Ciuman Pertama Aruna

III-289. Kecewa



III-289. Kecewa

0"Aku tahu sekarang, mengapa istriku yang manis ini menyebut UKM mainannya dengan panggilan Startup?" celetuk Mahendra, menanggapi celoteh istrinya.      

Alis Aruna menyatu seketika. Perempuan ini sadar, dirinya sebentar lagi bakal mendapatkan sederet kalimat menggelisahkan.     

"Bahkan, kadang aku kesulitan membedakan, apakah istriku, sebenarnya terlalu baik, atau, agak kurang, em' hehe," telunjuk Mahendra membuat gerakan berputar di sekitar kepalanya.      

"Cih!" Seketika perempuan hamil tersebut memicingkan matanya, membuang muka lantas meninggalkan lokasi berdirinya bersama sang suami.      

"Dengarkan aku dulu, akan aku jelaskan kenapa Banana memiliki nama lain yang sulit kamu eja," Mahendra memburu langkah Aruna.      

"Tak perlu!" Perempuan tersebut membuang telapak tangan lelaki yang mencoba merangkum punggungnya.      

Ada mulut menganga -sekian detik-, "Hai, Kenapa begitu saja kamu marah? Ayolah,"     

Rencana mengamati tumbuhan di dalam rumah kaca display gagal total. Perempuan itu berjalan keluar, mengambil langkah lebar-lebar. Tepat di hamparan rumput hijau ia berbalik.      

"Kamu tahu?!" Ujar Aruna dengan suara tegas, "Kenapa aku selalu mengatakan Surat Ajaib kami adalah Startup?" ia menghembuskan nafas lelah, "Karena itu sebuah impian. Rencana jangka panjang yang sedang kita tempuh, dan kita upayakan supaya terwujud. Mana mengerti kamu tentang mimpi, harapan, atau, Ah' sudahlah! Kau terlalu kaya untuk memahaminya".     

"Oh' aku pikir karena kamu tidak bisa membedakan UKM dan Startup. Hehe, ternyata begitu ya??" pria yang bicara tersebut menarik bibirnya. Berusaha manis meredam emosi istrinya.      

"Mana mungkin kamu bisa merasakan bagaimana memulai segalanya dari nol!? Kami kekurangan dana dan kami perlu memulai bisnis tersebut dari sebuah UKM kecil, kemudian, huuh, percuma bicara denganmu," Aruna yang tadinya bicara dengan nada berapi-api, kini mengurungkan niatnya kemudian berbalik dan berjalan pergi.      

"Nona, mobilnya," Suara Herry yang buru-buru menghentikan mobil Jeep, selepas melihat siluet pasangan suami istri yang ia buntuti, "Tuan??". _ada apa ini? _      

Herry mendapati sepasang suami istri tersebut melintasi dirinya akan tetapi tak ada satu -pun yang menyapanya. Bahkan tidak ada yang peduli akan keberadaannya.      

Aruna berjalan cepat mendekati mobil yang dibawa Herry, membuka pintu dengan gerakan tegas kemudian bergegas masuk dan tak disangka, perempuan tersebut membanting pintu kendaraan hingga Mahendra hampir saja menabrak pintu tersebut.      

***     

Ketegangan yang lebih hebat dari sepasang suami istri yang sedang beradu mulut ialah kerasnya Graziella menuntut Wiryo supaya lekas dipertemukan dengan putrinya.      

Perempuan tersebut meninggikan suaranya, memaki teman dekat atau mungkin lebih tepat disebut rekan terbaik dari masa lalu.      

"Bagaimana bisa kamu menyembunyikan ini sejak kemarin dari ku?!" Ia yang bicara membawa nada letupan yang begitu keras didengarkan yang lain.      

Acara sarapan pagi hari di rumah induk menyisakan seorang laki-laki dan 2 orang perempuan. Madam Graziella serta Leona yang banyak menggenggam sendok di tangannya.      

Tampaknya Sukma serta Gayatri memilih pergi. Walaupun kenyataannya kedua perempuan tersebut menguping percakapan di balik tembok pantry, serta pintu lain yang tidak jauh dari sana. Tindakan yang biasa dilakukan oleh para asisten rumah induk ketika mereka penasaran dengan tuan dan nyonya.      

Dalam kondisi yang sepelik itu, terlihat pria yang diserang oleh ledakan-ledakan hebat kekesalan Graziella, masih duduk tenang di kursinya bahkan hidangannya tetap ia nikmati.     

Tangan kirinya memegang handphone, mencoba menghubungi seseorang yang dia minta untuk menangani kasus ini.      

Sayangnya, panggilan tersebut belum juga diangkat.      

Tak lama kemudian pria paruh baya tersebut membuat gerakan meletakkan handphone sedikit kasar di atas meja, dan tatapan yang terangkat dari piring saji di hadapannya. Beliau sempat menunjukkan ekspresi dingin sejenak untuk menghentikan letupan kemarahan nya.      

Akan tetapi bagi Graziella, kali ini Wiryo sangat keterlaluan. Dia -Wiryo-, dalam benak Perempuan tersebut telah kehilangan banyak kualitas dirinya karena menua.      

"Wiryo! Kau harus bertanggung jawab atas hilangnya putri ku!!" kalimat kemarahan seperti hujan deras yang mampu meluapkan sungai, "Aku tidak peduli! Kau harus menemukan putri ku secepatnya!! Atau aku akan,"      

"Akan apa??" Wiryo mengangkat wajahnya menatap Graziella. "Aku paling tidak suka mendengarkan orang lain bicara denganku menggunakan nada kasar!" Tidak ada yang pernah, atau lebih tepatnya tidak ada yang berani berkata dengan volume tinggi kepada pria paruh baya tersebut. Pengecualian kepada cucunya -Mahendra-, yang sama-sama memiliki pengaruh hebat sebagai penerus tunggal keluarga Djoyodiningrat.      

"Scusa, sono molto arrabbiato ora!" Kilah Graziella.      

(Maaf, saat ini aku sangat marah)      

"Sono davvero deluso da te!" volume suara Graziella belum diturunkan sama sekali.      

(Aku benar-benar kecewa padamu!)     

Wiryo sekedar mengamati Graziella dengan kornea matanya yang hitam legam, menghujam lawan bicaranya.      

"Lascia che ti mostri chi ha il diritto di essere deluso?" balas Wiryo melirik keberadaan Leo,     

(Oke, izinkan saya menunjukkan kepada Anda, siapa yang berhak untuk kecewa!)     

 "ambilkan berkas ku di laci paling atas pada meja kerjaku!" Pinta pria paruh baya, dan perempuan yang menggenggam sendok di tangannya, berdiri menyambut permintaan kakek Djoyodiningrat tersebut.      

***     

Di sisi lain, di sebuah kamar berkonsep semi industrial. Pria yang tertidur di atas keyboard terbangun layaknya orang yang baru saja mendapatkan setruman. Ia lekas sadar setelah handphone yang tak jauh dari wajahnya meraung-raung.      

Pria tersebut lekas merapikan dirinya, kepalanya yang bergerak terangkat hampir menjatuhkan benda yang ia jadi -kan tumpuan tertidur.      

Belum sempat mengangkat panggilan penting di ujung sana. Telepon itu sudah berhenti berdering.      

Lelaki yang mencoba mengumpulkan kesadaran tersebut menundukkan wajahnya sejenak. tak lama tertangkap ia mengacak-ngacak rambutnya.      

_Bagaimana ini? Apa aku perlu menceritakan temuanku pada tetua Wiryo?_ ia meletakkan kepalanya di atas meja. Gerakan mengetuk-ngetuk ujung meja menggunakan dahinya terlihat.      

Lidahnya kelu membayangkan ia harus menceritakan kejadian sesungguhnya. Oma Sukma, yang ramah, anggun, dan selalu dipenuhi ekspresi kebaikan itu harus dinyatakan sebagai pelaku tindakan penculikan.      

Hal yang lebih mengalutkan pikiran Vian, bagaimana jika tertua Wiryo pada akhirnya marah besar kepada perempuan keibuan tersebut?.      

_Hah! Aku bisa gilaaa_ pria yang nampak kacau ini mengacak rambutnya lagi, dan tertangkap menggapai handphonenya.     

Notifikasi yang ia harapkan dari seseorang yang mungkin saja bisa memberinya jalan tengah dari keadaan membingungkan ini, tidak nampak di layar handphonenya.      

Ia kembali meletakkan handphonenya, mendesah kecewa.      

"Ma, apa yang harus aku lakukan?" Pria itu baru saja menekan tombol enter supaya layar laptopnya menyala.      

Sedikit aneh, akan tetapi ia benar-benar berbicara dengan foto yang menjadi wallpaper desktop alat elektronik canggih tersebut.     

"Apa aku perlu berkata jujur kepada tetua Wiryo??" dengan nada serius ia meminta saran pada sebuah gambar yang pastinya mustahil memberinya jawaban apapun.     

"Kalau aku bicara jujur, Hais'! Itu tidak mungkin, ma,"      

"Mana aku tega melihat perempuan sebaik itu mendapatkan hukuman?!"     

Handphone Vian kembali berdering, nama Wiryo tertera di layar smartphone tersebut.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.