Ciuman Pertama Aruna

III-288. Hasil Cetakan



III-288. Hasil Cetakan

0"Apa yang akan kamu lakukan ketika aku suatu saat nanti membuat sebuah keputusan, dan kau tak setuju?" Pertanyaan Mahendra begitu tiba-tiba, diluar konteks perjalanan mereka. Namun ekspresi wajahnya menuntut supaya perempuan di hadapannya segera membuat jawaban.      

"Em, aku akan menanyakan terlebih dahulu, apa alasan yang membuat keputusanmu berbeda dengan kehendak ku," mata Aruna menangkap gerakan Mahendra yang tengah memegang pelipisnya. Jelas, dia sedang berpikir.      

"Menurutmu, apa yang mendorong seorang perempuan melakukan tindakan diluar kebiasaannya?" lagi-lagi lelaki bermata biru tersebut melemparkan pertanyaan yang menguras pikiran Aruna.      

"Maksudnya, bagaimana?" Seperti yang kini dilakukan Mahendra yaitu menatap panorama jalanan yang terhampar di luar sana. Aruna pun melakukan hal yang sama. Perempuan tersebut membiarkan matanya mengembara, menatap hamparan padi menguning di kanan jalan tol. Jalanan yang membelah hamparan sawah.      

"Em, misalnya tiba-tiba melakukan tindakan, Ah' bukan begitu.." Mahendra kembali memegang pelipisnya, "Misalnya ada sepasang suami istri, karena tidak suka dengan keputusan suaminya, istri tersebut tiba-tiba membuat keputusan sendiri. Hais' bagaimana aku harus menceritakannya?" Pria tersebut nampak kebingungan.     

Aruna memasang senyum di wajahnya, "Aku tahu maksudmu, apakah aku sudah boleh menjawabnya sekarang?"      

"Tentu," wajah pria itu menoleh pada perempuan hamil yang masih mengamati panorama sepanjang jalan, "Aku sangat penasaran,"      

Mungkin orang lain akan jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana versi Mahendra, terutama tentang perempuan. Akan tetapi putri Lesmana sudah jauh berbeda dari dirinya yang dulu. Perlahan-lahan ia bisa memahami seperti apa lelaki bermata biru yang berstatus suaminya tersebut. Pria itu punya rasa penasaran berlebih terhadap sosok dirinya, kadang pada mommy-nya, bahkan tak terkecuali pada neneknya. Pada semua perempuan yang coba ia kenal secara perlahan-lahan.      

"Karena kecewa. Kekecewaan membuat seseorang bertindak diluar batas, tidak ada hubungannya dengan laki-laki atau perempuan, manusia sama saja, bukan?" Netra coklat yang melirik ke arah suaminya, mendapati kepala pria tersebut mengangguk.      

"Saat kau kecewa padaku katakan dengan lugas! Jangan sampai membuat keputusan sendiri diam-diam di belakangku, walaupun mungkin suatu saat aku akan menua, atau kaku, seperti kakek," Ujar Mahendra.      

_Mengapa kalimatnya terdengar begitu bijak?_ Benak Aruna bertanya-tanya.     

Kekeh tawa perempuan tidak bisa terhindarkan. Bahkan pemuda yang detik ini mengemudikan mobil mereka, menarik bibirnya menahan senyuman.      

"Kenapa kau tertawa?" Lelaki bermata biru lekas melempar tatapan tajam kepada istrinya.      

"Tidak," Elak perempuan hamil sembari mengulum bibir, menahan tawa.      

"Ayolah, jangan berbohong!" Ia mendesak, "Aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Sudah aku bilang, aku sangat tidak suka dengan hal-hal semacam itu," Raut wajahnya menunjukkan ekspresi jengkel.      

Aruna menolehkan wajahnya, menutupi ekspresi terpingkal yang ia bungkus pada guratan raut mukanya.      

"Hah!, Aku tidak suka tawamu kali ini!" Mahendra membalik bahu istrinya.      

Sekian detik menatap wajah Mahendra, akhirnya Aruna berujar, "Bagaimana bisa hasil cetakan membenci wadah pencetaknya??"      

Alis Mahendra menyatu seketika, "Kau, mengatakan bahwa aku tak ada bedanya dengan si tua itu?!"      

Herry yang tengah mengemudi, tak lagi mampu menahan rasa geli di perutnya. Ajudan tersebut cegukan sebab terlalu lama menahan tawa. Siapa yang tidak tahu cucu dan kakek keluarga Djoyodiningrat, mereka seperti pinang dibelah dua dalam beberapa hal.     

"Kau sengaja cegukan ketika aku dihina istriku??" Mahendra meninggikan volume suaranya.      

"Maaf ik' kan Ik' sa ik' ya, tu ik'," suara Herry yang terbata-bata.      

"Aku tidak menghina, dan jangan marah pada cegukan Herry. Kau sendiri -kan, yang mengatakan kamu mirip dengan opa Wiryo? Ingat, tidak ada kata opa Wiryo dalam kalimatku," kilah Aruna.     

.     

.      

Beberapa menit berselang, mobil yang mereka tumpangi memberi mereka guncangan aneh. Terasa ada yang berbeda.     

Herry segera turun dari kursi mengemudinya. Ia mengitari mobil Jeep dan menemukan salah satu ban pada sisi belakang kempes. Tak lama kemudian lelaki bermata biru menyusul -turun dari mobil-, selepas ajudannya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.     

Mahendra sempat meminta supaya istrinya duduk dengan tenang di dalam kendaraan beroda empat tersebut. Sayangnya dia bicara dengan Aruna, perempuan yang tak mungkin diam di tempat selepas matanya menangkap sesuatu yang bisa jadi menyenangkan untuk disusuri dan dinikmati.     

Tak perlu menunggu lama dari pesan suaminya, Aruna turun dari kendaraan. Sekilas ia mengamati ban mobil belakang yang terlepas dari porosnya, dan ban cadangan yang sudah diturunkan.     

Tampak Mahendra baru saja selesai menepukkan kedua tangannya -membersihkan sisa-sisa debu-, kala istrinya meraih telapak tangan kanannya dan menariknya. Membawa lelaki bermata biru berjalan cepat, langkah tercepat yang perempuan hamil tersebut upayakan, seolah ingin berlari.      

"Mau kemana?" Tanya Mahendra keheranan.     

Aruna tidak menjawabnya, dia hanya mengacungkan tangannya. Kawasan rimbun mirip hutan yang dikelilingi pagar rapi tersaji di ujung arah telunjuk perempuan tersebut.      

Berada di jalur Surabaya-Malang, jelang perbatasan Pasuruan dan Malang, ban mobil mereka bocor, lokasinya tidak jauh dari SPBU Purwodadi.      

Di mana pada seberang jalan terdapati tulisan Kebun Raya Purwodadi, ketika kawasan rimbun pepohonan tersebut didekati dua langkah kaki sepasang suami istri. Sebuah tempat konservasi tumbuhan yang berada dibawah pengawasan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seluas 85 hektar dengan koleksi lebih dari 10.000 jenis tanaman.      

Aruna masih memegangi jemari tangan suaminya kala ia dengan bersemangat menatap papan besar di atas kepalanya.     

Sebuah pintu gerbang yang ditandai dengan dua buah gapura super besar, dan megah mirip istana. Berbahan batu bata dengan bentuk khas jawa timur, berbadan besar pada bagian bawah dengan bentuk balok pada bagian dasar sedangkan atasnya mengerucut. Gapura tersebut berada di sebelah kanan mereka.      

Keduanya terlihat berjalan menuju pintu gerbang Kebun Raya Purwodadi.     

Kala langkah pertama memasuki kawasan tersebut, mereka disambut udara sejuk dan hati yang tenang, seolah mendengar melodi alam atau mungkin saksofon berpadu dengan gemericik air serta gesekan daun diterpa angin.     

Pepohonan rimbun menjulang tinggi dengan ranting-ranting mengembang menutupi langit biru sebagai latar belakangnya. Rerumputan menghampar luas bagaikan karpet hijau yang menyejukkan mata si empunya.      

"Kau yakin akan berjelajah di tempat seluas ini dengan jalan kaki?" tanya Mahendra, sejujurnya pria ini mengkhawatirkan makhluk mungil yang hidup di perut istrinya.      

"Sampai Herry menyusul kita, sekalian olahraga," perempuan tersebut tersenyum manis, kembali menarik lengan suaminya.      

Mereka berjalan cukup jauh sampai menemukan papan nama sebuah gedung. Tanda pengenal yang di bangun dari batu bata berlapis keramik tersebut bertuliskan Rumah Kaca Display dan Menara Pandang.     

Layaknya puzzle berbahan cermin-cermin besar yang bentuknya serupa dengan Iglo [1], dan di samping rumah kaca tersebut ada gedung serupa wadah obor meninggi kokoh.      

Si perempuan yang tidak terlalu mengerti akan konsep penamaan tumbuhan menceletukkan pertanyaan menggelikan bagi Mahendra, "Mengapa anggrek harus dibuatkan nama Orchidaceae? pisang juga. Menurut ku sudah cukup pisang atau Banana, kenapa harus dipersulit jadi Musa Paradisiaca," dia menggerutu.      

"Aku tahu sekarang, mengapa istriku yang manis ini menyebut UKM mainannya dengan panggilan startup?" celetuk Mahendra, menanggapi celoteh istrinya.      

Alis Aruna menyatu seketika. Perempuan ini sadar, dirinya sebentar lagi bakal mendapatkan sederet kalimat menggelisahkan.      

[1] iglo adalah rumah atau tempat tinggal sementara, berbentuk kubah dan dibangun dari balok-balok salju yang biasa di gunakan sebagai tempat tinggal suku eskimo.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.