Ciuman Pertama Aruna

IV-62. Tatapan Khawatir



IV-62. Tatapan Khawatir

0"Cantik," Mahendra tidak tahu kenapa istrinya sempat marah padanya. Berjalan dan menutup pintu tanpa kelembutan. Tapi dia sangat mengerti betapa mudahnya mereda kemarahan Aruna. Semacam kelebihan yang tidak disadari, dan dia suka memanfaatkan kelebihan tersebut, yakni mudah dialihkan.     

Semenjak hamil emosinya sangat tidak stabil. Namun disisi lain, Aruna adalah perempuan yang mudah melupakan kemarahannya dan ringan memaafkan seperti benda bergaransi tinggi, demikian lah Mahendra tersenyum lebar mengharapkan ampunan. Duduk di samping istrinya, menunjukkan benda yang ada di tangannya.      

..     

"Semuanya lucu," Aku mengeluarkan semua benda-benda hasil Hendra berbelanja, dan aku tak terkejut ketika kudapati semua benda tersebut demikian cantik. Aku bangga pada pilihannya, baju-baju dengan berbagai motif karakter, pernak-pernik lucu berwarna-warni untuk baby perempuan. Iya, benar! Dia memang mengharapkan seorang anak perempuan.     

Namun, yang tak bisa aku cerna ialah, sejak kapan Hendra punya minat terhadap hal-hal remeh, bahkan bandana bayi yang lucu ini?.     

Kuamati raut wajahnya yang terlihat cerah, aku pikir dia sedang sangat bahagia saat ini. Tapi kenyataannya, aku seolah bisa melihat kekhawatiran di dalam tatapannya.     

Hendra tidak sulit dipahami, dia selalu apa adanya terhadap isi hati dan hal-hal yang dia hadapi. Dia senang menjawab begitu saja tanpa banyak berpikir dan kadang menceritakan ini itu yang membuatku bisa belajar banyak darinya. Sayang sekali, kini waktu kami bersama tak banyak. Dia sangat sibuk. Kalaupun bisa menemuiku, itupun jam istirahatnya.     

"Mandilah," aku menelan rasa penasaranku terhadap kak Andien, mengapa dia membuntuti perempuan itu? Apa hubungan Hendra dengan kak Andien?.     

Kudapati dia mengangguk, lalu beranjak ke kamar mandi. Puas mengamati hasil Hendra belanja baju, aku melipat baju-baju lucu tersebut, lalu meletakkannya di ruang sebelah. Sudah saatnya mengosongkan sisi lemari untuk baby.     

"Apa yang kau lihat?" Hendra datang mengenakan piyama handuk. Memasuki ruangan yang sama denganku. Belum sempat aku menjawabnya, dia mendekat. Melepaskan benda yang aku pegang, "Sayang, kurangi aktivitas. Biarkan asisten yang melakukannya," dia mengusap perutku dan memintaku keluar. Ketika kutatap manik mata birunya, aku melihat ada kesedihan di dalamnya. Aku penasaran, apa yang terjadi dengannya?.     

"Hen, apa kau sudah makan?" seperti biasa, aku selalu khawatir dengan pola makannya ketika dia sudah sibuk dengan pekerjaannya.     

"Aku tidak ingin keluar kamar. Hari ini, aku ingin menghabiskan waktu denganmu dan bermalas-malasan," walaupun aku masih penasaran dengan Hendra. Tak bisa aku pungkiri, ungkapannya membuatku senang. Sedikit mengurangi rasa khawatir ku ketika kami makan di kamar bersama.     

.     

.     

Terdengar ketukan pintu ketika kami hampir menyelesaikan makan, Hendra bangkit membukanya dan kulihat Herry berdiri di depan pintu. Aku tak tahu dia bicara apa pada suamiku. Namun ketika dia kembali, kudapati wajahnya menjadi suram. Dia meletakkan banyak makanan di piring ku, tanpa menyadari, aku sudah cukup kenyang. Aku memprotesnya dan dia menatapku dengan serius.      

"Aruna, aku sangat bersyukur kau memilih cuti hingga baby lahir. Tapi bisakah kau berjanji tidak keluar sembarangan, seperti semalam?" aku menatapnya gamang, ketika Hendra berbicara dengan nada penuh penekanan, "Mengangguk lah," suaranya mendesak. Spontan, aku mengangguk ringan, "Aku mengabulkan semua permintaanmu kecuali pergi sendiri tanpa izinku, dengarkan ini baik-baik," kini suaranya terdengar tajam. Aku tak bisa mengatakan 'tidak', sebab memang tak ada pilihan selain hanya mengangguk. Sepertinya suasana hatinya tak sebaik yang aku pikirkan, selepas bercakap dengan Herry.     

"Boleh aku tahu-," Hendra meninggalkan meja dan aku mengikuti langkahnya. Sebenarnya ini bukan saatnya tidur, tapi dia suka berada di kamar dan terbaring seharian tak melakukan apa-apa selain bersamaku ketika memiliki waktu kosong. Dia memiliki sisi itu. Seseorang yang menikmati kedekatan secara intens, tak suka dengan keramaian dan memilih menghabiskan diri dengan membaca atau olahraga sendirian. Tentu saja aku akan ditempatkan sebagai seseorang yang mendekapnya, atau menontonnya ketika dia menikmati hal yang dia sukai, "-mengapa kau tadi mengikuti kak Andien?"     

"Andien?" dia mengerutkan keningnya.     

"Perempuan yang tadi menemuiku, saat kita mengunjungi Rolland," sekilas kudapati dia sempat tersentak, namun buru-buru Hendra menetralkan ekspresinya.     

"Kamu yakin namanya Andien? Kamu mengenalnya?" dia bertanya secara beruntun. Harusnya Hendra mengetahuinya, Andien dulu sering berkunjung di outlet Surat Ajaib.      

"Aku yakin, sangat yakin. Dulu penampilannya memang tidak seperti sekarang, tapi dia sempat menanggapiku. Bahkan menyapa baby, walaupun sedikit ragu-ragu," Hendra bangkit dari pembaringannya dan duduk memutar tubuhnya, melihatku yang masih terbaring, "Ada apa?" matanya mengembara dan aku yakin, dia menemukan sesuatu yang mengkhawatirkan.     

"Apakah terjadi sesuatu ketika dulu dia di Surat Ajaib?" Ternyata dia hanya mempertanyakan kak Andien.     

"Dia dulu sangat dekat dengan Lily dan kemudian mereka saling jaga jarak, aku tak tahu apa masalahnya. Oh! Tadi aku sempat dijanjikan Lily, bahwa dia akan meneleponku untuk menjelaskan ini," aku berseru ketika ingat sahabatku yang akan menghubungiku kembali. Pasti ada sesuatu yang tak kuketahui tentang mereka.     

"Suruh dia datang ke rumah induk. Dan beritahu padanya, aku yang menyuruhnya," semua menjadi serius dan aku tak mengerti, mengapa pembahasan kak Andien menjadi seserius ini. Namun dalam hati perempuanku yang kini telah menjadi pencemburu, aku merasa sedikit lega, Hendra menampakan waspada terhadap nama Andien. Jadi aku tak perlu mengkhawatirkan hal lain.     

Aku bangkit mengikutinya, kemudian menuruni ranjang dan mengirim pesan pada Lily. Sudah dapat diduga, dia pasti mengirimkan kalimat tanya kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?. Aku sekedar membalas tidak dan aku menyakinkannya, bahwa menemui suamiku bukan sesuatu yang besar. Tapi dia mengelak, dan mengirim stiker air mata. Lily takut pada Hendra sejak pertama kali. Bahkan ketika aku belum begitu memahami seberapa besar pengaruh keluarga Djoyodiningrat, dia yang menjelaskannya dengan gamblang dalam kehebohan.     

[Hendra hanya ingin menanyakan mengapa kau berjauhan dengan Andien, masih ingat kak Andien?] dengan sabar aku menjelaskan padanya mengenai maksud permintaan Hendra bertemu dengannya.     

[Tentu saja, karena dia dan Timi ternyata dekat. Mereka berpacaran. Bayangkan! Aku mengejarnya dan membuat Dhea terbaring di rumah sakit karena motor bodoh itu. Kemudian perempuan yang bersama Timi adalah Andien!] Lily mengirim pesan suara. seperti kerasukan setan. Dia berapi-api. [Dan sekarang kabarnya, mereka sudah putus]     

[Oh begitu, lalu bagaimana denganmu? Masih mengharapkannya?]      

[TIDAK!. Aku bukan pengemis cintaaaa…] entah mengapa aku membaca kalimatnya dengan nada di hati. Dia menuliskan lirik lagu musik genre dangdut yang melegenda itu. Aku terkekeh pelan sebab dia selalu dapat melucu dan aku menginginkan dia datang.     

[Apapun alasanya, datanglah ke rumah induk. Aku tidak menerima penolakan!] aku meniru gaya Hendra ketika menginginkan sesuatu. Sudut bibirku berkedut ketika aku mengirim pesan tersebut.     

[Tapi ngomong-ngomong, rumahmu sulit dicapai oleh manusia pengendara motor semacam diriku,] dia masih saja mengelak, tapi aku tak kehabisan ide.     

[Kau akan dijemput]     

[Baiklah. Tapi kirimkan ajudan mu yang tampan itu] dahiku mengkerut, ajudan tampan?.     

[Semua ajudan suamiku tampan, aku tak tahu mana yang paling tampan] gurauku.     

[Yang sering bersama suamimu, yang hitam manis dan punya bulu mata lentik] dan aku tahu siapa yang dimaksud. Herry.      

***     

"Dari mana saja kau!!" Gibran menggertak gadis yang baru memasuki kamar tamu, yang kini menjadi kamarnya.     

"Aku jalan-jalan sebentar," jawab Syakilla, berjalan ringan menuju sofa. Gadis itu tengah mendorong sepatu wedgesnya ketika Gibran bangkit dari duduknya di ranjang, lalu mendekatinya dalam kemarahan.     

"Kau bersenang-senang??" kalimat tanyanya sangat kaku. Berdiri menjulang di hadapan Syakilla yang tengah menunduk, melepas sepatu, "Jawab pertanyaanku!"     

"Ada apa denganmu?" Syakilla sekedar mendongak, menatap wajah yang memerah sebab menahan marah.     

"Kau bilang ada apa denganku??" mata hitamnya mengkilat, "Kau pergi seharian. Lihat! Jam berapa kau kembali!!" menunjuk jam di dinding tanpa mengalihkan tatapan ke wajah gadis yang masih terheran-heran mendapati sikapnya.     

Mengikuti arah telunjuk Gibran, lalu Syakilla berujar, "Masih jam sembilan?" dia masih tak mengerti.     

"Kau bilang masih? Kau menghilang dari siang. Kau membuat orang-orang ku mencarimu kemana-mana. Kau pikir, kau siapa? Berani pergi seenaknya!," Gibran kian mendekat. Meraup dagu gadis yang memalingkan wajah sebab tak ingin melihat kemarahannya. "Jangan lupa! Kamu adalah tahananku. Malam ini kembali ke kamarku."      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.