Ciuman Pertama Aruna

III-310. Empat Orang Asing



III-310. Empat Orang Asing

0"Ada asap rokok. Kau tahu, aku tidak suka kamu menghirupnya," seperti biasa lelaki bermata biru protektif.      

Aruna mengeluarkan sebuah masker, lekas dipasang menutupi hidung dan mulutnya. Menatap suaminya, meyakinkan semua akan baik-baik saja.     

Untuk pria seperti Mahendra yang sama sekali tidak mengerti tentang kehidupan di luar dunianya -yang serba berbau kemewahan-, membuatnya berat sekedar mendekat pada jejeran dampar panjang.      

Susunan meja dan kursi panjang berbaris di sebuah kedai kopi. Kedai sederhana yang cukup ramai di malam hari. padahal pedesaan tersebut terkesan sepi.      

kemupulan warga lokal sedang menonton bola bersama-sama, acara pertandingan olah raga dimana klub bolanya sangat asing bagi Mahendra dan dua pria yang lainnya.     

Di layar televisi yang permukaannya masih cembung alias tv tabung, atau jenis televisi kuno yang mustahil ditemukan pada kota-kota besar. terlebih di rumah modern seperti rumah induk, menghasilkan kerutan di dahi lelaki kala netra biru itu menatap layarnya.      

Di dalam layar cembung tersebut, sebuah klub bola berlogo buaya berwarna hijau dan singa dengan berwarna dasar dominan biru, menyita perhatian seluruh penghuni kedai kopi yang mayoritas laki-laki.      

Ada celetukan kecil yang membuat perut Aruna bergerak-gerak, menggoyang baby yang sedang tidur tenang, "Singo edan!!, edan tenan" (Singa gila!!, paling gila) Tak lama kemudian seseorang yang duduk di sisi lain membalas sorakan pria yang begitu antusias meneriakkan panggilan aneh tersebut.      

Teriakan balasan itu berbunyi, "Bajul ijo, wes to yakin! Bajul ijo menang mburi, rek," (Buaya hijau, sudah percaya saja! Buaya hijau juara belakangan, sobat).      

dua klub sepak bola memiliki panggilan begitu aneh. Bahkan penontonnya pun dengan bangga memakai baju serupa dengan para perebut si benda bundar yang tertangkap pada televisi tabung. Yang mana, tim pendukung buaya hijau benar-benar mengenakan baju hijau berlogo buaya yang tengah berpose. Sama halnya dengan mereka yang berbaju biru. Ada singa yang sedang meraung pada logonya.      

ketika Aruna masih sibuk menahan tawa terkait konsep pertandingan klub sepak bola yang sudah menjadi budaya kental provinsi ini. seorang perempuan berusia 30-an mendekati 4 orang asing.     

Perempuan yang memasang senyum misterius sedang bertanya kepada suaminya, Mahendra.      

"Mas'e pesen opo??" (Masnya pesen apa?) Bukannya menjawab, Mahendra sedikit bergidik. Mendekati Aruna, bahkan memeluk sebelah tangannya.      

Tampaknya bukan hanya Mahendra yang sedang merinding detik ini, hal yang sama dilakukan oleh Herry. Ajudan tersebut memeluk tangan kekar milik Raka.      

Entah apa yang terjadi pada dua pria tersebut. Mungkinkah sekelompok penjual sayur di pick up mempengeruhi persepektif keduanya. Entah. Tidak ada yang tahu. akan tetapi keduanya benar-benar menampakan ekpresi yang seolah melihat hantu. Padahal di mata Aruna, perempuan yang sedang memasang senyum misterius tersebut cukup cantik, dengan polesan bibir merah menyala termasuk rambut yang dicatok lurus, terlalu lurus sampai-sampai mirip kumpulan lidi tajam.      

"Ehm," Aruna berdehem, seolah memberi kode supaya 3 pria yang duduk di sisi kanannya menoleh padanya.     

Spontan Herry dan Mahendra menatap Aruna. Dua pria tersebut mengangguk bersamaan -sebagai jawaban-, sebab mereka sudah merasa lapar sedari tadi.      

Tampaknya Raka pun sama, pria kekar itu sudah menghabiskan sepiring gorengan. Entah karena rasa enak atau kah pria tersebut benar-benar sedang kelaparan. Sebab malam ini suhu terasa dingin merasuk tulang. Sangat berhasil menciptakan rasa keroncongan pada ke empat perut pendatang.     

"4 teh hangat," Aruna bersuara.      

"Aku kopi," Raka menyelipkan permintaan di sela suara Aruna.      

"3 teh hangat dan 1 kopi," kembali perempuan tersebut berujar, mengoreksi pesanan mereka.      

"Aku juga kopi," Herry baru saja melepas caranya memeluk lengan pria yang sedang melakukan penghabisan pada sekumpulan gorengan di atas piring.      

"Baiklah, 2 teh hangat, dua kopi," Aruna tahu Mahendra bukan peminum kopi, "Oh ya, teh yang satu gulanya sedikit saja," Perempuan tersebut juga tahu kesukaan suaminya, segala hal yang mengandung sedikit gula, "dan 4 mie rebus," Lanjutnya.     

Makan mie rebus adalah pilihan paling tepat versi Aruna. Lereng pegunungan Bromo di malam hari bisa mencapai 10 derajat Celcius. Seperti malam ini, empat manusia tersebut tengah menggigil sebab terbiasa tinggal di kota metropolitan dengan suhu udara hangat khas negara yang dilintasi khatulistiwa.      

Berbeda dengan penduduk lokal yang bisa bertahan hanya bermodal kain bahan yang disebut sarung. Empat manusia yang berjaket tebal tersebut sering terlihat menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.      

"Aku mie goreng, 3 bungkus," Ada suara lelaki membuat permintaan yang mencengangkan.      

"Pakai telur?" Mbak berambut lurus bertanya.      

"Em," Raka termenung sesaat, "5 telur, tapi tidak digoreng. Semuanya direbus saja, boleh setengah matang,"      

Dan yang tertangkap detik ini adalah wajah ternganga Herry, "Lima?" Dia masih belum percaya dengan pesanan seniornya.      

"Herry, mau telur berapa?" Aruna memastikan ajudan tersebut mendapat pesanan yang sesuai seleranya.      

"1 sudah cukup, campur saja dengan mie-nya" Herry berkata sendiri kepada pemilik warung kopi tersebut.      

"Apakah mie-nya, mie instan?" Jelas sekali siapa yang sedang berbicara. Mahendra mengatakan dia tidak memesan apapun kecuali teh hangat ketika telinganya mendengar kata mie instan.      

"Oke, jangan sampai menyesal," suara Aruna menarik bibirnya. Berusaha ramah menatap pemilik kedai kopi.      

"GOOOOL!!" Tiba-tiba saja terdengar suara menggelegar, membuat 4 orang asing di tengah penduduk lokal tersentak. Tampak pria bertubuh kekar yang duduk paling ujung, terbatuk-batuk sebab tersedak.      

Raka memerah, tersedak pisang goreng.      

Suara batuk Raka mengalihkan perhatian kumpulan lelaki yang di antaranya mengenakan baju buaya hijau. Mereka seolah sedang menghibur diri, selepas skor di televisi cembung menampakan angka 3-1, dan angka 3 tersebut milik kelompok berbaju biru yang seringkali meneriakkan kata 'singo edan'.      

Beberapa lelaki yang sudah merasa kecewa akan kekalahan klub bola kebanggaan mereka mulai menyadari keberadaan 4 orang asing. Arah duduk mereka berubah menghadap pada 3 pria dan 1 perempuan hamil.      

"Lho?? Kalian ini siapa?" Sepertinya desa ini jarang dikunjungi warga dari luar daerah. Apalagi bentuknya cukup unik, yang satu bermata biru berambut coklat dan memiliki postur tubuh bak model pria mancanegara. Satunya lagi berkulit lebih gelap dengan bulu mata panjang dan rambut tebal hitam, dengan bibir lebih lebar daripada kebanyakan orang yang lahir di pulau ini —ciri-ciri tersebut ialah Herry.      

Lebih aneh lagi ketika kumpulan bapak-bapak tersebut mengamati Raka, yang masih saja makan setelah ia tersedak. Pria bertubuh kekar atletis seperti binaragawan, tapi bibirnya mungil. Matanya pekat, seluruh tubuhnya seperti penuh bulu. Dada, tangan, kakinya, memiliki bulu yang cukup lebat daripada kebanyakan orang asia.      

"Kami dari ibukota," bijak Mahendra segera menjawab.      

"Oh' aku pikir wisatawan mancanegara yang kesasar," jawab salah satu dari mereka.      

"Apa ada yang seperti itu, bapak?" Aruna ikut berceloteh.      

"Kadang, tapi jarang," yang lain menjawab, "Lebih tepatnya mereka memang suka berjelajah, dan terdampar di desa terpencil ini," Lanjutnya.      

Herry mengangguk-ngangguk.      

"Kalau tidak tersesat, berarti sengaja mampir ketempat ini?" Salah seorang bapak-bapak kembali bertanya.      

Kopi dan teh baru saja datang, seiring tukar-menukar kalimat tanya terjadi di antara sekelompok pendatang dengan bapak-bapak kampung. -kelompok penonton sepak bola yang sedang muak oleh kekalahan yang menimpa klub kesayangan mereka-.      

"Benar," jawab Mahendra singkat.      

"Mengantar nona, mengunjungi rumah masa kecilnya," Herry menatap keberadaan Aruna yang duduk paling kiri. Terhalang oleh Mahendra yang berada tepat di antara ajudan dengan nonanya.      

"Rumah siapa?" seorang dari penduduk lokal tampak penasaran.      

"Rumah orang tua saya, rumah runtuh di gang depan," jawaban Aruna membuat para penanya menciptakan 3 garis di tengah-tengah kening mereka.      

"Rumah runtuh?" Salah satu dari mereka mengulang pernyataan Aruna, "Gang depan? Dekat gapura? yang harus naik ke atas?" -tanah perkampungan di lereng pegungunan ini tidak rata-      

"Iya," jawab lelaki bermata biru.      

Sontok kumpulan bapak-bapak tersebut saling menatap.      

"Yu, yu Darmi. Reneo to," (Mbak, mbak Darmi. Kesini dulu) seorang bapak menarik sarung, ditelungkupkan pada tubuhnya. ia bangkit dari duduk berjalan tergopoh-gopoh sembari menyeru, memanggil perempuan yang berada di balik display makanan dan dagangannya.      

dari tempatnya duduk aruna mengamati interaksi lelaki bersarung dengan seorang perempuan yang di panggil 'Yu'. keduanya bercapak-capak dan sesekali ketahuan mencuri lihat keberadaan Aruna.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.