Ciuman Pertama Aruna

III-311. Warna Belang Memudar



III-311. Warna Belang Memudar

0"APA YANG KAU LAKUKAN SUKMA!!"      

"Aku lah, pelaku yang kamu cari. Aku yang mengambil Anna dan menyisikannya," perempuan tersebut menyentuh kedua lutut suaminya.      

Suara hembusan nafas berat hadir dari mulut Wiryo. Tatapan matanya menajam, akan tetapi tidak ada satupun komentar yang keluar dari pria paruh baya tersebut.      

Hal itu membuat dada Sukma bergemuruh hebat, "Maafkan aku," Hanya dua kata tersebut yang bisa diucapkan perempuan paruh baya berparas ayu.     

"Kenapa kau tak percaya padaku!" Suara berat tertahan amarah akhirnya keluar dari mulut Wiryo.      

Mata Sukma mengembara, mencoba mencari pemahaman terhadap ucapan ringkas suaminya.      

"Tidak adil bagi Aruna, jika Anna semudah itu pergi bersama orang tuanya. Dia, aku kirim ke tempat di mana Gayatri dan Mahendra pernah dirawat," tanpa dijelaskan secara detail, Wiryo tahu tempat itu berada.      

"Apa kau pikir, di Milan tidak ada dokter! Apa kau pikir, aku tidak akan melakukan hal yang sama!" Suaranya semakin menggeram berat, membuat jantung perempuan paruh baya berdegup lebih hebat.      

"Aku tahu, kau bisa melakukan itu. Tapi aku tidak percaya Graziella bisa menjamin Anna tak kembali ke negara ini dalam keadaan waras," Sukma yang menyentuh kedua tempurung lutut suaminya, menyadari pria itu tidak akan menerima pengakuan darinya. Dia bangkit membersihkan lututnya, berdiri di hadapan Wiryo.      

Wiryo mendongak menatap Sukma penuh kecewa, "Sebenarnya yang jadi alasanmu, Graziella? Atau kau benar-benar mengkhawatirkan istri Mahendra!"      

"Tentu saja Aruna yang ada di kepalaku ketika melakukannya. Gadis itu sungguh malang, dan aku ingin memastikan orang yang berbuat jahat kepada ibu calon cicitku menerima balasan yang setimpal," Sungguh di luar dugaan, Sukma berani berucap percaya diri ini di depan Wiryo.      

"Apa kau lupa?" Wiryo menggerakkan kursi rodanya. Bergerak lebih dekat kepada Sukma, "Kau salah satu orang yang berdosa,"      

"Apa maksudmu?!" Sukma tidak terima.      

"Huuh" ada hembusan nafas sebelum Wiryo menumpahkan kalimat, "Siapa yang dulu berapi-api mendukung pertunangan Mahendra dengan Anna??"      

Sukma mengalihkan tatapannya, dia tidak bisa memungkiri kenyataan tersebut.      

"Gadis itu kecewa berat, dia merasa terhina oleh kita. Semua tindakan ada latar belakangnya Sukma, aku pun membawa dia pergi ke Milan karena aku juga punya alasan," tangan Wiryo menggenggam penyangga tangan kursi roda.      

"Aku pun juga punya Alasan Wiryo, aku tidak ingin Aruna mengalami hal yang-"     

"Apa kau pikir, aku belum bicara dengan Putri Lesmana?" Wiryo memutus kalimat Sukma. Mereka saling bertatapan, seolah mengerti jawaban dari pertanyaan ini.      

"Aruna pasti setuju denganmu. Gadis itu seperti masa mudaku, polos dan baik. Dan aku tidak ingin dia hanya sekedar polos dan baik," kembali Sukma berujar, mengingat masa muda yang ia lalui dulu, masa-masa berat sebagai perempuan Djoyoningrat.      

"Kau akan menjadikannya pemberontak?"      

"Tak perlu bicara kemana-mana," suara Sukma menutup pikiran-pikiran imajiner suaminya yang terlalu kaku.      

Wiryo menatap tajam perempuan di hadapannya, "Kau sudah jadi pemberontak ku Sukma! Apa kau lupa pilihan perempuan Djoyodiningrat hanya ada dua,"     

"Tenang dan diam mengikuti aturan yang sudah kalian buat. Ikhlas dan tidak banyak bertanya, atau silahkan pergi sesuka hati," Sukma sendiri yang melanjutkan kalimat suaminya, "Jika aku adalah perempuan yang telah melanggar prinsip diktator mu itu, baiklah! Aku bisa pergi sesuka hatiku,"      

"Aaah, kau bukan lagi akan jadi pemberontak. Tapi sudah jadi pemberontak," Wiryo menggerakkan kursinya menuju pintu.      

"Ayolah, kita sudah cukup tua. Tidak pantas kita bertengkar hanya karena aku melakukan apa yang ingin aku lakukan, sekali saja," Sukma menurunkan tensi kemarahannya, "Aku jujur padamu karena aku tahu kau akan memaafkan ku. Bukankah lebih baik aku jujur, daripada aku menutupinya darimu,"      

Nafas itu terdengar lagi, suara parau itu terbit kembali, "Pelaku kesalahan yang melakukan tindakan pengkhianatan, tetap mendapatkan hukuman,"      

"Maksudmu?" Wiryo tidak menjawab, tangannya bergerak membuka pintu.     

Sukma memburunya, tapi langkah kakinya kalah cepat dengan pintu yang sudah tertutup rapat.      

"Siapa saja yang mendengar suaraku!" Seorang asisten rumah tangga berdasi kupu-kupu berlari secepat kilat, "Kunci kamar ini! Sampai aku mengijinkannya keluar," Wiryo mengurung istrinya.      

Wajah tercengang asisten rumah tangga tersebut tidak dapat disembunyikan. Dengan sangat terpaksa mengabaikan perempuan yang tengah menggedor-gedor pintu yang tak diizinkan mendapat sambutan.      

***     

Bau telur goreng memenuhi pantry. Pemuda itu menaburkan sedikit garam di atasnya, sebelum mengangkat dan meletakkannya pada piring putih berbentuk lingkaran.      

Sesaat kemudian dengan begitu cekatan, sup daging dituangkan ke dalam mangkok lalu berhati-hati diletakkan di atas nampan. Pemuda tersebut membawanya dengan langkah pelan menuju meja makan dengan 4 buah kursi.      

Ia letakkan piring berisikan 3 buah telur digoreng setengah matang beserta sup iga, bersanding dengan lauk pauk lainnya di atas meja.     

"Wah, sepertinya enak," perempuan yang rambutnya baru saja disanggul terlihat menggosok-gosokkan dua telapak tangannya. Tubuhnya kecil dan ringkih. Kulitnya sangat pucat, bahkan cekungan di bawah lehernya masuk ke dalam, menjadikan tulang bahu dan leher terlihat dominan, menunjukkan bahwa ia kering kerontang.      

Seharusnya ia sangat cantik, jika dilihat dari putranya yang kini tengah menatap lekat penuh minat. Sayang sekali, kantung matanya menghitam seperti seseorang yang tidak pernah tidur sepanjang hari bahkan berbulan-bulan atau mungkin tahunan, ada lebam di bawah lehernya, di lengannya, bahkan di kakinya.      

Entah apa yang terjadi dalam kehidupan perempuan tersebut, tidak ada yang berani bertanya dan tidak ingin mempertanyakan sesuatu yang begitu gelap.      

Pemuda lain -selain sepasang ibu dan anak-, baru saja turun dari tangga yang menempel pada dinding dan bermuara di ruang tengah. Dia mengumbar senyum, setelah ia dapati seorang ibu bangkit dari duduknya tersenyum ramah kepadanya.      

"Kau bangun juga, Jav," demikian sapaan pemuda yang baru selesai mengisi piring sang ibu dengan nasi putih yang menerbangkan bau hangat pandan.     

"Masakan mu membuat ku lapar," ringan Jav menjawab, "Oh, anda suka menggambar?" lanjut pemuda tersebut, selepas duduk dan meraih piring.      

Pertanyaan yang ditujukan kepada perempuan dengan rambut bersanggul ke belakang, menghadirkan senyuman sumringah.      

"Itu buku dongeng yang belum selesai, sepertinya ibuku akan menambahkan kisah di belakangnya," Sang putra menjawab pertanyaan temannya.      

Menghadirkan tawa ringan dari sang ibu, "Kalian mau lihat?".     

Jav dan Gesang seolah sedang berebut, sama-sama menjulurkan tangannya ingin meraih buku yang disodorkan perempuan tersebut.      

"Aku anaknya, aku yang lebih berhak melihatnya dulu," walaupun Jav lebih dahulu meraih buku bergambar tersebut. Pada akhirnya gerak gesit Gesang merebut buku bergambar, tak bisa menghentikan apapun.     

---     

Selepas perpisahan, bukan hanya kelinci kecil yang menangis. Ibu belang lebih banyak meratap.      

Ratapannya didengar oleh Tuhan.      

Dan suatu malam yang penuh keajaiban. Tuhan membuka jalan, celah kecil tersebut menjadi lebar.      

Dan ibu belang dipertemukan dengan kelinci kecil yang sudah tumbuh dewasa. Ibu belang sempat khawatir, apakah dia akan berubah?.      

Ternyata, kelinci kecil yang dulu dia sayangi masih sama, kecuali tubuhnya yang membesar.      

Di lembar terakhir, terlukis gambar dua ekor kelinci menghadap meja makan berbentuk bulat yang di langit-langitnya terdapat lampu-lampu temaram hangat.      

Lampu-lampu itu memperlihatkan kelinci dengan warna berbeda.      

Tulisan tangan yang terbingkai sebelum kata The End ialah 'Dan warna belang di tubuh kedua kelinci memudar'     

Sang pembaca buku bergambar atau lebih tepatnya dongeng karya sang ibu, termenung sesaat. Mengapa ibunya menggambarkan warna belang di tubuh kedua kelinci memudar?      

Belum sempat Gesang bertanya, sang ibu seolah memahami ekspresi wajahnya, "Warna belang memudar sebab keduanya berhasil membebaskan diri dari strata yang dilekatkan orang lain pada tubuh mereka,"      

Gesang tidak lagi bertanya. Dia menutup buku gambar itu dan menyerahkan pada Jav yang masih terlihat penuh minat.      

Pergi dari keluarga Diningrat, seperti membebaskan diri dari stempel anak haram dan perempuan kotor.      

Mereka tidak putih bersih, bukan berarti kotor dekil dan berwarna aneh. Selama-lamanya. Selalu ada jalan dan kesempatan untuk membebaskan diri dari belenggu, lalu memilih berbahagia.      

***     

"Mami.." Gayatri berlari menuruni tangga, dari lantai tiga menuju lantai dua dan langkah kakinya kian dipacu supaya lekas menapaki lantai pertama.     

Secepat Gayatri bisa, ... ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.