Ciuman Pertama Aruna

III-292. Matahari Membubarkan Mendung



III-292. Matahari Membubarkan Mendung

0"Apa kamu marah sebab putriku melukai menantumu?" suara Graziella melontarkan pertanyaan yang sudah sangat jelas apa jawabannya.      

"Kalau iya, kenapa?" Sukma menjawab tegas, menatap mata Graziella.      

"Mami cukup!" Gayatri memeluk separuh tubuh Sukma memintanya mengundurkan diri dari ruang makan yang menyita seluruh perhatian asisten rumah induk. Sukma tidak pernah menunjukan kemarahannya pada orang lain. sekalipun dia kesal luar biasa. hal terburuk dari perilaku seorang sukma adalah melontarkan protes pada suaminya dan itupun dengan nada dan raut wajah gelisah. bukan kemarahan.      

"Beraninya kamu marah padaku!" Graziella mendekati Sukma.     

"Kenapa aku tidak boleh marah padamu?" manik mata sukma terfokus pada Graziella, secara sadar ia menurunkan rengkuhan tangan putrinya, gayatri.      

Gayatri tertangkap memejamkan matanya sekilas, "atas dasar apa aku tidak boleh marah padamu?"      

Graziella menyajikan bibir miring, dia menatap sukma dari ujung rambutnya hingga ujung kakinya, "kamu sudah menghayati statusmu ternyata,"      

"iya! Ini lah aku! Dan statusku. apa yang salah dari itu?" telapak tangan perempuan paruh baya tersebut menggenggam kuat-kuat. "Karena aku Nyonya besar di rumah ini, aku minta anda lekas pergi dari rumah induk kami!" Tegas oma. Telapak tangannya terangkat mengarah pada lorong di ujung sana. Lorong yang mampu mengantarkan lawan bicaranya menuju pintu keluar utama.      

"Apa?" Graziella melebarkan matanya, tak menyangka perempuan yang dipungut wiryo dari lembah terendah itu seolah-olah mampu berlagak layak ratu di rumah megah Djoyodiningrat.      

"Sukma masuklah.. tak perlu ikut campur," ini suara Wiryo.      

gayatri buru-buru mendekati ibunya, mengelus punggung perempuan yang diliputi emosi, "Mami. simpan kemarahanmu. bersabarlah mami," gayatri membisikan mantra pereda, seolah menjelaskan pada mami nya akan kemenangan tersembunyi mereka berdua.      

Sukma mundur satu langkah, lalu berbalik, ia berniat pergi.     

"Bukan kah dulu kau menundukan wajahmu di hadapanku, nama sopan santunmu, hingga lupa caramu memanggilku," Graziella membuat langkah Sukma sekaligus putrinya terhenti.     

"Bisakah kalian berhenti?!" ini gertakan Wiryo, "keadaan kita sedang tidak baik hari ini!" kalimat Wiryo mendorong Leona untuk bangkit merengkuh ibunya, graziella.     

Meminta perempuan berpakaian modis tersebut lekas duduk.     

Secara mengejutkan perempuan yang tadinya beranjak pergi. Sudah bergerak mendekati graziella.     

"Kau mau apa Sukma?!" Wiryo menggertak istrinya sendiri, meminta Sukma menyudahi pertengkaran tiada guna.     

"Ijinkan aku membela diriku sekali saja, -Tuan!"     

Wiryo sempat tak percaya dengan ucapan istrinya. Sukma jarang bahkan hampir tak pernah menunjukan kekacauan dirinya di hadapan orang lain. Pria paruh baya tersebut mendongakan wajahnya, menangkap istrinya yang berdiri tidak jauh dari dirinya.      

Lelaki di atas kursi roda tersebut sempat ternganga ketika seorang perempuannya mengujarkan kalimat tajam, mampu menggetarkan dadanya.     

"Aku tahu aku tak sehebat anda, nona." Kalimat ini lebih mirip hinaan dari pada sanjungan, nona adalah panggilan Sukma pada graziella perempuan terhormat yang lebih lama berada di sisi Wiryo dari pada dirinya, "Kuharap kamu bisa membuka matamu lebar-lebar, bahkan udara yang hadir di dalam rumah ini tahu, siapa juaranya. Sejauh ini aku tetap bertahan mendampingi keluargaku, seburuk apapun keadaan menimpa kami, memeluk dan menjunjung tinggi tradisi Djoyodiningrat. Itu bedanya seorang istri jika dibandingkan kisah hebat mantan kekasih,"     

Tanpa melihat suaminya, sukma bergegas pergi. Sampai-sampai langkah kaki gayatri yang ikut memburu gesitnya sukma berjalan tak cukup untuk mengejar ibunya.     

Gayatri terlihat mengetuk pintu berulang kali, sambil terus memanggil ibunya, "Mami... ma,"     

"Ma.. kamu tak apa-apa?" demikian suara Gayatri membujuk ibunya.      

Di ruangan mewah, kamar utama keluarga Djoyodiningrat. Seorang perempuan yang wajahnya tak muda lagi nampak tengah memegangi dadanya. Dia ingat betul bagaimana tersiksanya dirinya yang dulu.      

Perempuan yang dinikahi secara sah. Akan tetapi kapasitasnya sebatas terdiam menerima perintah. Ia cuma bisa membungkam kala Suaminya menjadi demikian terpandang -sebagai pebisnis hebat negara ini- dan tentu saja namanya tak pernah disebutkan sama sekali.     

Wiryo akan datang di malam hari, sangat malam. Lelaki itu akan memasuki kamar mandi untuk berendam. Kebiasaan yang memakan waktu lama hingga Sukma berakhir tertidur dan pria tersebut sekedar memeluknya dalam diam.      

Keesokan harinya Wiryo bakal berangkat pagi-pagi, bahkan terlalu pagi hingga Sukma perlu menyiapkan segalanya sebelum ayam berkokok.     

Kesempatannya berinteraksi dengan Wiryo tak lebih dari sepuluh menit dan hal tersebut terjadi di meja makan. Pada sarapan yang terlalu pagi, melalui percakapan yang terlalu minim.      

andai sukma menginginkan sesuatu dia perlu membuat bekal makanan semenarik mungkin, kemudian menyisipkan secarik kertas di sela-sela wadah makan siang suaminya.     

Kehamilannya pun diberitahukan dengan cara yang sama.     

semua itu bukan apa-apa saat Sukma disetarakan dengan keberadaan Graziella kala itu. Perempuan dari Milan tersebut lebih mirip istri Wiryo dibanding dirinya. Mantan kekasih yang tak diketahui apa sebabnya, dan mengapa mereka tak menikah saja. Dari pada memungut Sukma untuk dijadikan wanita penghuni rumah mewah tersebut.      

Pertanyaan-pertanyaan sederhana inilah yang bakal mengguncang hati Sukma tiap kali dipertemukan lagi dengan Graziella     

Padahal Wiryo mampu menghabiskan banyak waktu membahas hal-hal yang terdengar seru, entah terkait pekerjaan maupun relasi-relasi keduanya –obrolan yang sama sekali tak di mengerti sukma-      

Sedangkan sukma sering kali merasa dirinya lebih serupa dengan seorang selir di rumah ini. tugasnya membuat kenyang sang tuan yang sejujurnya ialah suami resminya.      

Tak ubahnya asisten rumah tangga tugas Sukma lainya adalah menyiapkan baju serta kebutuhan sehari-hari Wiryo yang sejujurnya bisa dilakukan siapa saja.      

Perempuan berduka tersebut masih meneteskan air mata tatkala, secara mengejutkan ketukan di pintu tempatnya bersembunyi berubah suara.     

Bukan lagi suara putrinya melainkan suara berat yang punya penekanan kuat di setiap ujung kalimat, Wiryo mengetuk pintu dan memanggil namanya.      

***     

Lagi dan lagi, lelaki yang punya paras lancip dengan hidung mancungnya terlihat kacau. Lelaki tersebut mengabaikan panggilan di handphonenya. Entah untuk keberapa kali.      

Dia mulai gelisah, mengingat pesan dan panggilannya pada pria yang harusnya sudah memberinya solusi malah tak di gubris sama sekali.      

Vian putus asa menghubungi Hendra. Sama putus asanya dengan menghadapi panggilan tetua Wiryo.      

Ia pada akhirnya meraih jaket, dan buru-buru mengenakannya sembari berlari menuruni tangga. Bergerak menuju pintu dan berakhir mengendarai kuda besi Roda dua miliknya.      

.     

Matahari bertengger di langit membubarkan mendung yang berusaha menutupinya. Tidak sekalipun menurunkan ketangkasan sang pengendara motor yang melaju diatas jalanan padat tengah hari. Dia memacu kendaraannya lebih cepat dari siapapun.     

"baiklah anggap ini pemberontakan," gumamnya menyakinkan diri, "demi kebaikan," bibirnya berucap di tengah desiran angin menghempas tubuh di atas kuda besi berkecepatan tinggi.      

Dadanya mulai berdetak tanpa ritme, tidak beraturan. Dan degupan itu serasa terdengar.     

Untuk kesekian kali dia dengan sengaja mengabaikan panggilan tetua Wiryo. Tentu, keputusannya kali ini lebih dari cukup untuk dinyatakan berbahaya.      

Siapa yang berani mengabaikan panggilan tetua. Sengaja menutup mulut.      

Secara sadar, entah dari mana kesadaran ini memicu pria tersebut sampai di depan rumah induk keluarga tuannya. Ia memperhatikan Handphonenya sekali lagi.      

Bagaimana bisa tuan muda, Mahendra, tidak memberi balasan di tengah situasi se-menggelisahkan ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.