Ciuman Pertama Aruna

III-316. Pendar Kecil Padam



III-316. Pendar Kecil Padam

0Detik berikutnya ada seberkas wajah yang menggambarkan kesan penuh kekecewaan, dan anehnya kemurungan Thom menciptakan rasa senang secara tiba-tiba bagi Vian.      

"Hah! sepertinya aku sedang kacau," Vian menggelengkan kepalanya.      

Benda itu telah sampai di hadapan Thomas.      

Telapak tangan besar milik lelaki yang ada di hadapannya, disentuh oleh Kihrani. Kemudian dibalik sehingga menengadah. Diletakkannya sebuah jam tangan bermerek dengan lambang insecta yang memiliki 3 garis warna.      

"Mengapa? Kenapa harus dikembalikan?" pandangan Thomas yang awalnya jatuh pada benda di atas telapak tangannya, kini berpindah di wajah gadis yang seolah tak ingin menatapnya.      

"Em, aku sudah merapikan barang-barangmu yang tertinggal di rumah —yang tidak mungkin kamu gunakan lagi," Gadis tersebut masih tak mau menatap lawan bicaranya.      

"Kau rapikan?" Ada anggukan dari pertanyaan Thomas, "Kau membuangnya?" Gadis tersebut mengangguk lagi.      

"Dan benda ini tak bisa, em, aku juga tidak sanggup menjualnya. Kurasa, jam tangan ini lebih baik aku kembalikan pada pemiliknya," Ada jari saling tertaut kala kalimat tersebut terucap.      

"Oh' jadi begitu," Thomas menggenggam benda yang ada di telapak tangannya kuat-kuat. Secara mengejutkan dan tanpa berbasa-basi, lelaki tersebut melemparnya tanpa beban. Seolah dengan begitu, ia bisa melampiaskan rasa kecewanya.      

Bunyi 'Blup' hasil benturan air dengan jam tangan mewah tersebut membuat seorang gadis mengangkat kedua tangannya dan membekap mulutnya —tak percaya pada tindakan lelaki di hadapannya.      

Gadis tersebut spontan membuat dorongan dengan tangan kanannya pada dada Thomas, "Apa yang kau lakukan!!"     

"Kau ingin membuangnya, tapi tak sanggup bukan? Aku hanya membantu," Ringan jawaban Thomas, seolah dengan sengaja menyindir gadis di hadapannya.      

"Huuh!!" ada desahan nafas seiring tatapan tajam, menatap lawan bicaranya.     

Kihrani dengan spontan berjalan mendekati danau, melepas sepatu kerjanya. Pantofel warna hitam terlempar, begitu juga dengan kaos kaki. Celananya digulung ke atas. Sambil berjalan tergopoh-gopoh, gadis tersebut juga tertangkap menggulung lengan bajunya.      

"Kenapa kau ingin mengambilnya?" Thomas tidak mengerti, "kau ingin membuangnya, bukan?"      

Kihrani tidak menjawabnya. Gadis yang kini bersiap menceburkan diri ke dalam danau sekedar menoleh, dan mengintimidasi lelaki aneh tersebut dengan tatapan penuh kebencian.      

"Aku mengembalikannya kepadamu bukan untuk dilempar dan dibuang!!" Suaranya lantang, meneriaki Thomas yang tengah menatapnya. Seperti menabuh genderang pertengkaran yang aneh kala ia tak cukup puas hanya dengan menyorot penuh benci lelaki tersebut.      

Thomas spontan menarik lengan gadis yang sudah memasukkan ujung kakinya ke dalam air danau, "Jangan gila! Ini sudah malam. Kau tidak akan menemukannya,"      

"Kau yang gila!" Kihrani menepis tangan Thomas yang berusaha menjerat lengannya. Memastikan gadis tersebut tidak masuk lebih dalam untuk mencari jam tangan di dalam air yang gelap, hanya bermodal cahaya dari handphone.      

Mata Kihrani menyorot awas tempat —ketika dia mengamati terbangnya jam tangan tersebut. Ia masih ingat, benda dengan lambang insecta dan memiliki tiga garis warna tersebut jatuh di tepian dangkal danau.     

Entah mengapa gadis yang kini hanya bermodalkan cahaya handphone, benar-benar ingin menemukannya dan menyerahkan kembali kepada Thomas.      

Perdebatan terjadi di antara keduanya, ketika Thomas ingin menarik kembali tubuh Kihrani untuk kesekian kali. Menghalangi gadis tersebut melakukan hal bodoh dengan mencari benda di dalam kegelapan bersama air danau yang mendingin.      

Suara panggilan handphone hadir di tengah-tengah mereka. Thomas ingin mengabaikannya. Menyelesaikan pertemuan terakhir yang seharusnya menjadi bagian yang bisa membuat hatinya tenang ketika terbang, pergi ke luar negeri.      

Sayang sekali, telepon ini tidak mungkin diabaikan.      

[Thomas, sudah saatnya kita berangkat. Kau dimana?] Suara Leo hadir menyapa. Membuatnya tak kuasa menahan diri lebih lama.      

"Hai," panggil Thomas pada Kihrani. Tapi sepertinya gadis tersebut sengaja mengabaikannya, "Hah! Sial".     

Dirinya yang tak bisa lagi mencapai keberadaan Kihrani —kecuali harus melepas sepatu, dan hal tersebut mustahil untuk dia yang harus secepatnya menuju bandara. Akhirnya hanya bisa menatap punggung gadis keras kepala sambil mengucapkan kalimat perpisahan yang menurutnya begitu menyebalkan pada detik ini.      

"Aku harus berangkat, hah!" Pria itu memekik sebal di akhir kalimat.      

Mulutnya ingin mengatakan banyak hal, termasuk kalimat 'Jaga diri baik-baik, salam ke bapak, Riky, dan Lala'.      

Banyak, sangat banyak sekali kalimat yang tertahan di mulutnya. Akan tetapi ketika tubuh Thomas sudah berbalik, gadis yang tertangkap keras kepala tersebut sama sekali tidak membalik tubuhnya untuk melihatnya.      

Dia meninggalkan danau.     

Meninggalkan pendar kecil di tepian danau.      

.     

.     

"Tom," suara Leo menyapa lelaki yang baru datang.      

Thomas meraih tas punggungnya yang tergeletak di atas meja, tak jauh dari meja makan. Memasukkan tangan kanannya pada tali bahu yang kemudian disusul dengan gerakan memanggul ransel tersebut. Sebelum membalik tubuhnya menatap Leo, tanpa memberi jawaban.      

"Aku senang, kamu ikut dengan kami," demikian Leo berucap.     

Kembali tak ada jawaban. Lelaki tersebut malah mengambil langkah menuju lorong, yang kemudian disusul oleh Leo.     

Tom menarik kopernya yang berada di ruang tengah. Berjalan tergesa-gesa sebelum akhirnya mencapai ruangan hangat yang berisikan kumpulan foto keluarga Djoyodiningrat.     

Ruangan kedua sebelum mencapai pintu utama.      

Di ruangan tersebut ia berhenti sebab tetua Wiryo dan Madre Graziella tengah duduk di sana. Tatkala perempuan tersebut berdiri, para asisten rumah induk membawa koper-koper menuju arah pintu keluar. Termasuk koper Thomas yang ikut di ambil oleh seorang asisten rumah tangga.      

"Dimana Sukma? Apa dia tidak mau menemuiku, sebelum aku pergi?" Graziella berucap demikian sebab mereka sempat bersitegang.      

"Sukma sedang sakit," jawab Wiryo singkat.      

"Oh', aku boleh men-,"      

"Nanti aku sampaikan," Pria paruh baya tersebut menutup komunikasi.      

"Dimana putrimu? Minimal, aku ingin mengucapkan terima kasih sebab masih disambut dengan baik di rumah ini." kembali Graziella bersuara, mengacuhkan Wiryo yang tampak enggan memberitahu keberadaan istri dan putrinya.      

Tangan Wiryo terlihat mencengkeram erat pegangan kursi rodanya. Sebelum akhirnya seorang asisten ia panggil untuk menyampaikan kehendaknya.      

Beberapa menit kemudian, perempuan yang bahkan tidak berkenan menatap wajah ayahnya hadir dengan penjagaan khusus dari Andos. Lelaki tersebut mengiringi setiap gerak Gayatri, termasuk ketika Graziella menyampaikan rasa terima kasihnya dengan bahasa Itali. Kedua perempuan tersebut bahkan sempat berpelukan.      

Masih dengan wajah datar, Gayatri lekas dibawa pergi ke belakang. Walaupun Graziella belum benar-benar mencapai pintu keluar.     

.     

.     

Pendar kecil di tepi danau padam. Tak ada lagi cahaya kecuali abu-abu yang kian gelap, beriringan dengan musik yang menjadi simbol elegi menyayat hati. Rintihan gadis muda tertangkap berulang kali menghapus air matanya diam-diam.      

Harusnya tadi dirinya bisa membalik tubuhnya dan bertegur sapa terakhir kali sebelum Thomas benar-benar pergi. Sayangnya dia tidak ingin mata merah berkaca-kaca yang sebenarnya sudah menjatuhkan bulir air, diketahui oleh lelaki yang sempat menyusup dalam kehidupannya.      

Thomas harus menempuh perjalanan panjang selama 18 jam menuju negara lain di belahan benua yang berbeda dengan Kihrani. Dan gadis yang kini tengah menangis dalam kegelapan, tidak ingin menjadikan dirinya bagian dari beban untuk kepergian lelaki tersebut.     

Siapa dirinya bisa menghentikan rencana yang sudah matang?.      

Antara tahu diri dan gengsi yang terajut sempurna, Kihrani luruh. Duduk di rerumputan tepian danau. Kepalanya hilang ditelan oleh kedua lututnya. Menutup diri dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Bersembunyi di dalam kegelapan supaya pendar kecil ini tidak ketahuan telah melelehkan dirinya sendiri.      

Dia enggan berdiri. Butuh sedikit waktu supaya ia bisa bangkit dan waras kembali.      

Kakinya masih lemas. Perutnya mendadak kaku. Nafas sesak menerpa dirinya secara tidak masuk akal. Jadi yang dia butuhkan detik ini ialah berdiam diri.      

Diam tenang dalam kegelapan. Mengais kewarasan. Setenang mungkin ia usahakan. Kalau perlu rumput di sekitar dirinya tak tahu, ia sedang mengisak dan berduka hebat.      

"Apa ini yang kamu cari?" Kihrani tersentak. Wajahnya terangkat dan tubuhnya sempat mundur. Dalam kegelapan, tiba-tiba ada suara menyapanya.      

Nafasnya sempat naik turun. Tangannya mengelus-elus dada, dan dia tanpa sengaja memukul lengan Vian yang besar dengan tangan kecilnya. Walaupun pada akhirnya tangan kecil gadis tersebut yang merasakan sakit.      

"Kau! Aku pikir, kau hantu!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.