Ciuman Pertama Aruna

IV-61. Baju Motif Bunga Warna-Warni



IV-61. Baju Motif Bunga Warna-Warni

0Langit sedang mendung ketika mobil berwarna hitam membawa Mahendra meninggalkan rumah sakit. Mengamati jalanan dari jendela kaca, matanya menerawang kosong. Semua penghuni yang terdiri tiga orang terbungkam seribu bahasa.     

Jav dan Wisnu terlihat tak saling berbicara dan fokus pada kesibukan masing-masing, "Apa yang kalian pikirkan tentang aku?" pertanyaan ini membuat dua ajudan saling memandang satu sama lain.     

Mahendra sadar mereka menjadi bingung, "Apakah aku menakutkan ketika marah?" dan sekali lagi mereka saling memandang, "Aku mau kalian jujur padaku,".     

"Saya tahu anda berbeda, tapi saya tak pernah melihat anda meledak tanpa alasan," Wisnu mengawali jawaban.     

"Dulu, saya sangat takut saat pertama kali melihat anda menghajar Juan sampai babak belur dan hampir membunuhnya. Tapi waktu itu karena saya masih muda dan tak tahu menahu alasannya apa, jadi saya pikir, anda bisa melakukan pada siapa saja yang anda inginkan," monolog Jav lebih berani.     

"Dulu aku memang begitu," dia yang berbicara melempar tatapan pada gerimis yang turun dari langit.     

"Percayalah, tuan," ada senyum yang diumbar Jav dan tertangkap kaca spionnya, "Saya suka cara anda mencekik paman anda," Wisnu ikut tersenyum, bahkan tawa lirihnya terdengar.     

"Berhenti di depan!" seolah melihat sesuatu, Mahendra membuat permintaan dan serta merta Jav yang berada di balik kemudi menjadi sigap.     

"Dimana? Anda ingin berhenti dimana?," dia meminta kepastian pada tuannya.     

"Putar mobil!" seruan Mahendra tak lepas dari manik mata yang menyorot, entah apa.      

Saat kendaraan roda empat tersebut berhasil parkir. Di hadapan tiga lelaki yang baru keluar dari mobil mereka, dua di antaranya memandang heran dan seketika jadi paham manakala sebuah papan nama besar bertengger di atas bangunan bernuansa pink dan yellow, 'BABY Shop'.     

Mahendra berjalan memimpin yang lain, memasuki toko pakaian baby dengan segala pernak perniknya.     

"Aku yakin, nona akan memberi kita putra," Wisnu mengangkat sepatu motif Spiderman.     

"Aku rasa, kau benar," dan Jav ikut-ikutan meraih jumper baby motif Hulk.     

"Letakan itu semua!" sang calon ayah yang sesungguhnya, menatap mereka dengan ekspresi protes. Meminta dua ajudan yang ikut-ikutan memilih barang, mengeluarkan semua pilihan mereka dan menyisakan barang-barang yang dipilih Mahendra, yang ternyata kesemuanya adalah pernak-pernik berwarna cerah dan baju-baju bayi dengan motif bunga warna-warni. Dimana sebagian adalah tema princess dengan pita dimana-mana.     

Jav dan Wisnu saling memandang, "Dia sangat yakin, nona mengandung bayi perempuan,"     

"Aku mendengarmu!" dan mulut Wisnu lekas membungkam.     

"Jadi, anda sudah tahu baby seorang putri?" lelaki yang ditanya Jav menggeleng, "Lah? Artinya kita sama-sama tidak tahu, bagaimana kalau semua benda ini jadi sia-sia?,".     

"Aku yang menanam benihnya, aku lebih peka dari kalian. Jadi, diamlah!," mendengar sanggahan Mahendra yang begitu keras kepala, Wisnu memencet hidungnya supaya dia bisa menghentikan geli yang menggelitik perutnya. Ingin dia muntahkan dalam tawa, menertawakan Jav yang mendapatkan marah tanpa alasan.     

***     

Lonceng kecil yang terpasang di atas pintu berbunyi. Menandakan seseorang memasuki resto yang memang tak banyak pendatangnya. Dan seorang gadis yang duduk di dekat jendela punya kebiasaan untuk menoleh, mengamati siapa yang datang. Dengan perasaan berdebar, dia selalu mengharapkan keajaiban akan datang.     

Sayangnya bukan keajaiban yang menyapanya, melainkan sesuatu yang membuatnya merasakan kehampaan. Syakilla menggeser sedikit kursinya, memilih mengarah ke jendela dengan sempurna. Dia menutupi keberadaannya dan mulai mengaduk makanan.     

Di ujung sana, dua orang yang dia kenal tengah menikmati percakapan dan tampaknya mulai memilih menu mereka. Menghela nafas panjang, Syakilla berniat segera mungkin menghabiskan makanannya.     

Ini tidak benar, sangat salah jika dia menjadikan dirinya kecewa mendapati wajah cerah Gibran ketika bercakap dengan Bianca dalam makan siang mereka.     

Hal yang terlintas pertama kali dalam benaknya saat berada di keadaan ini adalah wajah seseorang yang tak akan pernah kembali mendekatinya. Syakilla kembali menghirup nafas panjang sebelum menegak seluruh isi gelasnya.      

Mengosongkan benda bening tersebut. Gadis ini berdiri dan seorang pelayan tak sengaja menabrak dirinya. Kejadian tersebut bukan sepenuhnya salah pelayan kedai. Dia tahu, dirinya lah yang menggeser kursi, menghalangi jalan dengan tiba-tiba berdiri sehingga pramusaji tersebut menjatuhkan seperempat minuman yang akan dihidangkan untuk meja sebelah, ke bajunya.     

Pelayan itu nampak tersiksa oleh rasa bersalah dan buru-buru minta maaf. Syakilla masih mengarah ke arah berlawanan dengan keberadaan Gibran dan Bianca ketika dia meminta pelayan tersebut pergi, alih-alih meminta maaf.     

"Saya akan membayar semua pesanan anda nona, sebagai balasannya," pelayan itu menunduk, harap-harap cemas dengan suara bergetar.      

"Tidak perlu," Jawab Syakilla, dan nampaknya suara gadis tersebut menarik perhatian dua orang yang masih menikmati makanan mereka.     

"Syakilla?" dia yang bersuara berjalan mendekat, dan dengan terpaksa Syakilla menoleh. Mendapati Gibran menatap dirinya.     

"Tenanglah, aku tak apa-apa," jawabnya ringan. Tangannya bergerak meraih tas dan segera meletakkannya pada bahu, "Nikmati makan siangmu, aku akan kembali terlebih dulu," tak memberi kesempatan Gibran bicara, dia benar-benar melangkah pergi selepas melambaikan tangan pada pelayan yang menumpahkan minuman pada bajunya.     

"Kau tak mengejarnya?" Bianca menyuarakan pertanyaan selepas mendapati Gibran kembali duduk bersama dirinya.     

"Dia ingin kembali lebih dulu. Aku tahu, dia lelah menghadapiku," kemudian dia makan dengan buru-buru.     

***     

"Ada yang tahu, istriku dimana?" dengan membawa empat paper bag pada kedua telapak tangannya yang posesif –tak mengizinkan ajudannya membantu-, Mahendra berkeliling, bertanya pada semua pelayan. Dia baru saja memeriksa kamar dan tak mendapati Aruna.     

"Yoga bersama nyonya Gayatri di teras samping, tuan," dan dengan demikian, Mahendra melangkah lebih lebar. Lelaki tersebut tampak antusias ingin menunjukkan hasil berburu baju untuk baby.     

"Itu bukan yoga," celetukan Mahendra, membuat dua perempuan menoleh.     

"Aku mempelajari senam kehamilan," jawab mommy Gayatri selepas berdiri lebih dahulu dari matras hijau cerahnya. Meraih handuk kecil dan sekilas terlihat membasuh keringat di dagunya dengan anggun.     

"Dan tanpa sertifikat instruktur, anda menjadikan menantu anda kelinci percobaan?" Mahendra meletakan empat paper bag di atas kursi. Berdesakan dengan wadah berisikan buah-buahan segar yang sudah di potong-potong. Ketika akan meraih garpu kecil untuk mengais satu potong buah, ekor matanya mendapati Aruna kesulitan bangun.     

"Kau pikir, aku akan tega menjadikan istrimu kelinci percobaanku? Jika aku mau, aku sudah pasti mendapatkan sertifikat itu," bisa bercakap-cakap ringan dan saling mengejek adalah kebahagiaan terbesar Gayatri.     

Mahendra tak sempat membalas kalimat ibunya ketika dia menekuk kakinya di hadapan istrinya dan senyum hangat dari Aruna, membuatnya ingin langsung membawa tubuh mungil dengan perut yang kian mengembung dalam pelukan.     

"Bawakan belanjaanku ke kamar," memerintah Susi yang sempat membeku, selepas malam sebelumnya harus berdiri tiga puluh menit mendengarkan ceramah pria yang marah sebab menemukan istrinya tidur di rumah sakit. Bahkan sengaja pura-pura sakit supaya tidak ketahuan ikut campur masalah pekerjaan suaminya. Ajudan perempuan tersebut lekas menyambar tas belanja, membuntuti tuan dan nona muda Djoyodiningrat.     

"Apa aku semakin barat?" dia yang bertanya menatap wajah suaminya.     

"Tidak," Mahendra menggeleng. Menaiki tangga dengan hati-hati.     

"Kau berbohong," kilah Aruna, menekuk bibirnya.      

"Lalu, aku harus berkata apa?" pada anak tangga terakhir, Aruna minta di turunkan. Berjalan dengan membawa ekspresi jengkel, perempuan tersebut memasuki kamar dengan pintu yang ditutup kasar.     

"Berikan padaku, Susi," pinta Mahendra sebelum memasuki kamar mereka dan menunjukkan sepotong baju motif bunga berwarna pink. Dia memasang senyum sampai matanya tinggal garis tipis.     

"Cantik,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.