Ciuman Pertama Aruna

IV-8. Plester Luka



IV-8. Plester Luka

0"Apa dia baik-baik saja?" melihat peluh yang membaluri pelipisnya, jelas pria ini baru saja berlari sebelum sampai di depan pintu.      

Nanny, atau lebih tepatnya seorang pengasuh yang menemani lelaki yang kini telah tumbuh dewasa menatap penuh duka pada putra tertua Rio. Gerakan menggelengkan kepala tertangkap, dan dada sang pria berdetak kencang.      

"Apa lagi?" dia masih belum siap membuka pintu, membutuhkan sejenak jeda sebelum matanya melihat kegilaan gadis yang memiliki daya putus asa kronis dan terkategorikan depresi, membahayakan untuk dirinya sendiri.     

"Kita sudah membersihkan semua benda, aku tak habis pikir," seperti enggan berucap, Nanny menatap lelaki tersebut penuh makna tersirat, "Dia menghancurkan kaca,"      

Netra hitam menghilang tertelan pelupuk mata. Pria tersebut memutar handle pintu dan buru-buru berjalan cepat memasuki kamar tidurnya, mendekati tubuh yang terkulai damai. Terlelap, sekaligus ringkih dalam waktu bersamaan. Kerentanan pada kemampuan fisiknya sangat ketara.      

Sorot mata Gibran menjelajahi seluruh tubuh gadis yang terbaring di hadapannya.      

"Kami lekas berlari ke dalam setelah mendengar dentuman kaca, meringkus nona Syakila secepat mungkin. Walaupun gerakan kami lebih dari cukup untuk mengurusnya, sayang sekali, kami terlambat menyelamatkan jari-jarinya," Gibran spontan mengamati telapak tangan gadis yang kesekian kali coba menyakiti dirinya sendiri.     

Lelaki tersebut duduk di tepi ranjang. Jari-jari kecil yang tampak ringkih, ia keluarkan dari dalam selimut yang membungkus tubuhnya. Plester-plester luka menempel hampir diseluruh permukaan jari tangan kanan. Padahal, tangan kirinya masih tersangga akibat kecelakaan yang menimpanya.      

Nanny, perempuan bertubuh tambun dengan rambut pendek di bawah telinga, menggeser kursi. Duduk mengamati perilaku Gibran, "Aku tahu saranku tidak akan kau terima, tapi menurutku merawatnya dalam kondisi seperti ini, pilihan yang tidak tepat,"      

Gibran mendengarkan tiap kalimat yang meluncur dari bibir perempuan yang paling dekat dengannya. Sayangnya, dia tidak mengucapkan sepatah katapun untuk membalas pernyataan Nanny-nya.     

"Apa makanannya sudah siap, biar aku bangunkan dia?" Yang keluar dari bibir Gibran malah permintaan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pernyataan Nanny.      

"Akan aku bawa masuk," perempuan itu bangkit dari duduknya, belum ia melangkah dia kembali mengamati Gibran, "Coba kau pikirkan apa yang aku katakan, tiap hari harus bolak-balik pergi ke kantor dan pulang. Aku yakin, bukan hanya dia yang kian buruk. Aku takut kesehatanmu bisa menurun,"      

"Dia tidak punya tempat selain di–" entah apa yang terjadi, Gibran membungkam mulutnya sebelum menyelesaikan ucapannya.      

"Kau tempat yang tidak ia inginkan. Jangan karena merasa iba, kau membuat dirimu sengsara," perempuan bertubuh tambun ini berjalan mendekati pintu. Tatkala suara 'klik' terdengar, hal tersebut menghantarkan pesan bahwa Nanny sudah ditelan pintu kamar.      

Gibran masih memegangi jari tangan pucat, lalu menyusuri lengan yang beberapa bagiannya terdapati warna biru, lebam di mana-mana. Nafas pria itu terhempas keras. Rasanya segumpal udara mengepul di tenggorokan, dan perlahan-lahan turun menekan dadanya. Kian kuat ketika mata itu mengerjap. Memberinya tatapan yang seolah-olah dirinya adalah penjahat bengis. Sedangkan gadis ringkih tersebut adalah perempuan yang disandera sebagai tawanan.     

Tangan yang dipegang Gibran terlepas. Syakila menariknya dengan tangkas, walaupun kenyataannya itu adalah tarikan lemah seseorang yang melakukan perlawanan menggunakan tenaga terakhirnya.      

"Sudah waktunya kau makan, duduklah!" Suara laki-laki berubah menjadi kalimat ancaman. Menutup iba dengan tatapan kasarnya, menghujam gadis yang menatapnya dengan kilatan amarah.     

"Kalau aku makan, berarti aku akan menyenangkanmu" Mata gadis tersebut menatap dengan nyala api permusuhan, "Cih!" Bahkan ia dengan beraninya mendecih. Membuang tatapannya dari keberadaan Gibran.      

Dari arah belakang terdengar suara pintu terbuka, Nanny datang dengan nampan berisikan bubur makan siang.      

"Istirahatlah Nanny, biar aku yang mengurusnya," seperti sebuah dorongan yang mengharapkan perempuan bertubuh tambun lekas pergi, lelaki tersebut tertangkap berdiri sejenak. Mengusung satu langkah lebih dekat pada nakas. Meraih susu putih, dimana permukaan gelas yang menjadi wadah nya masih terasa hangat.      

Tanpa menghiraukan keterdiaman gadis tersebut, Gibran mendorong minuman tersebut tepat di hadapan Syakila, "Minum! Atau aku akan memasukkannya ke mulutmu, menggunakan mulutku!"      

Syakila bergeming. Bahkan ia tidak mau menatap benda yang disodorkan oleh Gibran.      

"Baiklah, kalau itu maumu!" Gibran benar-benar menyentuhkan bibirnya pada permukaan gelas, lalu menegak minuman tersebut sampai mulutnya menggembung.      

Meletakkan gelas itu pada nakas, dan seluruh tubuhnya menaiki ranjang. Bergerak perlahan-lahan mendekati Syakila. Sekejap berikutnya kedua belah tangannya mencengkeram lengan atas gadis ringkih tersebut.      

"Apa yang akan kau lakukan!!," Gadis tersebut berteriak dan berontak. Gibran berusaha memaksanya, supaya Syakila mengerti bahwa ia tidak punya kuasa melawan putra Rio.     

Tangan kanannya bergerak memegang dagu Syakila dan menekan rahangnya, hingga mulut gadis tersebut terbuka. Tepat ketika Gibran mendekat, jari-jari yang masih dipenuhi plester luka bergerak terangkat menampar lelaki di hadapannya. Mulut yang masih dipenuhi air susu menyembur.      

Keheningan merajalela sekian menit.      

"Jadi kau tak suka diperlakukan seperti ini?" pertanyaan Gibran setelah ia berusaha meredam gejolak di dada. Lelaki tersebut duduk di dekat keberadaan Syakila, mengubur tubuhnya di dalam selimut.      

"Tentu saja! Bodoh!" Perempuan itu berusaha keras untuk bangkit.      

"Aku pun tahu, kau tidak suka" Gibran bergerak meraih bubur di atas meja saji, "Maka, lakukan ini sendiri," wajahnya putus asa ketika meletakkan makanan tersebut di pangkuan Syakila.      

"Selepas ini akan ada dokter yang-," suara Gibran tertahan. Tangan yang dipenuhi dengan plester luka bergerak mendekati bubur yang terletak di atas meja saji.      

Sekilas yang tertangkap, bukannya meraih sendok melainkan menggenggam erat tepian mangkok tersebut.      

"Jika kau berusaha melemparnya, dirimu akan berakhir disuntik obat tidur dan dimasukkan infus," Gibran menggertakan gigi. Ekspresinya bukan lagi kejengkelan, akan tetapi kemarahan, "Kau suka diperlakukan seperti itu?"      

"Mengapa kau tidak menyuntikkan racun di tubuh ku, agar aku bisa terbebas dari tempat ini?" Balas Syakila pedas.      

Gibran tidak menjawabnya. Lelaki tersebut memilih untuk berdiri hendak meninggalkan perempuan itu sendirian di dalam kamarnya lagi, "Habiskan makananmu, sebelum kau menemui psikiater," Tangannya meraih sepatu di dasar lantai. Masih dengan duduk di ranjang, ia mengenakan sepatunya.      

"Apakah aku sudah mirip orang gila?" Tiba-tiba ucapan Syakila melembut. Biasanya suara yang keluar dari mulut perempuan itu pedas, penuh dendam.      

"Apa kau baru sadar?" Ucapkan lelaki yang baru selesai memasang sepatu di kakinya, dan melekatkan jas pada tubuhnya. Berdiri dan berbalik.      

Entah karena dorongan rasionalisme yang bersemayam di kepalanya, ataukah ia tidak ingin terlihat gila. Tangan penuh plester luka tersebut meraih sendok, dan perlahan-lahan mengaduk bubur lalu mengambil sedikit warna putih dari adonan di dalam mangkoknya hingga menyentuh bibir.      

"Aku akan meminta Nanny, membuat susu baru untukmu," selepas memastikan perempuan ringkih tersebut benar-benar menelan makanannya, Gibran mengamati gelas susu berantakan dan membawanya dalam genggaman.      

"Aku," Syakila untuk pertama kalinya mengawali percakapan. Dia yang berhari-hari dikurung di kamar pria yang detik ini menghentikan niatnya keluar ruangan dan memilih mendengarkan kata pertama dari perempuan yang tak pernah sekalipun menunjukkan minat berbicara dengan benar. Menatap Gibran seolah memintanya tinggal barang sejenak … …. .     

.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.