Ciuman Pertama Aruna

III-315. Pendar Didekat Danau



III-315. Pendar Didekat Danau

0Menyadari dia salah mengumpulkan asisten rumah induk secara serentak, lelaki berhidung lancip dengan mata sendu tersebut mengubah permintaannya dengan hanya memanggil masing-masing manajer ataupun PIC utama pada tiap kelompok untuk menghadap kepada dirinya.      

"Tetua Wiryo tidak ingin siapapun berbicara tentang dikurungnya oma Sukma dan nona Gayatri," mereka mengangguk kepada lelaki yang sesungguhnya cukup asing. Hanya beberapa di antara mereka yang tahu, Vian adalah tangan kanan kakek Djoyodiningrat tersebut.      

Kelompok strata tertinggi di antara mereka, yang mana diizinkan tinggal di luar rumah megah ini dan datang sesekali dalam rapat penting.      

"Terutama madam Graziella dan Leona. Keduanya tidak diizinkan mengetahui apapun terkait kejadian yang menimpa Oma sukma dan nyonya Gayatri sampai benar-benar pergi dari rumah ini," yang mendapat perintah menganggukkan kepala sekali lagi. Informasi yang disuarakan oleh Vian lekas menyebar seperti angin menerbangkan bunga dandelion.      

.     

.     

"Gayatri," Sukma bangkit dari duduknya selepas pintu kamarnya terbuka.      

Seorang laki-laki menundukkan kepalanya, mengucapkan kalimat maaf mendalam. Kemudian tuan puteri keluarga ini dibawa masuk dengan mata merah berkaca-kaca.      

Keduanya berpelukan. Andos yang melihat hal tersebut sempat ikut terenyuh. Ia mengingat almarhumah ibunya dan tentu saja almarhumah istrinya. Pria tersebut tidak habis pikir, bagaimana tetua Wiryo sengaja mengurung perempuan-perempuan berhati halus seperti mereka.      

"Anda berdua membutuhkan sesuatu? Minuman atau makanan, mungkin ?" Inginnya Andos segera pergi lalu mengunci kamar utama rumah induk tersebut.      

Kenyataannya laki-laki dengan dagu dipenuhi rambut halus tersebut malah menawarkan sesuatu yang ia rasa bisa meredam hati dua perempuan yang remuk sebab kelakuan misterius seorang suami dan ayah bagi putrinya.      

"Huuh," suara lelah Gayatri menerpa gendang telinga Andos.      

Lelaki yang terlihat sangar ini selalu kalah dengan hal-hal yang mampu mengingatkannya kepada kenangan tentang isteri dan putranya.      

"Andos, apakah menurutmu kita perlu memberitahu Mahendra?" Bukannya meminta minuman atau makanan, Gayatri meminta saran.      

"Jangan!" suara Sukma menginstruksikan ketidak-setujunya, "Biarkan cucuku menikmati perjalanan indah bersama istrinya. Wiryo berbuat seperti ini karena aku telah mengaku, menculik Anna,"     

"Mami??" Mata Gayatri melebar. Jelas dia terkejut dan baru mengerti, kenapa dirinya dan ibunya dikurung oleh Wiryo.      

"Oh' pantas," mata Andos berputar, pria brewok tersebut tengah memikirkan sesuatu. sebuah cara yang minimal bisa memperingan hukuman.     

***     

Semua orang masih terdiam tatkala menghadiri makan malam terakhir —sebelum kepergian Graziella dan putrinya, di meja makan rumah induk Djoyodiningrat.      

Graziella tak mengucapkan satu patah kata pun, begitu juga putrinya. Dan keengganan perempuan tersebut terkait berbicara merupakan bagian keberuntungan bagi beberapa orang di ruangan tersebut.      

Salah satunya Vian, -yang selalu berharap bibir dua perempuan di hadapannya tidak terbuka kecuali untuk memasukkan makanan.      

Leo yang biasanya banyak berkomentar terhadap hal-hal kecil, malam ini teralihkan oleh Tom yang berada di hadapannya. Di meja makan yang sama.     

Perempuan tersebut sempat melihat sebuah koper berdiri tegak pada ruang tengah tatkala melintasi ruangan tersebut, sebelum Leo menuju tempat dimana dirinya dan beberapa orang menikmati jamuan makan malam.     

Ransel yang tidak asing di matanya, tergeletak di salah satu meja yang masih dalam satu ruangan.     

Mata Vian mendapati gerak-gerik Leo, perempuan yang beberapa kali mencuri lihat cara Tom menyantap makanan. Tanpa bertanya pun, orang lain tahu perempuan di hadapan lelaki dengan rambut berkuncir tersebut sedang berupaya memberanikan diri mengawali interaksi. sayangnya sang lelaki sama sekali tidak bersuara.      

Gerakan sendok di atas piringnya pun, tak menimbulkan bunyi. Meja makan ini mendingin. Sedingin tak hadirnya empat dari lima anggota keluarga Djoyodiningrat.      

"Tak punya pilihan lain?" Vian berbisik lirih memecah kebekuan Tom. Berharap Tom membalas pertanyaannya.      

"Menurutmu?" Hanya itu yang dikatakan Tom. Kalimat balasan tersebut bahkan tak diiringi tatapan mata. Ia berbicara sambil menatap piringnya. Seolah ia takut makanan di atas lingkaran berbahan keramik putih tersebut akan hilang ketika tak ia perhatikan.      

Vian mengangguk, menutup percakapan singkat mereka.      

.     

.     

"Sampai sekarang, apakah tidak ada satupun anak buahmu yang bisa memprediksi kemana Anna dibawa pergi?" kalimat pembuka yang keluar dari bibir Graziella.      

"Andai aku tahu, tak perlu kamu bertany,a pasti sudah kukatakan padamu," jawaban Wiryo, Sungguh diluar dugaan.      

Vian hampir tersedak tatkala telinganya mendengar kalimat jawaban tersebut. Ternyata tertua melindungi kedua perempuan yang ia kunci di dalam kamar.      

"Okey! Bagaimana dengan prediksi, atau sedikit gambaran. Kira-kira, kemana putriku dan kapan Anna bisa ditemukan?" Graziella seolah mencari amunisi sebelum dia pergi -pulang ke Milan-.      

Walaupun dia terlihat begitu angkuh. Dari caranya bicara dan berpenampilannya, perempuan tersebut tetaplah seorang ibu. Wajah khawatirnya tertangkap jelas dari guratan-guratan rona raut muka nya.      

"Masalah Anna, lebih besar daripada yang kamu duga. Kalau kamu ingin tahu sebesar apa dan siapa yang terlibat di dalamnya, sampai dia tiba-tiba hilang. Silahkan bertanya langsung pada Leona," Kembali suara parau lelaki paruh baya menyapa.      

Leona yang namanya ikut tercantum pada kalimat Wiryo, spontan terkesiap. Buru-buru mengalihkan pandangannya kepada sang ibu.      

Wajah Graziella muram durja. Ingin marah tapi tak bisa. Bersedih tiada guna.      

Dibalik interaksi tersebut, Vian lah yang paling terpaku detik ini. Lelaki dengan mata sendu tersebut mendapati tetua Wiryo sekali lagi menutupi perbuatan istri dan putrinya. Ini kali pertama Vian mendapati kakek Djoyodiningrat tidak konsisten.      

Di tengah acara makan yang hampir usai, Thomas mengundurkan diri lebih awal. Dengan sedikit bicara dan minim gerakan, lelaki tersebut mendorong kursinya, suara gesekan kaki kursi ukir dengan lantai sempat terdengar sebelum ia meninggalkan meja makan.      

Vian berpikir lelaki tersebut minta izin sebab berniat ke kamar mandi, atau minimal membawa ranselnya dan disatukan dengan barang bawaan yang lain. Prediksi Vian salah, Thomas menyusup ke tempat berbeda. Ia menuju pintu keluar.      

Di dorong rasa penasaran, lelaki dengan mata sendu tersebut ikut bangkit membuntuti saudaranya.     

Sesuai dengan dugaan yang sempat melintasi kepala Vian. selepas membuntuti saudaranya. Ternyata Thomas menuju teras kemudian berlari menapaki rerumputan, pelataran sisi samping rumah keluarga Djoyodiningrat.      

Saat ini sudah cukup malam, seharusnya ia tidak berlari menjauhi cahaya hingga tertelan warna abu-abu akibat minimnya pencahayaan.      

Vian yang membuntutinya, menemukan cahaya lampu kecil yang dituju oleh Tom. Saking kecilnya pendar yang berada di dekat danau tersebut, seolah melayang di tengah kegelapan.      

Disaat kian dekat, lelaki bermata sendu menyadari —mengapa cahaya kecil itu seolah melayang di malam yang gelap.     

Ternyata ada seorang gadis yang mengenakan seragam ajudan dengan warna hitam pekat, kombinasi celana panjang dan kemeja yang panjangnya pun hingga ujung lengan. Rambutnya tak kalah legam. Diikat penuh ke belakang.      

Cahaya itu milik handphone sang gadis yang ia panggil Bomb.      

Vian melangkahkan kakinya pelan, dan berakhir menempelkan punggungnya pada pohon —dimana di bawah pepohonan tersebut terdapat orang yang sedang berbicara.     

Tampak sekali Vian detik ini terlegitimasi sebagai makhluk kepo yang sedang mencuri dengar.     

Dia hampir tidak yakin, mengapa ia melakukan hal sekonyol ini.      

Sesaat setelah menghela nafas, ia mencoba menguatkan norma-norma kewarasan —bahwa mencuri dengar adalah kegiatan yang bodoh. Tidak ada alasan kuat, dirinya perlu melakukan hal tersebut.      

Setelah perang batin, lelaki tersebut berhasil melangkahkan kakinya.     

Kakinya baru meninggalkan jejak tiga langkah, ketika gendang telinganya mendengar suara Thomas, "Sudah menunggu lama?".     

"Oh' tidak. Tidak masalah. Aku sudah izin pada bapak. pulang telat,".     

Selepas kalimat jawaban gadis tersebut menghantam gendang telinga Vian. Bukannya pergi, lelaki yang baru melangkah sebanyak tiga langkah tersebut malah kembali menempelkan tubuhnya pada batang pohon. menciptakan persembunyian yang sempurna.      

"Em, aku-" Di malam gelap minim cahaya dan hanya terdapat gemerlap lampu dari rumah megah, tak jauh di sana. Gadis tersebut terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, "Ingin mengembalikan ini," sialnya Vian tak bisa melihat benda apa yang ingin dikembalikan Bomb, sebab tertutupi oleh punggung gadis tersebut.      

Detik berikutnya ada seberkas wajah yang mengabarkan kesan penuh kekecewaan, dan anehnya kemurungan Thom menciptakan rasa senang secara tiba-tiba.      

"Hah! sepertinya aku sedang kacau," Vian menggeleng kepalanya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.