Ciuman Pertama Aruna

IV-32. Menyuarakan Isi Hati



IV-32. Menyuarakan Isi Hati

0"Klontang!" Garpu yang ujungnya menancap gulungan spageti berukuran besar jatuh terkulai membentur lantai. Tiga pasang mata langsung menatap nanar makanan yang terjatuh tersebut, lalu berpindah pada wajah perempuan yang membatu pucat.     

Mahendra menyibak rambutnya, merasa bodoh sendiri. Mendesis lirih sebelum menenggak minuman dan spontan menggerakkan tangannya sembari bangkit, meminta Surya mengikutinya keluar ruangan.     

Selepas beberapa detik dua orang laki-laki tak terlihat lagi, Dhea bangkit mengguncang perempuan yang masih diam terpaku, "Kau tak apa? Aruna?" suaranya dipenuhi kekhawatiran.     

"Aku baik-baik saja," Ada anggukan lemah, "tenang lah, ini bukan yang pertama," perempuan mungil bernetra coklat tersebut bangkit dari duduknya, menarik mini bag dan mengalungkannya pada bahu. Sebelum beranjak, dia sempat mengelus ringan lengan sahabatnya, menatap sekilas lalu berkata, "Kita bertemu lagi nanti, aku akan main ke rumahmu," ada senyum tipis yang dipaksakan.     

Berjalan tegas keluar dari ruangan dan sesaat kemudian mendapati dua orang laki-laki yang lekas menoleh tatkala melihat keberadaannya, "Aku ingin pulang sekarang," ujar Aruna, melangkah cepat mendahului Mahendra dan sesaat kemudian langkah kakinya berusaha untuk dikejar oleh lelaki tersebut.     

***     

"Aku tidak mengerti kenapa cara tak elok seperti itu sampai di jalankan demi proyek. Kali ini, aku setuju dengan Hendra. Bagaimanapun juga, perusahaan yang telah dibangun harus mengimani visi misi yang disepakati sebelumnya, yang seperti itu bukan sekedar embel-embel semata," Dhea menggerutu sepanjang perjalanan yang ditempuh bersama suaminya dan baru berkenan diam selepas menyadari mereka telah sampai depan pintu gerbang rumahnya,"Kau diam saja dari tadi?" pertanyaan ini dilempar dengan nada kesal.     

Ada senyum dari lelaki yang sedari tadi mendengar gerutuan istrinya, "Apa aku sudah boleh bicara?" Tanya nya.      

"Memang ada yang melarang oppa?" perempuan berhijab tersebut mengangkat bahunya. Menatap dengan tatapan penuh telisik kepada sang suami, "Jangan-jangan, oppa pernah mengalami kejadian yang sama dengan Hendra?" raut muka Dhea yang kesal serta merta berubah masam berbalut kekhawatiran, "Kenapa oppa selalu pulang telat? alasannya meeting setiap saat tanpa henti. Apa yang ter-,"     

"Ssstt, diam dulu. Giliran aku yang bicara," Surya mengacungkan telunjuknya di atas bibir Dhea.     

"Tidak—tidak, kau harus membuat pengakuan. Bicara jujur!" Dhea menyingkirkan jari telunjuk suaminya, dan spontan lelaki tersebut menangkup wajah istrinya dengan kedua telapak tangan.     

"Diam dulu. Kita gantian bicara, atau salah satu dari kita salah paham, okey?," kecupan kecil dihadirkan menyentuh ujung bibir atas istrinya, sebelum membantu melepas sabuk pengaman dan menuruni mobil.     

***     

"Aku," terbata Mahendra memulai percakapan, anak matanya melirik ragu ke arah istrinya.     

"Aku tahu, tidak perlu dibahas. Herry, bisa lebih cepat?" Aruna menutup pembicaraan.     

"Iya nona," seolah paham, ajudan tersebut tak banyak bertanya dan langsung menjalan perintah nonanya.     

Dalam perjalanan kembali ke rumah induk jalanan sudah mulai lenggang. Malam kian larut dan perempuan bernetra coklat masih diam tanpa suara, memilih lekas menuju kamarnya dan berganti pakaian lalu mengubur diri di dalam selimut hangat. Menutup matanya tanpa bertegur sapa. Tatkala sebuah tangan hadir memeluk tubuhnya dari belakang, dia tahu ada rasa lega menjalari dirinya.      

"Ada beberapa hal yang tidak dipahami sebagian kaumku, tapi tidak denganku," dagunya menempel sempurna di atas kepala Aruna. Tangannya menyentuh pergelangan dan jari-jari mungil, lalu sesekali turun mengusap perut, "Mungkin disebabkan budaya dan lingkungan, pola pikir tiap-tiap orang berbeda sesuai pengaruhnya. Tapi aku berbeda, lingkunganku dan budayaku adalah apa yang kau lihat setiap hari. Kakekku adalah lelaki yang setia dengan satu perempuan dan aku tak punya banyak orang yang aku anggap teman, jadi tak ada yang bisa mempengaruhiku. Duniaku sekedar kau, tentu saja termasuk baby kita," lelaki bermata biru mencoba mengangkat sedikit kepalanya berharap mendapati perempuan bernetra coklat yang dalam dekapannya membuka matanya. Walaupun dia tak membalas ucapan, Mahendra mencukupkan dirinya dengan menyakini bahwa istrinya sekedar pura-pura tidur.     

"Jadi, mana mungkin aku merelakan perjuangan kita selama ini hanya untuk hal-hal seperti itu, terlalu berharga, semua tentangmu dan baby," dia masih bertutur ketika istrinya merasa terlalu engap mendapatkan dekapan, dan mendorong tubuh Mahendra sehingga lelaki tersebut tersenyum senang mengetahui ternyata Aruna benar-benar punya hobi pura-pura tidur.     

"Ihh," desah Aruna, terus mendorong lengan berukuran besar dan menjatuhkannya hingga akhirnya Mahendra terlentang di sisi ranjang yang lebih lebar, "Siapa bilang aku marah? Aku tidak marah sama sekali," ujar perempuan yang setengah membalik tubuhnya menatap keberadaan suaminya.     

"Tidak ada pembahasan marah disini," Mahendra mengangkat bahunya. Tersenyum semanis mungkin.     

"Aku hanya kesal, tak perlu menatapku dan menyajikan ekspresi itu," kilah Aruna, mendorong tubuh Mahendra supaya tak memakan tempat terlalu banyak. Lelaki tersebut bergerak perlahan mengikuti ritme dorongan istrinya. Tatkala perempuan hamil tersebut merasa telah cukup, ia membalik tubuhnya dan sekali lagi memunggungi tubuh lelakinya.     

Hal ini hanya berlangsung sekian menit. Sebab, perempuan bermata coklat kini duduk. Merebut remot tv yang di penggang suaminya sembari menonton televisi dengan santainya.     

"Sebenarnya aku memang marah!" ujarnya dengan raut wajah kesal. Mematikan televisi, dan gerakan tangkas membanting remot tv tertangkap mata Mahendra.     

Lelaki bermata biru menggeser tubuhnya perlahan-lahan. Duduk. Dan masih dengan gerakan samar, Mahendra meraih guling kemudian memangkunya di atas kaki yang bersila.      

"Aku marah karena kau, hah!!" kalimat Aruna tertahan. Membuang tatapan lalu melipat tangannya kesal. Lelaki di hadapannya sekedar mengamati pasrah. Tak bersuara dan menggigit bibirnya sendiri supaya dirinya mampu menahan diri atas rasa geli ingin berpendapat dan membela diri.     

Detik berikutnya, mata coklat itu menatap layaknya elang dengan mulut cemberut —sekian senti, "Tahu tidak?!" lelaki di hadapan Aruna menggeleng pasrah. Entah mengapa ekspresi tersebut kian menyulut rasa kesal perempuan hamil, "Aku kesal sebab kau tadi memperlakukanku seenaknya,".     

"Tadi yang mana?" wajahnya polos seolah tak pernah dihinggapi dosa. Aruna meraih guling di pangkuan dan detik berikutnya menghantam keras lengan Mahendra sebanyak tiga kali.     

"Kau pikir, aku ini siapa?!" Aruna menyemburkan unek-unek hatinya, "Kau datang padaku dengan bersemangat kalau minta makananmu," makanan adalah istilah lain dari kebutuhan bercinta Mahendra, "Aku tahu! dulu kau menahan-nahan nalurimu sebagai pria normal karena sakit," ia memeluk guling lalu menghantam lengan suaminya sekali lagi. Padahal, hal tersebut tak terlihat berefek pada tubuh lelaki di hadapannya. Sedangkan perempuan yang terengah oleh luapan emosi, kesusahan menciptakan hantaman -sekali lagi-, "Dan sekarang! Tiap saat, tiap kesempatan yang ada di otakmu 'itu-itu' saja!".     

"Kan kemarin kamu sempat sakit, kandungan masih rawan, dan sekarang mumpung," kalimat pembelaan diucapkan dengan takut-takut.     

"Mumpung apa?" mata Aruna menatap lebih tajam dan tubuhnya bergerak kian dekat, "Mengantar istrinya periksa kandungan malas-malasan, sibuk terus dengan handphone! Disaat minta 'itu', apa kamu peduli denganku? Tidak!. Aku butuh bernafas saja tidak diberi kesempatan, pikirkan itu! Pikirkan perasaanku!" dia terengah setelah mengucapkan monolog dengan luapan emosi.     

"Maaf," lirih Mahendra bersuara.      

"Maaf, maaf, terus! Semua orang bisa minta maaf," kalimatnya tajam, seperti sorot matanya.     

"Dulu aku tak bisa minta maaf," tukas lelaki bermata biru, mengerjapkan matanya berulang.      

"Oh, ya. Kau memang aneh sejak dulu," Terdengar hembusan nafas kasar dari Aruna.      

"Iya aku memang aneh," Dia memasang wajah memelas, "Sudah, jangan marah terus, kasihan sama baby. Bagaimana kalau nanti baby terpengaruh, jadi tidak sayang padaku?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.