani masih menatap punggung lelaki tersebut.     

Punggung yang berakhir dengan memberi senyuman.     

Senyum mahal Thomas.      

Senyum yang hadir hanya dua kali selama perjumpaan keduanya.      

Senyum pertama bersamaan dengan kekeh tawanya menjahili Lala yang sedang bahagia sebab impian makan ayam goreng super besar gadis kecil tersebut, dipenuhi oleh Thomas.      

Sebuah resto cepat saji dengan maskot badut berhidung merah. Dimana Tom kala itu menyamakan dirinya dengan badut hidung merah yang jahil, sesekali mencuri ayam Lala. Lelaki tersebut baru mau mengakhiri kenakalannya selepas suara tangisan gadis kecil itu terdengar.     

Senyum lebar kedua ialah pada detik ini. Sebelum kepala lelaki tersebut menyusup ke dalam mobil, menatap Kihrani untuk terakhir kali.     

Kemudian mobil merah tersebut melaju, membawa lelaki yang menyusup dalam hidupnya lenyap begitu saja.     

Seperti hadirnya yang tiba-tiba. Dia pun hilang secara tiba-tiba.      

.     

.     

"Apakah itu untukku? Bella,"      

(Bella artinya Cantik)      

Gemerlap lampu kota metropolitan tertelan awan. Pesawat Boeing 137E membawanya mengudara hingga 35.000 kaki di atas permukaan laut. Sejak duduk di kursi ini. Lelaki tersebut mengeluarkan lagi jam tangan yang terselip di dalam jaketnya.      

Menatapnya lamat-lamat. Dibersihkan dari air yang masih membasahi seluruh permukaan benda yang jarumnya berdetak. Detak jarum jam itu seolah membangkitkan detak jantungnya sendiri.      

Sesungguhnya, Thomas tak benar-benar menatapnya. Lelaki tersebut tengah mengembara melintasi ruang dan waktu, walaupun tatapannya masih jatuh pada gerakan jarum jam di tangannya.      

Ia baru terbangun dari lamunannya selepas suara Leo mengucapkan kata 'Bella'. Lelucon tersebut membuat jam tangan yang ia pegang masuk kembali ke dalam saku bajunya.     

Thomas membuang tatapannya ke jendela. Langit yang gelap, membuat suasana hatinya ikut muram. ia sama sekali tidak mau menciptakan prediksi, terkait apa yang bakal terjadi nanti. Lelaki ini berupaya meyakinkan diri, suatu saat dirinya bakal kembali.      

Pangeran Empang Kuala pergi meninggalkan Dumai.      

Apakah ini bermakna melepas? ataukah menyelamatkan Mayang Sari?      

Tiada yang tahu.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.