Ciuman Pertama Aruna

III-301. Membaca Catatan



III-301. Membaca Catatan

0"Tuan, kali ini bukan aku sendiri yang mengalami kesialan," kata Herry menoleh pada pasangan suami istri di kursi belakang.     

"Maksudmu?" balas Mahendra.      

"Kita bertiga sedang sial," pernyataan Herry membuahkan kerutan pada dahi pasangan suami istri tersebut.      

"Jangan bertele-tele," Aruna merasa Herry kian unik, terkontaminasi oleh atasannya yang merupakan suaminya sendiri -Mahendra-.      

"Bahan bakarnya habis, dan.." ajudan tersebut menoleh ke sekitar jalan. Hamparan ladang sayur dan perbukitan, mustahil ada SPBU di tempat seperti ini.     

"Kenapa tadi tidak beli?" suara Aruna menarik perhatian ajudan suaminya.      

"Em' maaf, saya lupa. Anda berdua bertengkar terus," Herry cemberut untuk pertama kalinya, "Saya tidak ingat apapun, kecuali topik pertengkaran anda berdua," lirih dia bersuara.     

Mahendra terdiam cukup lama, sepertinya pria ini sedang berpikir, kontras dengan istrinya yang bergegas turun dari jeep. Bergerak membuka bagasi, mengambil ransel lelaki bermata biru serta tas selempangnya.     

Kaca jeep diketuk, tak perlu menunggu lama hingga Mahendra bergegas menurunkannya. Detik berikutnya, sebuah tas ransel dilempar ke dalam mobil, "Ayo!".     

Aruna mengeluarkan pita rambut dari dalam tas selempangnya. Gerakan mengikat rambut ia pertunjukkan, bahkan baju pada lengan kirinya dinaikkan.     

Demikianlah perbedaan gaya Aruna dan Mahendra dalam menyelesaikan masalah. Lelaki bermata biru membuat perenungan terlebih dahulu, memikirkan segala jenis solusi yang bisa dia ambil dan berbanding terbalik dengan istrinya. Perempuan tersebut memilih langsung bertindak.      

Herry turun mengikuti gaya menyelesaikan masalah ala nonanya. Jempol perempuan itu segera di acungkan ketika sebuah mobil melintasi mereka.     

Ada tarikan bibir dari ajudan yang berdiri di samping nonanya, dia senang melihat perempuan hamil yang terkesan tomboy sekaligus hambel. Nona muda ini menjelma menjadi teman perjalanan yang seru, membuat Herry mengikuti tindakan Aruna. Mengacungkan jempol sebagai lambang butuh tumpangan.     

"Nona, apakah anda pernah melakukan ini?" tanya Herry seolah-olah detik ini terasa sedang tidak bekerja, melainkan tengah berpetualang.     

"Hehe," Ada kekeh singkat dari sang nona, "Aku tidak terlahir dari keluarga kaya raya. Apa kau lupa kalau aku anak ajudan? Ayahku dulunya berprofesi sama sepertimu,"     

Spontan deretan gigi rapi Herry tertangkap lawan bicaranya. Sejalan dengan berhentinya sebuah mobil yang memiliki kabin tertutup dan bak terbuka dibelakang untuk membawa barang bawaan.      

"Herry, pickup-nya berhenti, yeee.." perempuan tersebut mengepalkan tangan, kepalan tersebut bergerak ke langit, menggambarkan rasa senang. Sama seperti ajudannya yang melompat mengekspresikan keberhasilan.     

"Nona, biar saya bawa tas anda?" kedua orang tersebut menjadi teman yang menyenangkan. Menyapa hangat sekelompok ibu-ibu yang duduk di antara karung sayuran, bunga kol, sawi putih, sampai kentang, Herry dan Aruna sekilas mencuri pengamatan.     

Belum sempat Aruna menyerahkan tas kepada Herry, seorang ibu-ibu yang mengamati mereka bersuara pada sopir di depan, "Joko, mbak'e tibak'e hamil iki lo, lungguh ngarep yo?" kelima ibu-ibu tersebut tampaknya akan menuju pusat pengepul sayuran atau sejenis pasar tradisional.      

(Joko, kakak ini ternyata sedang mengandung, duduk di depan ya?)     

"Ngono aa?, yok opo iki, Njul, medun!" dari balik kaca transparan terlihat sopir pickup mengibas ringan keneknya menggunakan handuk yang menggantung di leher.     

(Begitu ya?, bagaimana ini, Njul -nama orang-, turunlah!)     

Aruna berjalan mendekati pintu selepas kenek pickup tertangkap turun dan mempersilahkannya masuk. Herry melompat ke atas bak terbuka bersama dengan seorang lelaki -kenek-, kemudian ikut membaur dengan lima orang ibu petani yang sekaligus pedagang sayuran.     

Pickup tersebut baru bergerak, dan perempuan hamil yang duduk di depan merasa ada sesuatu yang tak beres dengan ini semua, "Stop!!!" memekik hebat, mengejutkan yang lain, "berhenti! berhenti!" Sang sopir lekas menekan kuat-kuat pedal rem.     

"Lho, ono opo mbak??" di bak belakang para ibu-ibu menjadi berisik.     

(Hlo, ada apa kak??)      

"Suamiku ketinggalan, maaf," Aruna membuka pintu pickup -baru berniat turun-, akan tetapi dia mendapati Herry sudah berlari kesetanan menuju mobil jeep yang tertinggal 300 meter di belakang keberadaan pick up mereka.     

***     

Sukma meleburkan dirinya berlama-lama dalam pelukan Wiryo untuk mengalihkan perhatian lelaki tersebut. Nenek keluarga Djoyodiningrat sedang menunggu balasan dari putrinya.     

Di luar sana, ada anak muda bernama Vian yang berhasil membongkar kedok penculikan terhadap Anna.     

Wiryo tidak pandang bulu, siapa yang melawan kehendak hatinya akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Entah putrinya sendiri, bahkan Istrinya sekali pun, tak akan mendapatkan hak istimewa.     

Nilai-nilai yang dibangun lelaki angkuh tersebut derajatnya lebih tinggi dari kebahagiaannya sendiri. Maka dari itu —pada detik ini, saat dimana Sukma membebaskan pelukannya dia berupaya keras memutar otak supaya suaminya tidak mengarahkan kursi roda otomatisnya menujuk pintu kamar untuk keluar.     

Wiryo menarik bibirnya, menepuk punggung tangan sukma yang berada di atas paha selepas mendapatkan pelukan sang istri.     

Sukma tahu Wiryo akan pergi tatkala kursi beroda bergerak mundur, membuat perempuan paruh baya yang masih ayu tersebut buru-buru bangkit dari duduknya. Kelimpungan menoleh ke segala arah, mengembara tatapan.      

_Ayo lah! Cari topik, topik apa saja, yang penting bisa mengulur waktu dengannya_ bisikan hatinya memicu degup jantung.     

Kursi otomatis tersebut sudah bergerak menjauh, sejalan dengan telapak tangan Sukma yang saling bertautan satu sama lain. Dia yang dirundung cemas tengah menutup mata, uniknya sebuah catatan tergambar seketika.      

buku catatan kecil bertempelkan aksesoris lucu warna-warni dan wajah hangat cucu mantu berpadu, menyapa kelopak mata yang yang tertutup rapat tersebut.      

"Aruna," celetukan Sukma sempat mengejutkan Wiryo yang hampir meraih pintu kamar utama rumah induk. Perempuan ayu tersebut mendekati nakas, menarik bulatan kecil yang menjadi lambang dibukanya laci.     

_Ya, note ini pasti milik Aruna_. Benak Sukma meyakinkan diri sebab beberapa hari ini dia melihat suaminya memegangi catatan berbentuk buku tersebut, membolak balik lembar demi lembar.     

Tampaknya Wiryo membaca tulisan tangan sang cucu mantu. Tindakan tersebut tentu saja ternilai janggal di mata Sukma. Tangan yang penuh dengan guratan penuaan, kontras dengan notebook mini yang dipenuhi tempelan serta pernak pernik unik khas istri Mahendra.     

"Apakah ini milik, Aruna?" Sukma menarik perhatian sehingga Wiryo memutar gerakan kursi roda, -supaya bisa melihat apa yang ingin ditunjukkan istrinya.     

"Oh, itu," ada anggukan yang diperlihatkan Wiryo.     

"Apa isinya? Kau membaca diary istri cucumu sendiri?" mengada-ada pertanyaan Sukma, sejujurnya perempuan ini pernah mengintipnya dimana pada lembar pertama bertuliskan 10 prinsip Aruna Kanya Lesmana -nama panjang putri Lesmana-.      

"Tidak. Aku hanya ingin tahu seperti apa, dan sejauh mana putri Lesmana tumbuh dewasa," jawab Wiryo, menatap istrinya.      

"Sepertinya ini sangat menarik. Apa aku boleh ikut melihatnya?" Sukma tak henti-hentinya menarik perhatian Wiryo dengan deretan pertanyaan. Diam-diam dengan gerakan lambat, perempuan tersebut mendekati keberadaan kursi roda suaminya.     

"Baca saja," sudah menjadi hal yang biasa, pria paruh baya tersebut menjawab tiap pertanyaan seperlunya dan sependek mungkin.     

"Bagaimana kau bisa menilai kalau calon ibu cicit kita sudah tumbuh dewasa melalui tulisan ini?" Sukma merunduk, menunjukan halaman pertama.     

"kau mau membacanya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.