Ciuman Pertama Aruna

III-270. Titisan Narcissus



III-270. Titisan Narcissus

0"Kamu lolos tahap 1, sebagai ajudan," suara Susi mengejutkan, "Pemberani, modal awal yang cukup bagus," lengkap ajudan senior Djoyodiningrat.      

"Benarkah??" Suara bersemangat dilontarkan oleh Kiki.      

"Ya! Aku suka semangatmu," jelas Susi, menganggukkan kepala.      

Kiki terlihat mengepalkan tangannya, kemudian diangkat di depan dadanya. Sesaat kemudian  gerakan tersebut berubah, menyatukan kedua belah tangannya -membentuk tanda syukur-, sebelum menoleh ke sisi kiri kemudian menawarkan senyuman berbangga pada Vian yang duduk di dekatnya.      

Dan secara mengejutkan, tiba-tiba saja gadis itu memeluk Vian, "Yeess!!! aku lolos!" ia memeluk sekejap tubuh lelaki bermata sendu tersebut -tanda bahagia-, lalu melepasnya begitu saja, detik berikutnya. Kiki tidak menyadari, wajah lelaki dengan dada sedikit terbuka itu sempat memerah. Ia (Vian) tertegun dalam kebekuan.      

Mulut yang sempat ternganga sekian detik, terlihat menelan salivanya. Kemudian memandangi dua biji kancing yang tergeletak di atas permukaan tangannya.      

Otaknya seperti punya amunisi, dan tercetuslah sebuah ide cemerlang.      

"Bomb, bagaimana nasib dadaku yang menawan ini?" telapak tangannya yang besar diletakkan di permukaan kepala Kiki, lalu memutarnya. Detik berikutnya, mata gadis tersebut mampu melihat bagian bidang dada terbuka.     

Pria itu seolah titisan narcissus [1], terlihat begitu membanggakan tampilan fisiknya dengan dada terbuka. Kiki yang jengkel hampir saja memukul kepala Vian. Akan tetapi hal tersebut, pastinya terkategori sebagai tindakan tidak sopan.      

"Aku tidak mungkin berjalan dengan dada menawanku yang terekspos. Aku takut semua orang akan jatuh cinta padaku," pria tersebut menarik bagian kain yang sejujurnya tidak begitu terbuka, akan tetapi sengaja dilebarkan supaya terlihat jelas bahwa kancing yang terlepas -2 biji tersebut-, ialah perkara besar.      

Mungkin Vian tengah berharap gadis yang menatapnya dengan perasaan jengkel tersebut tersabda menjadi Ekho, seseorang yang tergila-gila atas ketampanan narcissus. Begitu sedih, sampai kecewa karena cintanya tak terbalas oleh narcissus.      

Jadi, kini Vian benar-benar berusaha memancarkan pesonanya. Padahal sudut pandang orang lain, diantaranya ialah Susi. Perilaku pria tersebut tergolong menggelikan. Sebab begitu menggemaskan, senior ajudan tersebut tergelitik ikut campur dalam suasana lucu yang tersaji di hadapannya.      

Gadis yang seolah ingin sekali mendorong tubuh pria yang menyodorkan diri di hadapannya, diminta Susi untuk menemui Ratna. Meminta benang dan jarum jahit. Mungkin saja rasa lelah senior ajudan tersebut setelah bertugas sejak dini hari, akan sirna oleh hiburan unik di hadapannya.      

Gadis berambut hitam lebat itu sudah kembali di teras dan Kiki tahu, apa yang harus ia perbuat. Dengan membawa benang dan sebuah jarum di tangannya, dia harus memasangkan kembali 2 buah kancing yang terlepas karena perbuatannya.      

Tanpa diminta seniornya (Susi), gadis tersebut berinisiatif sendiri. Secara kesal merebut sebuah kancing di atas telapak tangan Vian.      

Vian memamerkan senyum jahilnya, bergerak sedikit mendekat ke arah Kiki.      

Susi beberapa kali terkekeh dan memuaskan dirinya, mengamati Kiki yang kedapatan berulang kali mendorong dada pria di hadapannya, -sebab terlalu mendekat. Senior ini perlu merasa mendapatkan hiburan sebelum beberapa menit, atau berapa jam lagi bencana besar akan datang. -hilangnya anak angkat tetua Wiryo, alias Anna-     

"Kenapa kau terus-terusan mendekat!" Mata hitam Kiki menyala tajam penuh emosi, "Hais'! Orang ini! Dasar kau!!" sebuah kancing sudah mendapatkan sulaman jarum tiga kali, mungkin butuh dua kali sampai dikunci. Sayang sekali tiap kali satu tarikan, titisan narcissus mendekatinya. Bukan lagi menganggap ini memuakkan.      

"Tarikan tanganmu yang membuatku harus mendekat," Vian membela dirinya, "tuh! tuh! Lihat tuh!" dia mengganggu Kiki yang sedang berkonsentrasi tinggi demi menancapkan jarum pada celah kecil, pada bagian tengah kancing baju yang tak seberapa besarnya.      

"Bomb, jangan terlalu serius melihat dadaku. Aku takut kamu tersihir," Vian menjadi sangat cerewet, tujuannya sederhana, mengganggu supaya gadis pemarah yang menggemaskan tersebut membutuhkan waktu lebih lama.      

"Kau gila! Aku melihat kancing baju, bukan dadamu!" Kiki mendongakkan wajahnya, menatap Vian yang ternyata tepat di atas kepalanya. Wajah berekspresi cengengesan tersebut, secara spontan di dorong telapak tangan gadis yang tengah jengkel bukan main.      

Ketika si gadis pemarah kembali menunduk untuk berkonsentrasi pada kancing baju, Vian mengulangi kelakuannya, dia mendekat lagi.      

Sepertinya pertengkaran tersebut mampu menghibur sang penonton, membuat Susi terpingkal.      

Tapi tidak dengan penonton lain, yang sejujurnya tak begitu dekat dan tak benar-benar jauh. Tom beberapa kali memastikan Indra pendengarannya, menolehkan wajahnya pada sumber suara samar-samar yang berasal dari percekcokan di beranda.      

Pria yang tengah makan bersama anggota keluarga Djoyodiningrat, Juan, termasuk madam Graziella dan Leona -mantan tunangan yang belum terkonfirmasi berpisah- beberapa kali terlihat tak bersemangat menyantap makanannya.      

Tom hanya memutar-mutar sendoknya, sebelum kembali menoleh ke arah teras.      

Leo yang duduk disampingnya menyadari hal tersebut, "Kamu mau ini Tom?" menyodorkan daging panggang yang dipotong-potong tipis sempurna, menawarkan aroma manis dan legit menggoda.      

Sayangnya, lagi-lagi tidak mampu menggoda lelaki di sampingnya. Ia menggelengkan kepalanya, "Em, sebenarnya aku sudah makan," kilah Thomas, menolak Leo yang sudah mengangkat potongan daging dan berharap bisa meletakkannya di piring pria tersebut.      

"Mungkin Vian belum makan," suara Tom memberi masukan.      

"Oh' dia yang memanggang daging ini," jelas Leona, menyadari Vian tidak ada di meja makan.      

Leona memutar tubuhnya, mengembara mencari Vian yang ternyata sudah dilihat lamat-lamat oleh mata Tom.      

Sesaat mata Leo mendapati keberadaan Vian, ia hendak berdiri dari meja makan "Biar aku saja," Tom berdiri lebih tangkas. Menundukkan sejenak kepalanya kepada sebagian orang di meja makan, yang spontan menyadari gerakan pria tersebut.      

Lalu buru-buru pria tersebut memacu langkah, menuju teras rumah induk.      

.     

"Sudah aku bilang jangan mendekat!! mundur sedikiiit!" tangan Kiki mendorong dada Vian, gadis tersebut hampir selesai di buah kancing kedua.      

"Auu.." Vian memekik, "Jarummu menusuk dadaku," ujarnya dengan ekspresi marah.      

"Ak.. aku tidak melakukannya. Aku tidak melakukan apa pun, sungguh!" Wajah Kikii spontan kebingungan.      

"Coba kamu periksa dadaku. Aku merasakannya.." ada ekspresi tersiksa yang dilukiskan Vian.      

Dengan ragu, tangan gadis tersebut menarik seutas benang supaya kain yang menjadi pangkat benang di sela-sela kepingan kecil sebuah kancing baju terbuka. Sangat hati-hati, seolah tak bernafas supaya tak ada prasangka berlebih dibenak pria jahil.      

Sepertinya gadis ini lupa, siapa pria yang memekik kesakitan? Kerutan wajah tersiksa, berubah menjadi senyum penuh makna. Sungguh menyebalkan.      

"Ah' kau menarik tub," kalimat tersebut terhenti.      

Tubuh pria yang seolah akan menerjang perempuan di hadapannya -untuk di peluk-, tertahan oleh tarikan. Kerah baju Vian sisi belakang ditangkap Tom, sejalan dengan gerakan Kiki meraih bantal sofa untuk memukul kepala pria yang ingin memeluk tubuhnya.      

"Jangan berlebihan saat bercanda," kalimat singkat Tom mampu menggiring pandangan Vian, dan menghentikan tangan tangkas gadis berambut hitam lebat yang akan menghadiahkan pukulan bantal di muka pria bermata sendu.      

"Tom?" si empunya nama tak sadar ketika Vian menatap tangannya, "Bisa kau melepas tanganmu?"      

"Oh, oke!" lelaki berambut sebahu tersebut masih sempat menarik sekian centi kerah baju sisi belakang Vian, supaya tubuh pria tersebut tak menjorok ke arah Kiki.      

Tom menatap sesaat kancing baju yang terkait benang, lalu pria tersebut meraih benangnya dan mencabutnya.     

Jarum dan benang dia genggam, lalu Tom berjalan perlahan. Dia begitu menarik perhatian ketika tangannya melempar benang tersebut ke dalam tong sampah. Gerakannya sangat singkat.      

Sebenarnya, kancing kedua Vian belum begitu benar sebab kelakuan Tom. Tak mau ambil pusing, lelaki bermata sendu lekas mengaitkan kancing bajunya.     

"Kamu diminta makan bersama," mata Vian mengarah pada meja makan. Ternyata Andos telah berada disana. Dua pria tersebut sempat saling menatap, sebelum melangkah bersamaan meninggalkan teras.      

Belum usai langkah kaki mereka menggapai meja bernuansa putih di tengah taman, Andos berlari mendekati keduanya. Sejenak seperti sedang membisikan sesuatu yang serius, tiga pria tersebut bertukar pandangan.      

Kiki ikut mengamati komunikasi mereka, tatkala melihat Susi juga menatap ketiga pria tersebut.      

"Kihran," panggil Susi pada pada gadis yang segera membalik pandangannya dari Vian, Tom dan pria yang dagunya dipenuhi rambut halus.      

"Cari ratna dan minta seragam ajudan perempuan," Susi berdiri dari duduknya, "Ketika kamu kembali ke tempat ini, segera berdiri di sekitar nyonya kita," titah senior ajudan tersebut.      

"Nyonya?" Kiki masih kebingungan.      

Mata susi mengarah pada perempuan ramah, yang duduk di dekat pria berkursi roda.      

"Itu nyonya kita, namanya Sukma. Ini tugas pertamamu, menggantikan kakak-kakakmu yang sedang bertugas," Susi menegaskan, "Segera kembali, jalankan perintahku sekarang!" senior ajudan tersebut berjalan menuruni tangga teras, dia mendekati meja makan di tengah taman     

.     

.     

[1] narcissus ialah tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud sebagai lambang narsisme. Narcissus sendiri diceritakan sebagai seorang pemuda yang memiliki wajah tampan yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.