Ciuman Pertama Aruna

III-314. Tidak Bisa Berkelit



III-314. Tidak Bisa Berkelit

0"Mami," Gayatri yang berada di lantai tiga berlari menuruni tangga menuju lantai dua, langkah kakinya dipacu kian cepat supaya lekas menapaki lantai pertama.     

Harap-harap cemas, Gayatri secepat mungkin menuju pintu tempat dimana maminya dikurung oleh papinya sendiri.     

Seorang asisten rumah tangga baru saja menemuinya. Memberitahu Gayatri bahwa secara mengejutkan tetua Wiryo memberi perintah untuk mengunci rapat-rapat pintu kamar pribadi mereka, padahal di dalam ruangan tersebut ada perempuan yang berusaha menggedor-gedor benda persegi dari kayu tersebut —berharap bisa keluar dari sana. Tempat dimana Wiryo menginginkan Sukma berdiam diri di dalamnya.      

Perempuan yang usianya hampir memasuki kepala lima tersebut baru saja menapakkan kakinya di lorong menuju ruang utama yang akan membawanya ke tempat dimana maminya -Sukma- berada. Akan tetapi langkahnya secara tiba-tiba berhenti, sama seperti sekelompok orang yang mengikuti larinya sebab di hadapan mereka ada seorang pria paruh baya yang duduk di atas kursi roda hitam.      

Andos dan Vian yang berada di belakang Gayatri, turut serta menghentikan gerak mereka. Perempuan itu berdiri dengan berani menatap ayahnya. Wajahnya menampilkan ekspresi kemarahan, berbeda dengan dua orang pria yang menyusul di belakangnya.     

Dengan jarak yang sedikit lebih jauh, Andos dan Vian segera menundukkan kepalanya —sesaat, sebagai rasa hormat.      

"Kau ingin membuka pintu untuk mamimu?" Kalimat Wiryo to the point. Seperti biasa.      

"Tentu saja! Mami tidak pantas berada di sana." Suaranya tak kalah tegas dengan lawan bicaranya.      

"Oh' ternyata bukan hanya Sukma. Putriku ikut ambil bagian juga. Jangan berani bermain di belakangku," mata pria paruh baya yang duduk di atas kursi roda tidak hanya melihat pada Gayatri, netranya lekas beralih menatap dua orang lelaki yang berdiri tidak jauh di belakangnya, "Apakah kalian juga ikut-ikutan bermain di belakangku?"      

Keduanya tidak menjawab —sekian detik sampai Andos mengangkat wajahnya menatap tuannya, "Tidak ada yang berani bermain di belakang anda, tuan. Kami hanya berusaha mengembalikan dua perempuan yang tersesat pada jalur yang tepat," kalimat kiasan ini mendapatkan senyuman. Senyum misterius khas Wiryo yang membuat Vian kalang kabut, mengerjapkan matanya berulang berharap dia tidak mendapatkan pertanyaan dari tetua.      

Tepat ketika pria paruh baya di atas kursi roda tersebut ingin menciptakan gelombang besar berupa pertanyaan menyudutkan kepada dua orang lelaki tangan kanannya, seorang ajudan perempuan yang benar-benar masih junior —yang sepertinya berusaha keras mengejar sang nyonya termasuk dua orang lelaki yang berusaha memburu langkah Gayatri, menapakkan kaki di lorong tempat mereka berada.      

Untuk seseorang yang sudah makan asam garam kehidupan, melihat ajudan perempuan junior tersebut sama halnya mendapati anak kecil polos yang tak akan punya kemampuan berbohong.      

"Kemarilah, kau yang di belakang," Wiryo memanggil Kihrani. Tentu saja hal tersebut membuat Gayatri keberatan. Ia khawatir para ajudan perempuan yang berada di bawah naungannya diintimidasi oleh pria tersebut.      

Gayatri lekas mendekati gadis berambut panjang tersebut, menjadikan posisinya berdiri di belakang punggung nona utama keluarga Djoyodiningrat. Tampak jelas berupaya melindunginya.      

Dehem Wiryo terdengar, "Baiklah kalau tidak ada yang boleh bicara dan mau bicara kepada ku-," Suaranya mengkonfirmasi bahwa dia tidak akan bertanya, "-Kau, yang di belakang punggung putriku. Tolong periksa sampai dimana persiapan kepergian Leona dan Graziella,"     

Gadis berambut panjang tersebut lekas menganggukkan kepalanya dan pergi secepat mungkin, memenuhi permintaan pria paruh baya di atas kursi roda.      

"Dan kau, Vian," si empunya nama lekas mengangkat wajahnya. Menatap keberadaan tetua Wiryo yang juga menatapnya.      

"Minta Thomas menemuiku ketika dia sudah sampai di rumah induk," tanpa dinaya dan diduga, sebuah suara menyapa tetua Wiryo dari arah belakang.      

"Saya sudah datang, tetua,"      

Mendengar suara Tom, kursi roda Wiryo berputar secara otomatis sesuai perintah yang ia jalankan melalui sentuhan jarinya.      

"Ikutlah denganku. Aku ingin bicara," ada anggukan yang ditangkap tetua Wiryo dari lelaki berambut sebahu yang dikuncir rapi ke belakang. Punggung laki-laki itu membawa tas ransel.     

Selepas keduanya berjalan melintasi ruang tengah keluarga Djoyodiningrat yang cukup luas, koper berwarna coklat tua dan berukuran medium, berdiri kokoh di dekat sebuah kursi kulit italy.      

"Papi! Lepaskan dulu mami," suara Gayatri kala melihat papinya pergi mengabaikan keberadaannya, dan memilih meninggalkan lorong bersama salah satu tangan kanannya yang sepertinya akan ikut pada perjalanan kepulangan Graziella.      

Bukannya menjawab permintaan putrinya, kursi roda tersebut berhenti untuk memanggil asisten pribadinya.     

Andos mendekat, siap menerima perintah.      

Kalimat perintah sang tetua membuat asistennya seolah merasa dihimpit dinding rumah Djoyodiningrat.      

Dia, lelaki tertinggi dari keluarga penguasa ini dengan sangat terpaksa membuat Andos harus menyentuh kedua lengan sang nona yang tak boleh tersentuh.     

Kedua lengan yang memberontak tersebut di dekap erat, dikunci di belakang punggungnya, kemudian dibawa menuju kamar dimana maminya juga terkunci di sana.      

Tidak ada yang bisa mengurai cara berpikir pria paruh baya yang kabarnya sangat memegang prinsip dan begitu jeli terhadap hal-hal rumit. Kekuasaannya bahkan mengakibatkan siapapun yang berada di bawah naungannya tidak bisa berkelit, kecuali menuruti keinginannya.      

Kalimat permintaan maaf berulang kali terbit, berupa bisik lirih Andos di telinga sang nona.      

Selepas sang nona dibawa pergi, pria paruh baya di atas kursi roda kembali memanggil Vian yang masih tegang —berdiri di antara lorong tak jauh dari tempatnya berada.      

"Aku tidak mau tahu. Selain kalian bertiga —termasuk ajudan perempuan yang sepertinya mengetahui istri dan putriku melakukan tindakan diluar batas. Jangan sampai info ini menyebar, apalagi terdengar oleh Graziella maupun adik Anna." Suara parau khas Wiryo segera mendapat sambutan.      

"Ya, tuan," ucap Vian singkat.      

"Minta seluruh asisten rumah induk bungkam," Kembali perintah Wiryo terbit.      

"Ya, tuan,"      

"Dan kau Tom, pukul berapa penerbangan mu?" Wiryo mengalihkan perhatiannya pada lelaki yang membawa tas ransel di punggung.      

"Pukul 23.40," Tom terlihat mengamati jarum jam pada pergelangan tangan kanannya, "1 jam lagi kita harus berangkat menuju bandara,"      

"Oke, sesuai prediksiku," Dan kursi roda bergerak, diikuti lelaki yang membawa ransel di punggung.      

.     

.     

Vian tidak pernah melakukan ini, akan tetapi permintaan tetua Wiryo membuatnya harus berdiri di hadapan seluruh pekerja yang berada di bawah naungan rumah megah, di lereng bukit.      

Rumah tunggal yang berdiri kokoh layaknya kastil menjulang sendirian di tengah hamparan pepohonan, benar-benar memiliki pekerja yang jumlahnya lebih banyak daripada Vian bayangkan.      

Kali ini Vian salah strategi, pada akhirnya dia membubarkan kelompok asisten rumah tangga yang satu persatu datang berkerumun pada salah satu ruangan di lantai tiga. Tempat dimana mereka memiliki kamar nyaman masing-masing.      

Menyadari dia salah mengumpulkan asisten rumah induk secara serentak, lelaki berhidung lancip dengan mata sendu tersebut mengubah permintaannya dengan hanya memanggil masing-masing manager ataupun PIC utama pada tiap kelompok untuk menghadap kepada dirinya.      

"Tetua Wiryo tidak ingin siapapun berbicara tentang dikurungnya oma Sukma dan nona Gayatri,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.