Ciuman Pertama Aruna

III-313. Wedus Gimbal



III-313. Wedus Gimbal

0"Jadi semenjak suamiku meninggal, aku belum pernah datang ke pusaranya. Lahh, kenapa aku malah membahas diriku sendiri," dia seolah-olah merasa bersalah.      

"Tidak apa-apa," ringan Aruna berkata.      

"Mas Cahyo masih saudaramu. Andaikan masih hidup, dia pasti senang sekali bisa bertemu keponakannya lagi," logat daerahnya begitu kental.      

"Pak Cahyo, siapanya bu Maharani?" Suara Aruna sangat pelan, ia tampak sedikit kikuk mengujarkan nama ibu aslinya. Perempuan yang tidak ada di dalam memorinya.      

"Pak Cahyo itu adik bungsunya yu Rani," seperti melihat cahaya terang tentang masa lalunya yang sama sekali tidak ada dalam ingatan, Aruna mencuri tatap Mahendra dan menggenggam telapak tangan besar yang merengkuh punggung tangannya.      

"Jadi kalau ditelusuri, sampeyan kuwi yo keponakanku," entah kalimat 'sampeyan kuwi' artinya apa, Aruna hanya menangkap kalimat keponakanku yang artinya mereka bersaudara.      

Tampak sekali aura bahagia yang hadir di wajah perempuan hamil tersebut.      

"20 tahun lalu, masa yang tak mungkin dilupakan sama warga kampung sini. Aku masih gadis waktu itu. Mungkin usiaku sama denganmu, bisa jadi lebih muda. Semua orang kalang kabut saat Wedus gimbal turun begitu saja pas warga tidur terlelap"     

"Wedus gimbal?" Ini suara Mahendra. Bukan hanya mengerutkan dahi, wajahnya menampilkan ekspresi terheran-heran dengan istilah aneh yang ia dengar.     

"Awan panas," pria di dekat yu Darmi berujar. Mereda wajah penasaran lelaki bermata biru.      

"Semua orang menyelamatkan dirinya masing-masing, berlarian seperti ayam kehilangan induknya. Banyak jatuh korban bukan karena wedus gimbalnya yang ganas, tapi karena datangnya di malam hari," Ada helaan nafas dari perempuan yang tengah mengenang masa lalu kelam yang terjadi di lereng pegunungan tersebut, "Tidak ada tanda-tanda sebelumnya, kecuali suhu di kampung ini sedikit panas daripada biasanya. Walaupun pihak BNPB (Badan nasional penanggulangan bencana) sempat memperingatkan masyarakat di sekitar lereng, sayangnya, zaman itu masih belum canggih dan orang-orang belum terbuka seperti sekarang. Mereka tidak percaya kalau kawah Bromo bisa ngamuk,"      

Cerita yang dirangkai yu Darmi menjadikan dua orang pria merelakan sajian sedap berupa mie kuah dan mie goreng dengan porsi ekstra menjadi dingin, tak ada bedanya dengan milik Aruna.      

"Malam itu juga kami yang berhasil selamat berbondong-bondong mengungsi. Aku masih ingat waktu itu.." mata yu Darmi memerah, "hampir separuh warga kampung mengungsi, dan tidak ada yang berani kembali ke kampung ini sampai beberapa hari kemudian. Kabarnya lahar dingin mulai turun, dan hujan abu menjadikan jalanan longsor. Yang berani melakukan evakuasi hanya petugas. Mayat-mayat diwadahi di kantong kuning," bukan hanya yu Darmi yang meneteskan air mata, laki-laki yang mendengarkan ceritanya -yang duduk disamping yu Darmi-, ikut berkaca-kaca.      

"Banyak anak kecil kehilangan orang tuanya, beberapa harus dilarikan ke rumah sakit di kota. Ada juga yang kembali kepada orang tua mereka setelah terpisah. Yang aku ingat, keluarga yu Rani dan kang Anwari nggak ada yang selamat. Sempat ada kabar burung, kalau anak bungsunya dilarikan oleh petugas ke rumah sakit di Surabaya, setelah itu nggak ada kabar lagi,"      

Aruna sadar yang di cerita yu Darmi adalah kisah masa kecilnya.      

"Menghilang dan tidak bisa diselamatkan, sudah jadi cerita biasa zaman itu. Rumah-rumah di sini juga. Dulu semuanya rusak, sama seperti rumah runtuh kedua orang tuamu. Sebab tidak ada ahli warisnya, tidak ada lagi yang merawat dan menata kembali rumah orang tuamu," perempuan yang detik ini sedang berbicara menghapus air di sudut matanya.      

Aruna melepas dekapan tangannya dari telapak tangan Mahendra. Ternyata perempuan hamil itu meraih punggung tangan yang saling bertautan milik yu Darmi, lalu mengusap nya.      

"Terima kasih sudah menceritakan ini pada saya, pasti berat membuka kenangan pilu malam itu,"      

"Tidak apa-apa," Perempuan yang wajahnya dipenuhi duka mendalam kini mencoba mengangkat kepalanya menatap Aruna. Ekspresinya diusahakan berubah lebih tenang.      

"Yu Rani pasti senang anaknya ada yang selamat dan cantik sekali seperti dia," ujar yu Darmi menghilangkan ekspresi sedihnya.      

Aruna tersenyum kemudian tangannya mendekap lebih erat. Andaikan dulu ia berani menguping percakapan antara ayah Lesmana dengan almarhum pak Cahyo pada perjalanan pertamanya mengunjungi kampung tempatnya lahir, pasti hari ini dia sudah lebih akrab dengan yu Darmi atau siapapun yang mengenal kedua orang tuanya di kampung ini.      

Sayangnya kala kedatangan yang pertama, ayah Lesmana juga dengan sengaja menyembunyikan identitas bahwa Aruna adalah anak angkat -bukan anak kandungnya-. Tiap kali bertanya, ayahnya selalu bilang —dia sedang mengunjungi teman masa mudanya.      

Ayah Lesmana terlihat angkuh kala itu tidak mau putrinya tahu bahwa dia -Aruna- adalah anak angkat. Takut sikap Aruna jadi berbeda terhadap dirinya dan seluruh anggota keluarga yang lain.      

Padahal seiring berjalannya waktu, hari berganti bulan, tahun berganti tahun, Aruna mulai mengerti dengan sendirinya. Pada hari itu, ia berusaha melawan dirinya sendiri untuk mengakui bahwa dia benar-benar berasal dari tempat di lereng gunung para Brahmana.      

Malam ini sesungguhnya yu Darmi meminta empat orang asing yang duduk di pojok kedai kopinya menginap di rumahnya yang terletak tidak jauh dari warung sederhana tersebut.      

Sayang di dalam rombongan ini ada lelaki protektif. Sama seperti kebiasaan Mahendra yang cukup sulit untuk ditembus dan dibelokkan prinsipnya. Lelaki bermata biru meminta seluruh ajudannya —termasuk istrinya, kompak mengundurkan diri dari kampung tersebut.      

Walaupun, jam digital yang berada di punggung tangan kanannya memberitahu malam telah larut. Sehingga perjalanan mereka menyisakan rasa kantuk. Para penumpang jeep tertidur, kecuali Herry yang fokus mengemudi.     

Selepas 10 menit berada di dalam mobil Jeep, Aruna sudah hilang dibawa alam mimpinya. Dia bahkan tidak sadar ketika tubuhnya digendong Mahendra dengan kedua telapak tangannya, masuk ke dalam resort bintang lima yang terletak di Wonopolo, Ngadiwono, Tosari, Pasuruan. Resort Plataran Bromo.      

Aruna baru sadar ia sudah tak lagi di dalam mobil Jeep saat sang lelaki tanpa sengaja membenturkan ujung kakinya di sebuah pintu sebelum memasuki kamar mereka. Perempuan tersebut mengerjap-ngerjap, menepuk dada suaminya meminta untuk diturunkan.     

Bukannya diturunkan, pelukan itu semakin menguat. Langkah Mahendra lamban sebab matanya lebih fokus menatap istrinya.      

"Kita di mana?" Suara Aruna berpadu dengan mata sayunya.      

"Menuju tempat bersenang-senang versi Mahendra," tangan kanan Aruna menepuk pria yang baru bicara dengan tepukan lebih keras daripada sebelumnya.      

Tempat bersenang-senang Mahendra sudah bisa dipastikan ialah ranjang tidur. Tidak akan ada yang menduga, lelaki bermata biru tersebut sesungguhnya golongan manusia introvert. Yang mana, tempat paling menyenangkan versinya ialah mendekam di dalam kamar. Menghabiskan waktu memeluk istrinya.      

"Inilah tempatnya," Mahendra baru saja memasuki pintu kamar. Dia melangkah mendekati ranjang tidur dimana langit malam bisa teramati dari kaca yang membentang di sisi kanan pembaringan tersebut.      

Aruna diletakkan di atas ranjang, bibirnya disusupi lidah. Detik berikutnya tautan itu menghasilkan ciuman menggetarkan dada.      

"Kau menginginkanku?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.