Ciuman Pertama Aruna

III-307. Malaikat Penolongku



III-307. Malaikat Penolongku

0Aruna menekuk kakinya, tangannya menjulur mencabuti rumput di atas pusara kedua orang tuanya. Gerakan tersebut diikuti sang suami dan membuat 2 orang pria mendekat, buru-buru membantu tuan mereka.     

Hal yang sangat asing dan mustahil sedang terjadi detik ini. Mahendra, dengan segala kelebihan yang dia miliki mengabaikan rasa risihnya pada sesuatu yang disebut tidak bersih. Lelaki yang menyandang status suami tersebut dengan cekatan membersihkan makam mertua aslinya —orang tua kandung yang bahkan telah hilang dari memory sang istri.      

Dia dan dua orang lelaki yang melingkari dua pusara berkejaran dengan matahari. Minimal mereka harus bisa membersihkan makam yang tak terurus tersebut, tempat peristirahatan terakhir yang bisa dikatakan sekedar tanah datar dengan nama kusam yang hampir menghilang ukiran namanya.     

Herry dan Raka sempat mondar-mandiri, mereka berdua mencari sejumlah batu yang setidaknya bisa menjadi pembatas yang layak untuk makam orang tua kandung nona muda keluarga Djoyodiningrat.     

Belum usai Mahendra menghilangkan semua rerumputan, seseorang yang tampak asing mendekat. Entah bagaimana semua berawal, lelaki bermata biru sempat berbincang dengannya sebelum orang asing -yang ternyata warga asli pencari rumput tersebut pergi.     

Di perkampungan apalagi di lereng bukit seperti ini, pemakaman jauh berbeda dengan kota besar yang mana lokasinya telah tertata dan penjaganya selalu siap sedia. Di kampung tak ada pengurus makam resmi, hanya keluarga yang datang lah -yang akan merawatnya.     

Lelaki bermata biru yang sempat larut dalam obrolan dengan seorang warga lokal kembali menekuk kakinya, mendekati istrinya yang masih sibuk menata sekenanya makam orang tua aslinya.     

"Sayang, setelah ini -kapanpun kita datang kesini, makam orang tuamu akan rapi dan bersih," sepertinya ada negosiasi antara Hendra dan pencari rumput tadi.     

"Aku tak tahu kapan bisa datang lagi," dia yang bicara tersenyum getir, tangannya diangkat menengadah dan mulai berdoa. Demikian pula yang dilakukan oleh Mahendra, disusul dengan dua orang lainnya termasuk Herry yang menautkan jemarinya bermunajat dengan cara mereka masing-masing.     

Keheningan baru hilang selepas semburat mata coklat Aruna terbuka, "Ayah, ibu, ini suamiku. Maaf, selama ini aku tak punya nyali untuk datang,"     

_dan mengakui dari mana asal ku_ -bukan putri kandung ayah lesmana- Sebagian kalimat Aruna disembunyikan, menutup rasa malunya atas sempitnya rasa syukur yang ia miliki.     

Mendengarkan sang nona mulai bersuara, dua ajudan perlahan bangkit dari duduknya. Mereka menjauh dari keberadaan sepasang suami istri tersebut, memberi ruang privasi dan terlihat menunggu dari kejauhan.     

Batu nisan yang telah dibersihkan memperlihatkan ukiran nama Maharani pada sisi kiri dan Anwari pada sisi kanan.     

Tuan muda Djoyodiningrat tersebut mengamati ukiran nama yang telah memudar, menyisakan garis tipis yang mana perlu ditebak oleh pembacanya, "Salam kenal, saya Mahendra. Ayah Anwar dan ibu Maharani, terima kasih sudah melahirkan putri sebaik dan secantik Aruna," ada kepala perempuan yang menoleh ke arah suaminya, manik coklat itu menangkap netra biru lelaki di sampingnya.      

"Aku yakin, ayah dan ibu sudah bahagia disana," Hendra memeluk istrinya, menguatkan, "Mereka pasti bangga melihatmu saat ini," ada anggukan lirih dari Aruna.      

"Apa yang bisa dibanggakan dariku? Aku, tak memiliki apapun yang membanggakan," Aruna sedang menatap keadaan dari sudut pandangnya. Perempuan yang impiannya terbengkalai, kuliahnya juga belum jelas sampai kapan dia bisa kembali ke kampus untuk melanjutkan gelar sarjana.     

"Kamu memiliki banyak hal yang membuat orang lain bangga padamu, terutama aku," Hendra bergerak mendekati batu nisan kedua orang tua Aruna.     

"ibu, ayah, putrimu adalah takdir Tuhan yang paling luar biasa. Mungkin Tuhan kasihan padaku. Pada kehidupanku. Sehingga Dia dengan sengaja menyelamatkan putrimu, sebab Tuhan punya rencana indah untukku. Menjadikan putrimu malaikat penolongku. Aku berjanji akan menjaganya," monolog Mahendra membuat dada bergetar, "Dia bilang -dia tak punya apa-apa yang bisa dibanggakan, padahal dia harta terbaik kami, aku dan keluargaku,"     

Aruna berdecih, mendorong ringan tubuh Mahendra.     

"Itu kenyataan," dia yang bermata biru masih sempat berbisik ringan sebelum berpamitan, mengelus batu nisan yang kemudian disusul menegakkan kaki. Berdiri menatap sejenak dua buah penanda makam yang pada keduanya mendapatkan taburan bunga.     

Langit mulai kehilangan sinar matahari ketika sepasang suami istri berjalan meninggalkan kumpulan pusara yang terdiam.     

Hening masih tertangkap di dalam mobil jeep hitam yang di tumpangi empat orang, sebab sang nona terdiam semenjak meninggalkan pusara kedua orang tuanya.     

"Apakah aku boleh mengunjungi rumah runtuh dan minum kopi di warung dekat rumah itu?," suara Aruna selepas tatapan ke arah jendela beralih pada suaminya.     

Herry dan Raka spontan saling menatap, di mana letak rumah runtuh tersebut? Isi benak ajudan junior yang mengharapkan mendapat jawaban dengan menatap seniornya.      

Hendra tidak menjawabnya, tangannya bergerak meraih jaket di bangku belakang. Meminta tangan istrinya segera masuk pada lengan baju tebal penghangat tubuh tersebut.      

Ketika jaket telah menelungkupi tubuh sang perempuan, ada gerakan menutup resleting seiring dengan kalimat yang mengiyakan keinginan Aruna.     

"Asal kamu tidak capek, dan kuharap istriku tersenyum dulu," pria yang bicara menampakkan lesung pipinya, memancing perempuan yang tengah menatapnya.      

Aruna tidak sedang bersedih, dia hanya bingung rasa apa ini? Sebuah rasa yang tak dapat dimengerti oleh dirinya sendiri.     

***     

Perempuan yang baru menghapus air nakal di pelupuk matanya melanjutkan membaca, sebuah angka 1 tertera mengawali barisan huruf yang terangkai.     

Baik laki-laki ataupun perempuan, yang terlahir dari rahimku, putra putriku akan menjadi seseorang yang hebat.     

Aku bukan calon ibu yang sempurna, anda tahu, aku terlalu muda dan pendidikan sarjanaku belum dinyatakan lulus.     

Aku juga bukan pembelajar yang baik, yang bisa menghabiskan banyak buku tentang parenting atau segala macam pelatihan tentang ibu ideal     

Segala kekuranganku, bukan berarti aku tak diizinkan berusaha. Kita semua manusia, dan aku meyakini tak ada yang lebih baik dari niat tulus serta kesungguhan hati.     

Bersama kesungguhan yang aku yakini akan mendatangkan banyak kemudahan dan penolong-penolong yang tak bisa kita pungkiri keberadaan mereka. Mereka ada ketika hati kita diliputi niat yang jernih.      

Beri saya kepercayaan untuk menjaga, merawat, dan mendidik putra putriku.     

Saya tidak memiliki garansi apa pun opa -dia yang menulis, menunjuk pada Wiryo-. Tapi sayangnya, saya perempuan naif yang sedikit tidak tahu malu.     

Tanpa mengurangi rasa hormat, saya akan mendidik putra putri saya dengan cara saya. Dan saya yakin, mereka bakal sehebat anda dan daddy-nya dengan bonus hati yang hangat.     

Sukma yang membaca bukan lagi terenyuh haru, nenek anggun tersebut tersenyum ringan memahami isi hati Aruna yang sedang meletup-letup saat menuliskan prinsipnya yang pertama.     

Ibu hamil, bahkan seseorang yang sudah memiliki selusin putra putri hingga cucu seperti Sukma sendiri, acap kali merasa masih belum sempurna.     

"Tidak ada kesempurnaan, baik laki-laki maupun perempuan. Apa kamu pernah melihat kesempurnaan Wiryo? Di usiamu yang setua ini?" uniknya Sukma melempar pertanyaan pada suaminya yang sedang terenggut konsentrasinya pada handphone di tangan.     

"kesempurnaan milik Tuhan, klise," ujar Wiryo datar, menatap layar handphone.     

"Nah! Jadi kau setuju?".     

"apa?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.