Ciuman Pertama Aruna

III-298. Ekspresi Kusut



III-298. Ekspresi Kusut

0"Mengapa mengemudinya buru-buru?. Ayolah sayang nikmati perjalanan kita. Kamu membawa ibu hamil di mobilmu,"      

Aruna mengeluhkan kelakuan suaminya. untung saja ucapannya layaknya mantra pengendali bagi seseorang yang sedang bertugas sebagai pengemudi, kecepatan mobil tersebut diturunkan.      

"Apa kita sudah sampai Malang?"      

"Sejak tadi nona," Herry yang berada di kursi belakang mengabarkan.      

"Apa kamu tidak lapar sayang?" Aruna menoleh pada pengemudi mobil yang detik ini memasang kekalutan. suasana buruk pada guratan-guratan raut wajahnya tak bisa dianggap enteng.      

Hendra sekedar menggeleng.      

Dan aruna kian dibuat penasaran. Mahendra pasti sedang memikirkan hal lain, beribu-ribu kilo dari keberadaan ragawinya. Lelaki bermata biru terlihat memikirkan sesuatu di luar perjalanan mereka.      

Bisa jadi ada seseorang yang sudah memberinya kabar, bahwa Anna di terbangkan pulang kerumah orang tuannya.      

"Kan belum makan.. masak tidak lapar.. aku saja sudah sangat lapar," hendra menoleh, dahinya mengerut menatap perempuan yang meliriknya. Aruna membalas dengan senyuman.      

Lelaki bermata biru mendesah. tak percaya. nafsu makan istrinya kian tak terprediksi. Padahal dia sendiri yang kehilangan nafsu makan.     

"Aku mau makan bakso legendaris, bakso president, sekarang. Boleh -kan?!" perempuan hamil ini menjadi sedikit menyebalkan dengan permintaan aneh-aneh. demikian benak Mahendra berujar pada pemiliknya.      

Berkebalikan dengan Aruna yang dengan lembutnya menyentuh dan mengelus lengan kokoh sang pria. berupaya meredam ekspresi kusut yang terlukis di wajah suaminya.     

Aruna belum mampu menyinkronkan isi kepalanya. Bagaimana keadaan ini terjadi, beberapa jam, bahkan menit sebelumnya, dirinyalah yang sempat marah dan hendra berupaya meredanya.      

saat ini hendra lah yang menunjukan ekspresi suntuk tanpa diketahui akar masalahnya.     

"Memang apa hebatnya?" Hendra melirik istrinya untuk sekian kali, "dimana tempatnya?" Ekor matanya masih tertuju pada perempuan yang dengan centilnya mengerjapkan mata berulang. Aruna tertangkap mahendra sedang membuat permohonan supaya permintaan dipenuhi. lelaki ini tidak mengerti istrinya sedang berupaya lebih dari isi kepalanya. aruna berusaha menghibur mahendra yang kalud.     

Aruna mengeluarkan handphonenya. Jari-jari lentiknya bermain di atas layar. Tak lama kemudian suara Google map memandu perjalanan mereka.      

.     

"Kenapa kita berhenti di tempat seperti ini?" Hendra baru memutar kunci, mematikan mobil Jeep yang mereka kendarai.      

Mungkinkah google map membawa ketiganya kerah yang salah? Benak Mahendra mencoba membuat terkaan.      

"Di mana kedai baksonya?" Mata biru mengamati sekitar ketika Jeep telah terhenti.      

"Di sana," perempuan hamil tersebut turun dari mobilnya sama semangatnya dengan herry yang sudah berdiri tegak menatap sebuah papan besar berwarna merah, bertuliskan 'bakso persident malang' tepat di ujung gang yang berakhir pada jalur perlintasan kereta api.      

Papan berwarna merah berpadu dengan tulisan besar warna putih, terpasang sempurna di atas kedai bakso yang tak begitu luas. Tetapi jangan ditanya jumlah pelanggan yang berjubel di dalam.     

Melihat Herry yang antusia, menatap penuh berhasrat terhadap apa yang diinginkan sang nona, perempuan tersebut berceloteh ringan, "semoga kita mendapatkan kursi Herry,"      

Ajudan tersebut mengangguk, "biar saya pastikan nona," lalu berjalan lebih cepat. Melewati deretan mobil yang terparkir kemudian melompat beberapa kali, cekatan melintasi rel kereta api.      

Riang Herry, teramat kontras dengan ekspresi Mahendra, "Apa kau gila? Kau ingin perutmu sakit lagi?! Ibu hamil itu tak boleh makan bakso! Banyak mengandung.."      

"Mengandung raksa nikmat," Aruna melangkah mengabaikan omelan suaminya.      

Kaki yang bergerak semangat terhenti, Mahendra pelakunya. lelaki bermata biru yang berdiri di sebelahnya meraih lengan sang perempuan. "Jadi kita akan makan di situ?" bantaran rel kereta api menyiksa mata tuan Muda, " sepertinya Hendra baru menyadari setelah matanya benar-benar terbuka dan mencari Di mana letak kedai bakso legendaris yang diinginkan istrinya.      

"Lihatlah dulu.. lihat.. kedainya bersih dan bagus,"      

"Masalahnya tempatnya terlalu dekat sama rel kereta api!!" bukan lagi omelan, suara Mahendra dapat dikategorikan sebagai kemarahan.      

"Enggak! pokoknya aku mau makan di sana," Aruna memukul-mukul telapak tangan suaminya yang mencengkram kuat lengan kiri.      

"Tidak! Baby tidak akan suka..," Lelaki bermata biru enggan melepaskan.      

"Aku ngidam.. pasti baby setuju!"      

"Ngidam itu cuma mitos!"      

"Siapa bilang?"      

"Tidak ada teori apa pun yang bisa menjelaskan, itu artinya mitos, mengada-ada!"      

Keduanya bertengkar pada jalan setapak menuju kedai.      

"Nanti baby kita, punya banyak air liur!" ibu hamil berkilah.     

"jangan banyak alasan. kita kembali," Hendra konsisten memegangi lengan istrinya membalik tubuhnya berniat menuju Jeep.      

"Nona! Ada satu bangku kosong ayo cepat, keburu diambil orang.." suara Herry yang berada di sisi berbeda dari rel kereta api -membentang di antara mereka- berhasil menggoda Aruna.      

Perempuan tersebut spontan tidak mau bergeser dari tempatnya berdiri dan malah menggigit punggung telapak tangan milik suaminya. Hendra yang terkejut sontak melepaskan genggaman. Istrinya berjalan cepat, setengah berlari perempuan hamil yang masih terlihat bak remaja tersebut melewati bantaran rel kereta api menyambut panggilan Herry.      

"Mana.. mana bangkunya," mereka berdua seperti sepasang remaja mencari-cari lokasi ternyaman lalu berebut pemahaman dari menu-menu yang disajikan.      

Sejujurnya hati Aruna dirundung resah, Aruna hanya ingin suaminya makan siang. Walaupun ada keegoisan di dalamnya, Aruna memilih sesuatu yang dia inginkan bukan yang diinginkan suaminya.     

.     

.     

"aku paket komplit," celetukan Aruna mendapatkan anggukan.      

"Mau komplit saja atau komplit spesial?" Herry kembali bertanya ketika ia melihat papan menu.      

"jelas yang spesial dong," ibu hamil menegaskan.      

"bagaimana dengan ampela hati anda mau?"      

"wah.. ada empela ati? bagaimana rasanya empela ati versus bakso?" perempuan ini bertanya dan terlihat jelas keduanya penasaran.      

"Saya juga belum tahu nona.." ajudan ini tersenyum berharap dia mendapatkan kesempatan mencoba.      

"pesan saja Herry,"      

"baik," dia yang mendapatkan perintah terlihat meninggalkan sang nona sendirian. duduk di teras kedai. antara Aruna dan bantaran perlintasan kereta api berjejer pot-pot bunga yang menyajikan tanaman berdaun hijau segar.      

Suaminya masih berdiri kaku di sana seolah tak akan mau menyambangi kedai bakso yang telah berdiri sejak 1977 tersebut. Aruna melambaikan tangannya menggoda sang pria tampan yang tengah dirundung murka.      

Antara keras kepala dan sulit menjalani hidup biasa saja, Mahendra nampak kesulitan memahami cara berpikir dan gaya hidup istrinya.     

Suami istri berasal dari dua manusia dengan latar belakang dan isi kepala yang berbeda, mustahil sama.      

Sudut pandang mereka dipengaruhi oleh perjalanan hidup maupun pengetahuan-pengetahuan sebelum ikrar mengikat keduanya.     

Jadi, sesuatu yang biasa saja bagi salah satu dari mereka mampu menjelma menjadi hal yang luar biasa bahkan mustahil bagi yang lain.      

gadis yang ditatap tajam penuh emosi, mengirimkan pesan suara bernada manja.      

[Tuan muda.. kalau anda berdiri di tempat itu, kaca mata hitam tak akan menutupi anda dari terik matahari, kemarilah sayang.. minimal ada bakso hangat dan senyum manis istrimu. Jangan sampai kamu menyesal tak bisa memperingatkan perempuan bandel ini makan saus dan sambal terlalu banyak]      

Voice note Aruna meresahkan. pria itu berjalan melintasi rel kereta api dengan tangan menggenggam kuat telepon genggam.     

Belum sampai dia menyentuh kursi, tempat istrinya tengah memasang senyum manis.      

lelaki bermata biru mendapatkan panggilan: [Tuan, Syakilla dibawa Gibran. Juan terlihat kacau dan..] Jav menjeda kalimatnya, [aku rasa dia ingin pergi]      

Hendra menyingkir, [beritahu dia, sebaiknya menemui kakek ku, minimal jangan menghilang sesuka hati seperti dulu]      

"Herry kita berangkat sekarang!" ajudan yang membawa dua buah mangkuk di tangannya hanya bisa mengangguk sebelum pemuda tersebut meletakkan mangkuk di atas meja, dan perempuan hamil lekas menyambarnya.      

"Di makan di perjalanan saja, supaya kita cepat sampai tujuan," ini suara Mahendra.      

"Dan lekas pulang," mata Aruna menajam, "benar?"      

"Iya," pasrah hendra membalasnya.      

Perempuan ini membanting garpu dan sendok, suara benturan dua beda berbahan logam dengan mangkuk, mengejutkan lawan bicaranya, "Kenapa kau selalu begitu..!" tampaknya Aruna benar-benar marah, "cobalah menikmati hidupmu sekali saja, atau minimal peduli pada perasaanku dan baby?!"      

***     

"Aku sudah membawa Syakilla, sesuai permintaanmu. Sekarang saatnya saya menagih janji,"     

Asap tembakau membumbung, di hembuskan lelaki yang duduk nyaman pada kursi kebesarannya. Kursi kulit itali hitam mengkilap menyokong punggung peng hisap tembakau.     

"Dimana gadis itu sekarang?" kata tanya menggiring penghisap tembakau mematikan cerutunya. di tekan di atas asbak dan nyala merah itu padam menjadi abu.     

"Dikamarku, dia rumah kita,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.