Ciuman Pertama Aruna

IV-48. Senior Vian



IV-48. Senior Vian

0Seperti yang disebutkan Mahendra, dua orang perempuan datang ke rumah ayah Lesmana. Mobil sudah siap di pelataran, tatkala salah seorang dari ajudan tersebut mengatakan, "Oma Sukma merengek ingin ikut kesini,".     

Aruna tersenyum mendengarnya. Sudah dapat dipastikan, perempuan paruh baya yang masih ayu tersebut pasti merindukan cicit di dalam perutnya, bukan dirinya.     

Tatkala manik mata coklat menangkap sebuah kotak bersusun, benda tersebut tak lain dan tak bukan adalah makanan buatan oma Sukma, dan Aruna berujar, "Bagus lah. Kita tidak perlu mencari oleh-oleh, Dhea sudah mendapatkannya," dan dengan demikian, mobil melaju membawa mereka menuju rumah sahabatnya tersebut.     

.     

.     

"Aruna?"     

"Kau? Apa yang terjadi padamu?" pintu baru saja dibuka oleh seseorang yang wajahnya mirip dengan Surya. Tentu, itu adalah adik dari suami Dhea yang diketahui Aruna bahwa perempuan tersebut sepertinya lebih tua dari mereka.     

Sedangkan seseorang yang memanggilnya -Dhea-, duduk di ruang tengah. Matanya bengkak dan mengenakan baju sederhana, bahkan cenderung sekenanya. Dhea berdiri memeluk Aruna, tak lama kemudian menangis lagi. Akan tetapi tak terdapati air dari mata bengkak tersebut. Hanya tersisa bekas-bekas buliran cairan bening yang menghiasi wajah sendu seiring dengan nafasnya yang tersengal-sengal.     

"Aku sudah lelah memberitahunya kalau mas Surya baik-baik saja, dia memang gila kerja dan sering tak pulang berhari-hari," ada gerutu yang menguar dari adik Surya. Aruna menarik bibirnya lurus, senyum ia paksakan sedemikian rupa supaya keluarga tersebut lebih bisa berdamai dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.     

Suaminya mengatakan dirinya tak boleh banyak bertanya, bahkan tatkala lelaki tersebut hendak pergi —lagi, ia sempatkan diri mengambil jaket ayah Lesmana, barang tentu sesuatu yang terbungkus di dalamnya. _Pasti ada sesuatu_ benaknya berkata demikian, akan tetapi perempuan tersebut mencoba menyembunyikan kekhawatiran yang kian memuncak saat melihat sahabatnya yang seolah tengah di ambang kesedihan terdalam.     

"Pak Surya pasti pulang," Dhea digiring kembali ke sofa yang tadi ia duduki.     

"Dia sibuk, aku tahu. Tapi tak pernah sekalipun lupa memberi kabar atau lupa menitipkan pesan. Ini sudah dua hari —dia tak ada kabarnya. Mana mungkin, dia bertugas ke tempat yang sulit sinyal? Tapi tak memberitahuku sebelumnya. Itu mustahil, dia bukan seperti itu. Oppa tidak begitu," suara Dhea naik turun tak terkendali. Sedangkan si pendengar -Aruna-, melirik perempuan yang tadi mengiringi mereka, kini secepat kilat ia membawa makanan sehat buatan oma Sukma. Menyusun oleh-oleh tersebut di atas meja.     

"Makan dulu, nanti aku janji akan menampung semua keluhanmu. Mengeluh butuh tenaga, bukan?," Aruna tahu ini tak lucu, akan tetapi minimal dirinya sudah berusaha, "Bagaimana kalau kita nonton drama terbaru? Aku dengar, Oppa Song Joong Ki main drama baru. Jangan sampai kau ketinggalan film Oppa ganteng itu," manik mata coklat berkedip pada adik perempuan Surya. Semacam kode yang berhasil, buru-buru perempuan tersebut menyalakan smart tv di hadapannya dan mulai mencari film yang dimaksud oleh ibu hamil tersebut.     

Cara terbaik untuk mengatasi kesedihan Dhea bukan dengan memberinya petuah. Perempuan tersebut lebih bisa memberi nasehat orang lain atau bahkan mampu menenangkan dirinya sendiri dengan doa-doa yang ia yakini, ia sanggup melakukan itu. Kecuali jika telah mencapai kekacauan, si plegmatis satu ini bakal berakhir dengan dipenuhi air mata dan tak bisa diajak bicara dengan benar —kecuali mengalihkannya pada hal-hal lain yang ia sukai.      

***     

[Senior,] alat di sudut telinga Vian memekikan panggilan, [Senior, turunlah! Itu berbahaya!] akan tetapi lelaki tersebut seolah tak peduli dengan kalimat-kalimat panggilan itu.     

[Yang lain, dekati titik senior! Cepat! Lari secepat mungkin!] suara itu berdengung dari mobil yang bersembunyi di balik semak-semak. Ia menjalankan drone yang melayang di langit-langit.     

[Jangan menyusup ke gedung itu. Sungguh! Kita harus mundur! Mereka memasang banyak orang disana! Sebagian bersembunyi dan membawa senjata!] kembali ia menyuarakan peringatan dari hasil pengamatan di layar monitor.     

[Itu resiko kita! Tetap sesuai rencana!] Vian tampaknya keras kepala. Lelaki tersebut bersuara selepas junior Pradita di dalam mobil pengawas, berteriak hebat mengatakan semua rencana akan mustahil. Dan yang lain, tentu saja mendengarkan kalimat vian yang detik ini menjadi pemimpin mereka kali ini.     

Ini misi pembebasan, dan pembebasan mustahil tidak ada perlawanan dari musuh. Logika yang tak bisa dibantah siapapun.     

Vian memanjat sebuah pohon yang telah mereka prediksi sebagai cara kedua untuk memasuki gedung di tengah-tengah pepohonan tersebut, selain dari gerbang utama.      

[Sungguh. Aku mohon! Mereka sudah mengarahkan-]     

"Dor!! Dor!!" tembakan mendengung di telinga dan semua kaki terhenti. Hening, terhenyak tatkala "Brukk!" Dan sesuatu terjatuh.     

[Apakah itu senior?]     

[Senior!]      

[Mundur! Aku bilang apa! Mundur!!]      

"Dor!! Dor!!" tembakan terdengar lagi. Detik berikutnya drone yang sedari tadi mengudara, terjatuh, "Terbangkan yang lain!".     

"Baik," salah satu yang berada di dalam mobil menerbangkan lagi benda pembawa kamera yang dikendalikan secara otomatis tersebut.      

Di sudut lain, di antara pepohonan, sekelompok orang berbaju hitam mengendap-endap. Mata mereka kian fokus tatkala satu-persatu orang keluar dari dalam gerbang menjulang tersebut. Tampaknya mereka akan memeriksa hasil tembakan, dan ini menjadi sesuatu yang menguntungkan tim lantai D yang terbang jauh ke pulau ini demi menjalankan misi pembebasan.      

Dalam sekejap Mereka benar-benar membuat keadaan kacau.     

Tim lantai D menembak sekitar tiga orang yang keluar dari gerbang. Dan semacam ada komando, pintu besar menjulang tersebut segera ditutup kembali. Bahkan salah seorang dari mereka yang sesungguhnya masih berlari menuju benda penghubung yang terbuat dari besi tersebut, dibiarkan menggedor-gedor tanpa ampun. Hingga tak lama kemudian, ia terjatuh oleh senapan tim Vian.      

[Yang lainnya merapat! Senior ada di dekat pohon itu,] semua tahu tempat yang dimaksud. Mereka sudah memahami jalur serta denah yang menjadi target operasi pembebasan kali ini, akan tetapi tak ada yang tahu kenapa Vian melangkah terlebih dahulu daripada yang lain.      

Dua orang dengan gerak lambat mengendap-endap secepat dia bisa, menuju titik keberadaan Vian, [Sial! Mereka naik ke lantai atas]      

"Tar!" satu mesin terbang pembawa kamera yang dikendalikan secara otomatis melalui program komputer terjatuh, kemudian disusul oleh Drone yang lain, [Pastikan pergerakan kalian tidak terlihat!] kembali dia memberi komando, "Terbangkan yang lain! Terbangkan yang lain!" pengendali di dalam mobil tengah gugup. Biasanya yang membuat instruksi semacam ini adalah Pradita atau Rolland, akan tetapi mereka sedang berjuang dari tempat lain, dan ini merupakan tugas pertamanya. Lelaki tersebut menjadi sedikit menggila dengan semua hal yang ia amati.      

[Senior?,] suara panggilan terdengar. Vian di temukan telah diseret perlahan-lahan oleh salah seorang dari tim mereka.      

[Kami menuju jalan raya. Siapkan mobil!] pinta seseorang yang kini titiknya sejalan dengan Vian. Pesan dari tempat lain yang tak terbaca sampai lelaki yang tengah memimpin tim pembebasan —yang seharusnya bukan bagian dari kinerjanya, sebab Vian adalah seorang penyidik. Ia bukanlah Raka yang terbiasa dengan kondisi semacam ini, yang memiliki bakat pelatihan fisik untuk menghadapi kondisi terburuk di lapangan, —kini pesan tersebut diterima oleh Alvin yang baru saja berburu dengan waktu, melaju kesetanani, mengantar pria tersebut menuju rumah sakit terdekat.      

[Vian, mundurkan seluruh timmu. Raka dan Surya, termasuk orang-orang kita, tidak ada di tempat itu] smartphone yang berisi pesan tersebut, menjadi pesan yang terlambat tersampaikan, dan terbaikan begitu saja. Di layarnya juga menyajikan banyak panggilan atas nama Pradita.      

"Kita semua mundur dan pergi dari sini. Misi telah usai, Presdir menurunkan titahnya," Alvin gemetar menyampaikan pesan yang didapat dari pusat markas, lantai D.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.